Ditulis oleh: Joko Supriyadi*
BUKU ini saya baca sekali duduk, kurang lebih empat jam. Tulisannya mudah dibaca dan saya memang antusias karena isinya memang urgen untuk dipahami.
Judul utama buku ini adalah Histori Kutai dengan anak judul Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik. Penulisnya memang andal menguraikan soal-soal sejarah dengan bahasa yang ringan. Beliau adalah Muhammad Sarip. Ini buku ketiganya tentang sejarah Kutai dan saya sudah punya semua.
Kenapa buku ini urgen atau mendesak untuk dibaca? Pertama, karena Ibu Kota Negara (IKN) dibangun di Kalimantan. Kedua, Kesultanan Kutai bertetangga dengan Kesultanan Bulungan.
Mengingat IKN berlokasi di Kalimantan, momentum kebangkitan kembali kejayaan masyarakat Kalimantan terbuka lebar. Seperti kata Prof Asvi Warman Adam dalam epilog buku ini, lokasi IKN bukanlah tempat yang antah berantah atau somewhere in the jungle melainkan suatu tempat yang sudah berperadaban tinggi.
Dulu di Kalimantan, memang sudah ada kesultanan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Kesultanan di Kalsel dihapuskan Belanda. Kesultanan di Kalbar dihancurkan Jepang. Kesultanan di Kaltim, kecuali Paser, dilebur menjadi daerah kabupaten oleh pemerintah Indonesia. Meskipun begitu, kejayaan itu kembali ke Kalimantan.
Buku ini tidak hanya romantisme sejarah, namun dapat memperkuat solidaritas masyarakat Kalimantan. Masyarakat dapat lebih mengenal diri dan menyadari bahwa mereka penuh potensi di dalam diri. Harapannya, dengan solidaritas ini, masyarakat Kalimantan dapat memperjuangkan bersama-sama apa yang menjadi haknya--seperti kata salah satu pengantar buku ini--bagi hasil sumber daya alam yang adil antara pemerintah pusat dan daerah.
Buku ini memberi contoh bahwa sejarah perlu disusun ulang narasinya. Sejarah juga perlu diperbaiki dari kesalahan penamaan dan interpretasi, ditutupi lubang-lubang misteri, diungkapkan heroisme dan keberpihakannya terhadap NKRI, dan dijelaskan dengan mudah meriah.
Buku ini juga memberi banyak informasi tentang perbedaan Kutai Kertanegara dengan Martapura serta tentang masuknya Islam melalui Tuan Tunggang Parangan. Ada pula penjelasan hubungan antara Kesultanan Kutai dengan peradaban selatan (Jawa), peradaban utara (Brunei dan Sulu), serta peradaban jauh (Inggris dan Belanda). Selain itu, buku ini bercerita banyak mengenai sejarah Kutai pasca-Perang Dunia II.
Secara khusus, saya tertarik dengan peristiwa tahun 1964 dan 1965 yang disinggung dalam buku tersebut. Kesultanan Kutai berhadapan dengan dua panglima Kodam IX Mulawarman yakni Soehario dan Soemitro. Walau Kesultanan Kutai tidak sampai dihancurkan, namun baru pada 1999 (pasca-Orde Baru) ia dibangkitkan kembali.
Peristiwa 1964 yang dialami oleh Kutai tampaknya bukanlah peristiwa yang kebetulan atau tanpa terencana. Pada saat yang sama, Kesultanan Bulungan mengalami hal yang sama. Di pertengahan tahun tersebut, puluhan bangsawan Bulungan ditangkap dan dihilangkan tanpa melalui proses hukum. Peristiwa ini dikenal dengan nama Bultiken.
Menurut banyak saksi mata, istana Kesultanan Bulungan kala itu juga dirampok. Tidak sampai di situ, empat buah warisan sejarah dan budaya berupa Istana Azimuddin, Istana Sultan Jalaludin, Istana Sultan Achmad Sulaimanuddin, dan Rumah Adat Kesultanan dihancurkan. Masyarakat Bulungan mengalami trauma hebat khususnya keturunan dari para bangsawan yang menjadi korban.
Peristiwa Bultiken juga menyebabkan berhentinya aktivitas seni budaya Bulungan dalam waktu yang lama. Seni tari, seni busana tradisional, seni Teater Mamanda, dan seni musiknya baru dapat bangkit kembali puluhan tahun kemudian.
Peristiwa Bultiken bukanlah peristiwa kebetulan, berdiri sendiri, atau tanpa terencana. Peristiwa Bultiken merupakan hasil dari perencanaan yang cukup matang. Di sinilah pentingnya Histori Kutai karya Muhammad Sarip. Diceritakan di karyanya ini, bahwa tidak hanya Soehario namun Soemitro juga berbuat tidak layak terhadap Kesultanan Kutai.
Dengan demikian, ini mengonfirmasi bahwa konflik antara Kodam Mulawarman dengan kesultanan waktu itu bukan hanya inisiatif Soehario atau Soemitro. Kedua jenderal itu berbeda ideologi. Soehario dikenal dekat dengan orang-orang Partai Komunis Indonesia sedangkan Soemitro dekat dengan Soeharto.
Bisa dikatakan bahwa peristiwa yang menimpa Kesultanan Kutai memiliki keterkaitan dengan peristiwa Bultiken di Bulungan. Terdapat kemungkinan bahwa operasi militer yang mendestruksi Kesultanan Bulungan juga bertanggung jawab terhadap peristiwa 1964 yang dialami oleh Kesultanan Kutai.
Saya berharap, penulis dapat mengulas peristiwa yang menimpa Kesultanan Kutai pada 1964 secara lebih mendalam dan komprehensif agar dapat menyibak misteri otak sesungguhnya di balik peristiwa tersebut. Apa alasan mereka melakukannya? Apakah benar PKI terlibat? Ataukah, Presiden Sukarno yang memerintahkan?
Tentunya, suatu penelitian serius terhadap topik ini membutuhkan bantuan Kodam Mulawarman selaku instansi yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Tujuannya bukanlah mencari siapa yang benar atau salah melainkan meluruskan sejarah dan mengumpulkan fakta-fakta untuk menegakkan keadilan. Harapannya, dengan tercapainya tujuan tersebut, peran sentral kesultanan sebagai simbol seni dan budaya di Kalimantan Timur dan sekitarnya dapat dikembalikan. Upaya memajukan kebudayaan dapat lebih mudah diwujudkan.
Buku-buku seperti karya Muhamad Sarip diharapkan dapat muncul juga dari Berau dan Bulungan sebagai dua wilayah yang berdekatan dengan Kesultanan Kutai. Begitu juga dengan Kesultanan Banjarmasin dan Pontianak. Istimewa, diharapkan juga muncul buku-buku dari pedalaman.
Baca juga: Histori Kutai dalam Perspektif Kaum Muda
Kalimantan kelak menjadi tempat Ibu kota Negara Indonesia. Akan ada banyak perubahan tidak hanya di bidang infrastruktur namun di bidang seni dan budaya. Ciri khas seni budaya Kalimantan terancam tergerus dan hilang dalam jangka panjang. Oleh karena itu, SDM Kalimantan perlu dibangkitkan pengetahuan dan kesadarannya melalui buku-buku sejarah seperti Histori Kutai ini. (*)
*) Penulis adalah direktur utama Yayasan Sejarah dan Budaya Kalimantan Utara, penulis buku Menggugat Subversif Bultiken 1964
Foto artikel: Pangdam IX Mulawarman, Brigjen Sumitro, berpidato di teras istana Kutai di Tenggarong, 20 Mei 1965. FOTO: Histori Kutai (2023, hlm 242)