Oleh: Syifa Hajati
SEBUAH postingan Instagram pada Jumat sore, 12 Juli 2024, sukses memantik perdebatan di kalangan mahasiswa dan pemuda Kaltim. Postingan akun resmi BEM sebuah universitas negeri di Samarinda itu terdiri dari empat slide. Judulnya "Tubuhku Otoritasku: Obsesi Pemaksaan Menghijabkan Perempuan."
Penulis mengetahui postingan itu bukan langsung dari Instagram badan eksekutif mahasiswa (BEM) tersebut. Ada teman yang mengirim tautannya 19 jam setelah diunggah. Postingan tersebut ternyata sudah ramai dengan 400-an komentar. Ada yang merespons dengan tertawa. Ada yang mengomentari dengan bantahan. Ada yang mengajak mengobrol dan ngopi untuk mengkaji bersama. Ada yang ingin melihat kajian dari hasil postingan tersebut. Bahkan ada permintaan agar postingan di-take down.
Dari kalimat judul postingan, muncul pemaknaan seolah-olah BEM tersebut menolak ajaran agama yang mewajibkan perempuan untuk berhijab. Opini tersebut berpijak kepada wacana bahwa terdapat unsur pemaksaan terhadap perempuan untuk mengenakan hijab dan jilbab. Slide itu memang menggunakan dua istilah hijab dan jilbab dalam postingannya. Dalih pemaksaan ini dipandang sebagai pelanggaran atas kebebasan individu dan hak-hak perempuan.
BEM tersebut juga melontarkan kritik bahwa narasi jilbab hanya didasarkan kepada tafsir tunggal agama. "Padahal, urusan selembar kain ini tak bisa hanya kita maknai sebagai penutup kepala yang biasa orang kaitkan dengan aurat, kesopanan, kesalehan, ketaatan, ataupun nilai-nilai moralitas." Begitu pernyataan di akhir slide.
Unggahan tersebut memang tidak menyebutkan nama agama yang disebut punya tafsir tunggal tentang jilbab. Namun, sebagian besar publik sangat paham bahwa yang dimaksud itu tentu saja adalah agama Islam. Isu agama merupakan sesuatu yang sensitif di publik Indonesia, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Inilah yang kemudian menimbulkan keresahan banyak orang. Ada ratusan komentar yang mayoritas membantah dan menyanggah postingan tersebut.
Sebenarnya, ketika dinyatakan bahwa tubuh perempuan merupakan hak eksklusif perempuan itu sendiri, ini adalah hal benar. Seorang individu perempuan memiliki otoritas atau hak kekuasaan penuh atas tubuh dirinya sendiri. Tidak ada pihak ekstern yang berhak mengintervensi properti asasi diri seorang perempuan.
Regulasi negara bahkan membolehkan seseorang membuat delik aduan jika terjadi pemaksaan hubungan seksual oleh pasangan nikahnya. Konkretnya, apabila istri tidak sedang rela berhubungan seksual, tetapi suami memaksanya, istri bisa melaporkan suaminya ke aparatur negara atas delik rudapaksa alias perkosaan.
Otoritas perempuan atas tubuhnya sendiri memang benar kita sepakati. Penulis juga tidak setuju adanya penghakiman dan perundungan atas kasus individu yang pernah berjilbab kemudian melepasnya di ruang publik. Penulis juga tidak setuju dengan ucapan atau tindakan ofensif terhadap figur publik muslimah yang tidak berhijab di ruang publik. Namun, yang penulis persoalkan adalah narasi kalimat yang menyentil urusan agama.
Anggapan atas implementasi suatu ajaran agama tertentu sebagai "obsesi pemaksaan", ini merupakan penghakiman yang mendiskreditkan agama. Padahal konstitusi negara (Pasal 29 UUD 1945) menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Terlebih lagi, penggunaan diksi "obsesi" yang dilekatkan kepada kata "pemaksaaan".
Obsesi bermakna buruk, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), obsesi berarti gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Tudingan yang sangat berbahaya jika perempuan menjalankan ajaran berhijab dianggap berbasis gangguan jiwa pemaksaan.
Jika konsisten dengan gagasannya bahwa tidak boleh ada pemaksaan dan penghakiman dalam urusan hijab/jilbab, BEM tersebut harus konsekuen dengan tidak memaksa dan tidak menghakimi kelompok penganut agama tertentu yang berkeyakinan bahwa hijab dan jilbab itu merupakan kewajiban ajaran agamanya. Jika bisa berlaku toleran dengan cara berpakaian yang dipilih oleh individu perempuan, semestinya BEM tersebut juga bisa bertoleransi dengan pilihan keyakinan pemeluk agama tertentu terhadap tafsir hijab. BEM tersebut pasti sepakat bahwa urusan keyakinan beragama dan mempraktikkan ajaran agama adalah human rights dan universal value.
Sabtu malam 13 Juli 2024, saya ingin melihat kembali postingannya. Ternyata sudah di-take down. Saya menghormati kebebasan berpendapat dan kebebasan individu. BEM tersebut juga memiliki kebebasan dalam pilihan opini mereka. Namun sangat disayangkan, dengan take down, itu berarti mereka menghentikan proses dialog. (*)
Penulis adalah Koordinator Wilayah BEM Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama Se-Kalimantan dan anggota Historia Kaltim, tinggal di Samarinda