"BELAJAR tidak harus dari mereka yang berhasil tapi juga dari mereka yang gagal. Belajar tidak juga harus dari yang sudah lama menekuni usahanya, bisa juga kepada yang baru."
Pak Fauzan Putra Kleper memberi briefing kepada 34 mahasiswa yang sebentar lagi trip ke Muara Badak. Enaknya kuliah di program studi manajemen destinasi wisata itu adalah kuliah sambil tamasya.
Rudi Perdana yang biasa disingkat menjadi RP alias Riwayat Pintar dan kawan-kawannya ikut dalam rombongan ini. Rahman, Ulis Harat, Burhan Magenta, Ratih, Murni Murai, dan lain-lain sudah hadir di halaman kampus. Hanya Iyan Banjar yang belum datang.
Sesuai rencana, pukul 08.00 rombongan berangkat dengan Bus Arafat. Bus Arafat jadi langganan karena selalu mendapat diskon oleh pemiliknya 50 persen. Haji Ambo Dalle nama pemilik puluhan bus itu. Beliau selalu memberikan potongan harga bila busnya disewa sebagai komitmen beliau yang juga ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kaltim terhadap setiap upaya pengembangan pariwisata.
"Rombongan, sebagaimana arahan saya kemarin, dibagi dalam empat kelompok. Kelompok pertama, menggali informasi pengembangan pariwisata di Pangempang. Di sana ada Pantai Jingga, Pantai Mutiara, dan Pantai Panrita Lopi."
"Kelompok kedua, menggali informasi pengembangan wisata kuliner dan suvenir di sepanjang pantai Muara Badak."
"Kelompok ketiga, menggali informasi yang berkaitan dengan peluang usaha yang masih bisa dikembangkan di kawasan Pangempang."
"Kelompok keempat adalah kelompok khusus yang menggali potensi wisata snorkeling dan diving. Kelompok ini dipandu oleh Pak Muchlis Efendi. Beliau bukan dosen Politeknik tapi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Mulawarman. Saya minta, kelompok empat berlaku baik, sopan, dan disiplin. Jangan buat malu prodi kita apalagi Politeknik."
Ratih masuk kelompok empat. Sebenarnya, ia lebih memilih masuk kelompok dua. Akan tetapi, kelompok ini terlalu banyak peminat sehingga berlebih. Pak Fauzan juga menganjurkan Ratih ke kelompok empat karena dia mahasiswi yang sudah pandai berenang.
"Jaga kekompakan. Jaga barang. Ingat kawan kelompoknya. Naik ke dalam bus dimulai dari kelompok satu. Oh, ya, jadi hanya Sofyan yang tidak ikut, ya?"
"Ya, Pak. Mungkin berhalangan." Rudi Perdana berkata seakan mewakili teman-temannya.
Tiba-tiba dari jauh, Iyan Banjar setengah berlari. Ia disambut sorak-sorai kawan-kawannya. Sorak-sorai itu berisi celetukan ejekan. Iyan Banjar tak peduli. Ia senyum-senyum saja.
"Maaf, Pak. Terlambat." Lapor Iyan pada pak Fauzan. Yang dilapori senyum-senyum saja dan mengarahkan Iyan bergabung di kelompok empat.
Baru saja bus bergerak, Rahman melontarkan kata-kata yang membuat penumpang bus tertawa.
"Andai ada kursi paling belakang kosong, sebaiknya Iyan Banjar jangan duduk berdampingan Ratih. Kasihan Ratih, pastilah aroma orang yang duduk di sampingnya membuat mual." Semua kepala menoleh. Iyan duduk di samping Ratih. Iyan yang disebut namanya serta-merta mengangkat tangannya. Ratih tak kuat, aroma ketiak Iyan Banjar menusuk hidungnya.
"Aku tadi mandi dengan sabun mandi termahal karena aku tahu bakalan duduk di samping puteri kampus jelita." Iyan Banjar berkata dengan suara nyaring.
Belum sampai di Km 12, dekat jalan masuk bandara baru APT Pranoto, Ratih sudah mual. Ia mencoba bertahan. Baginya, tak mungkin berterus terang agar Iyan pindah tempat duduk. Pertama, kursi semua penuh. Kedua, ia pun tak sampai hati menyatakan bahwa aroma ketiak Iyan Banjar tak memperlihatkan tanda-tanda keharuman sabun yang dipuji-puji Rahman.
Ketika bus berbelok ke kanan, ke arah jalan menuju Muara Badak, Ratih tak kuat menahan mualnya. Ia meminta kantong plastik kepada Iyan Banjar. Tapi Iyan Banjar tak membawa. Rudi Perdana yang duduk di bagian depan dengan sigap memberi Ratih kantong plastik. Bus menepi. Ratih memuntahkan isi perutnya di pinggir jalan.
"Maaf, Pak. Saya memang tidak biasa duduk di belakang," ucap Ratih kepada Pak Fauzan yang menghampirinya.
"Ya sudah, kamu duduk di depan. Biar Bapak duduk di belakang."
Pak Fauzan akhirnya tahu penyebab Ratih mual. Akan tetapi, sebagai dosen, ia sudah biasa bepergian. Ia mampu menahan mual di tengah aroma apa pun. Ia biasa naik kereta barang saat kuliah pascasarjana di Bandung. Kereta barang itu kadang penuh dengan sayur, juga ayam.
***
Laut berombak kecil saat perahu motor mengantarkan kelompok empat ke Batu Lampe. Jaraknya sekitar 8 mil dari Pantai Muara Badak. Langit cerah. Perahu motor yang diberi nama 'Laut Biru' terus melaju. Ia didorong mesin merek Yanmar berkekuatan 23 PK (tenaga kuda).
Samar-samar terumbu karang di dasar laut terlihat saat mereka sudah di atas kawasan Batu Lampe. Menurut Pak Muchlis, luas karang Batu Lampe hanya sekitar 1 hektare.
Pak Muchlis kemudian menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penyelaman. Ia juga menjelaskan caranya memasang pemberat (weight belt). Setelah itu, memakai BCD (buoyancy compensator device - rompi selam), lalu menggunakan fins (kaki katak), dan terakhir barulah menggunakan masker (kacamata selam) serta mouth piece (alat untuk bernapas).
Pak Muchlis dibantu beberapa asisten dan mahasiswanya serta seorang ketua kelompok masyarakat pengawas pesisir Muara Badak bernama Muhammad Mansur. Ada pula Purwanta Pradana, sarjana ekonomi yang aktif di organisasi penyelam, dan empat orang dari FPIK yang memang punya jadwal penelitian terumbu karang hari ini. Mereka adalah Anzar, Ismail, Nur Aini Badriah, dan Tingai.
Dua mahasiswa dari FPIK Unmul ditugaskan Pak Muchlis untuk snorkeling mengitari luasan Batu Lampe. Pak Mansur yang sudah bersertifikat menyelam lebih dulu merambah terumbu karang.
Iyan tak sabar. Saat Pak Muchlis mendampingi Rudi Perdana memakai pemberat dan rompi selam, Iyan sudah 'nyebur' ke laut. Pak Muchlis terkejut begitu tahu Iyan sudah terjun dengan pemberat tanpa persetujuannya. Ia memanggil Iyan agar segera berpegang ke bibir perahu.
Iyan sendiri tak kuat membawa tubuhnya ke bibir perahu. Tangannya seperti orang meronta. Tubuhnya timbul tenggelam. Ombak datang menampar. Iyan tersedak. Air asin masuk ke mulutnya.
Ratih dan Burhan Magenta yang melihat sahabatnya susah berenang, diliputi rasa takut luar biasa. Ratih takut terjadi apa-apa karena Iyan panik.
Staf pak Muchlis dari FPIK, Ismail dan Tingai segera menolong Iyan. Mereka menggandeng Iyan ke tepi perahu. Ismail melepas pemberat di tubuh Iyan. Anak muda Banjar itu akhirnya bisa diselamatkan.
"Tidak boleh terjun ke laut sebelum memakai rompi selam. Bahaya. Pemberat itu bisa membuatmu tinggal nama." Kata Pak Muchlis menasihati.
Iyan hanya mengangguk. Ia menyesali kecerobohannya. Masih pucat pasi wajahnya. Ia meraih tangan Pak Muchlis dan menciumnya.
"Maaf, Pak"
"Maaf juga terpaksa harus menegurmu karena ini berbahaya. Saya bertanggungjawab atas keselamatan kalian," kata dosen ganteng yang belum 40 tahun usianya ini.
Tak semua mahasiswa di kelompok empat yang belajar menyelam. Tujuan kelompok empat ditugaskan untuk menggali informasi spot-spot snorkeling dan diving. Menggali informasi biota laut dan terumbu karang melalui Pak Mansur dan Pak Muchlis.
Ratih tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia minta diajari Pak Muchlis. Ia pun mencoba. Sejak kecil ia bermimpi bisa menyelam melihat ikan di terumbu karang. Inilah saatnya.
Awalnya Ratih gelagapan juga saat tubuhnya jatuh dari bibir kapal ke dalam air. Ia tak pernah menjatuhkan tubuhnya ke sungai dengan cara telentang dan kaki rata menghadap langit.
Setelah merasa nyaman dengan nafas yang hanya melalui mulut itu, Ratih pun dibimbing ke dalam air sambil memegang tali jangkar. Karang di dasar laut semakin dekat tapi telinganya juga semakin pekak. Air dasar laut yang dingin menyergapnya. Hanya dua menit di bawah, Ratih memberi isyarat pada pak Muchlis untuk kembali ke atas.
Tiba di atas, tak kuasa Ratih menahan haru, bangga, dan syukurnya.
"Subhanallah. Terima kasih, Allah, Engkau berikan aku kesempatan melihat surgamu," kata Ratih dengan suara nyaring. Burhan Magenta di atas perahu tersenyum senang melihat Ratih.
"Masih mau coba?"
Ratih menganggukkan kepalanya. Mereka pun menyelam lagi diiringi tatapan Burhan Magenta. Sesungguhnya Burhan ingin juga menyelam tapi peralatan terbatas. Ia terpaksa menahan diri. Burhan Magenta bisa membayangkan betapa bahagianya di dasar laut dengan hamparan terumbu karang dan ikan warna-warni. Burhan akan minta izin meminjam peralatan selam yang dikenakan Pak Muchlis.
"Alhamdulillah. Luar biasa. Mengapa tidak sejak dulu aku belajar ya, Pak?" Ratih berkata kepada Pak Muchlis saat keduanya muncul di permukaan.
"Ayo kita naik. Hari sudah sore. Kita harus pulang. Sebentar lagi malam," kata Pak Muchlis seraya menyuruh Pradana membantu Ratih naik ke perahu.
Putus harapan Burhan Magenta untuk menyelam. Ia belum sempat menyatakan keinginannya saat Pak Muchlis mengatakan mereka harus pulang sekarang.
Benar saja, sore meredup. Warna jingga senja menghiasi langit. Senja yang indah. Burhan menikmati senja itu dengan berbagai rasa. Sesekali matanya menatap Ratih yang duduk di depan. Sesekali pula matanya bersepandang dengan Ratih. Ratih tersenyum. Burhan tahu, senyum itu bukan untuk dirinya tapi untuk kebahagiaan Ratih sendiri yang telah berhasil menyelam didampingi Pak Muchlis Effendi sebagai pendamping sekaligus pelatihnya.
"Senja yang indah. Tapi bukan untukku," bisik batin Burhan Magenta sambil melihat seekor camar yang tiba-tiba menukik dan mencengkram seekor ikan permukaan ke mulutnya. Ikan itu dibawanya terbang entah ke mana. (bersambung)