kaltimkece.id Jemaat Gereja Protestan Nduga di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua, baru saja melaksanakan ibadah rangkaian menyambut Natal. Simon Tandi bersama Joni Arung pergi meninggalkan gereja. Hari sudah gelap. Jam menunjukkan pukul 19.00 waktu setempat. Saat itu Sabtu, 1 Desember 2018.
Simon merupakan warga Kutai Kartanegara atau Kukar. Bersama Joni, mereka bekerja untuk PT Istaka Karya. Di Papua, perusahaan tersebut membangun Jembatan Kali Aroak dan Jembatan Kali Yigi. Masih bagian dari proyek jalan Trans Papua di distrik tersebut.
Hitungan tahun di sana, kondisi setempat sudah cukup familier. Hal itulah yang membuat keduanya penuh hati-hati ketika pulang malam ke camp pekerja. Bahaya selalu mengintai saat hari sudah gelap. Kelompok separatis rutin berkeliaran.
Malam itu, jalur yang mereka tempuh salah satu yang sering dilewati. Bukan sekadar waspada, Simon dan Joni harus sampai tujuan dengan cepat. Maka, langkah kaki sesekali diselingi lari kecil. Waswas mulai lega begitu camp tampak di depan mata.
Tapi kelegaan itu cuma sesaat. Ada perasaan aneh melihat camp PT Istaka Karya dalam kondisi gelap. Satu-satunya penerangan hanya cahaya bulan. Heran. Biasanya lampu sudah menyala. Apalagi suasananya sangat sepi. Tak ada aktivitas. Pekerja rutin berkumpul pada waktu-waktu begini.
Simon dan Joni langsung memeriksa isi camp. Pintu sudah terbuka sebelum mereka masuk.
Begitu lampu dinyalakan, keduanya terkejut seketika. Dari belakang pintu, Simon melihat ruang makan sudah kacau. Barang-barang banyak berhamburan. Sekilas seperti telah terjadi perkelahian.
Tak lagi ada seseorang di seisi camp. Joni dan Simon tambah cemas. Mereka bersiap mendatangi warga. Permukiman tak jauh dari lokasi camp.
Namun, sesaat setelah keluar camp, belasan warga menghampiri. Penduduk setempat memberitahu bahwa seluruh pekerja dibawa kelompok separatis ke puncak bukit Kabo. Kelompok itu sudah tak asing. Tak lain tak bukan adalah kelompok kriminal bersanjata (KKB) dari Organisasi Papua Merdeka atau OPM.
"Tahu-tahu sudah banyak warga mengerubungi kami. Mereka bilang, semua teman-teman pekerja dibawa ke bukit Kabo. Saya berdua dicari kelompok mereka dan diminta menyusul teman-teman ke atas bukit," ungkap Simon Tandi ketika dihubungi kaltimkece.id, Sabtu malam, 8 Desember 2018.
Simon dan Joni sempat berencana menyusul. Tapi niat itu digagalkan warga. Semua melarang. Menyusul sama saja mengantarkan nyawa. "Waktu itu sudah pukul 21.00. Saya sudah mau naik menyusul. Mereka bilang jangan pergi ke atas. Nanti kami ikut dibunuh," kata Simon.
Warga lalu membawa keduanya ke rumah Camat. Simon dan Joni diminta menginap dan mendapat penjagaan. "Banyak warga mengelilingi kami. Mereka semua menjaga supaya kami tetap selamat," kata Simon.
Kepada kaltimkece.id, Simon menceritakan kemungkinan alasan KKB mengamuk. Bermula dari pekerja PT Istaka Karya yang memutuskan tidak bekerja pada Sabtu itu. Sebagian hanya mengisi waktu dengan beristirahat.
Ketika itu, tak jauh dari camp, anggota kelompok bersenjata melaksanakan upacara peringatan HUT Tentara Pembebasan Nasional OPM. Peringatan itu dilakukan tiap 1 Desember.
Upacara tersebut dimeriahkan tradisi ritual bakar batu. Para pekerja yang tak sengaja menyaksikan, tertangkap mata kelompok bersenjata itu. Mereka terusik dan bereaksi.
Maka, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, camp PT Istaka Karya didatangi. Senjata ditodongkan. Para pekerja dipaksa keluar. Jumlahnya 25 orang.
"Tidak ada yang ambil foto saat itu. Pekerja hanya melihat-lihat. Mungkin kelompok itu merasa terusik karena para pekerja dekat dengan aktivitas mereka. Itu keterangan warga dan teman saya yang selamat dari pembantaian," ungkap Simon.
Para pekerja yang dikumpulkan, digiring menuju kali Karunggame. Semua tangan terikat. Ada 50 orang bersenjata campuran standar militer mengawal. Seluruh pekerja diperintahkan berjalan ke Puncak Kabo.
Perjalanan dibarengi teriakan dan nyanyian. Di tengah jalan, para pekerja yang tertawan dipaksa berbaris dengan formasi lima saf. Rute dilanjutkan dengan jalan jongkok. "Tidak lama kemudian para KKB kegirangan. Menari-nari sambil berteriak suara hutan khas pedalaman Papua.”
Selepas itu, para pekerja ditembak dengan sadis. Sebagian mati di tempat. Sebagian lagi pura-pura mati. Mencoba mengelabui dengan terkapar di tanah.
Setelah situasi mereda, sebelas pekerja selamat berusaha bangkit. Mencoba melarikan diri saat KKB meninggalkan korban. Malangnya, upaya itu terlihat. Kelompok bersenjata kembali mengejar. Lima orang tertangkap dan dibunuh saat itu juga.
Dua orang belum ditemukan. Empat lainnya telah diamankan anggota TNI. Salah satunya adalah Jimmy Aritonang. Kronologis dalam tulisan ini disampaikan Simon berdasar kesaksian Jimmy. Sejauh ini, 16 orang dinyatakan tewas. Seluruhnya berhasil dievakuasi dan diidentifikasi. "Termasuk teman saya sekampung di Jahab, Pak Samuel menjadi korban," kata Simon.
Pukul 21.00, Camat Yigi mendatangi Joni dan Simon. Ada kabar dari warga bahwa nyawa Camat ikut terancam. Bila ketahuan menyembunyikan Joni dan Simon, kaki Camat diancam dipotong. "Kelompok itu terus mencari kita. Sampai akhirnya Camat sampaikan kalau ketahuan menyembunyikan, kaki Camat akan dipotong," katanya. Simon ketika diwawancara mengaku lupa nama Camat yang memberinya tumpangan.
Camat Yigi kemudian memerintahkan warga membawa lari Joni dan Simon. Keduanya akan diantarkan ke posko TNI. Namun, yang terdekat pun letaknya sangat jauh. Untuk sampai ke sana, diperlukan tiga hari berjalan kaki. Simon dan Joni terpaksa meninggalkan kantor kecamatan malam itu juga. Ia ditemani empat warga setempat.
Mereka beruntung angkat kaki tepat waktu. Baru lima menit memulai perjalanan, suara keramaian terdengar. Kelompok bersenjata telah tiba di rumah Camat. Tujuan mereka adalah Simon dan Joni. Suara tembakan beberapa kali terdengar.
"Waktu itu kami sudah di atas bukit. Di sana terdengar suara ramai sekali. Ternyata kelompok itu," ungkap Simon.
Meloloskan diri dari gerakan separatis ditempuh dengan jalur ekstrem. Sebagian besar masih hutan. Tak ada kata istirahat. Teror KKB bisa datang kapan saja. Joni sampai tak kuasa. Bahkan harus ditandu karena kelelahan. "Mandor saya (Joni) sampai harus ditandu karena kelelahan dan pingsan. Perjalanan kami cukup berat," kata Simon.
Anak sungai, lembah, dan perbukitan adalah medan yang harus dilewati. Setelah tiga hari, harapan bertahan hidup muncul lagi. Personel gabungan TNI dan Polri sudah terlihat. Simon dan Joni akhirnya tertolong. Selain keduanya, empat pekerja lain berhasil diamankan.
"Teman saya yang selamat ada di sana juga. Dia berhasil selamat setelah pura-pura mati. Saat itu saya hanya dapat kabar, kalau teman saya Samuel tewas ditembak. Saya merasa bersalah," ungkap Simon.
Pekerja yang selamat dievakuasi dengan helikopter menuju Timika. Dari keempat warga yang memandu penyelamatan Simon dan Joni, dua ikut serta.
"Saya beruntung ada mereka. Karena mereka saya selamat. Dari empat yang antar saya ke posko TNI, dua orang tinggal. Dua orangnya lagi ikut kami ke Timika," kata Simon.
"Nama mereka Sarki dan Asen. Sekarang sama saya di hotel. Kami berempat bertahan di sini untuk memberikan keterangan kepada petugas," tambahnya.
Melalui sambungan telepon, kaltimkece.id mendapat kesempatan berbincang dengan Sarki. Soal tindakan heroiknya itu, Sarki mengaku merasa terdorong. Dasarnya adalah kemanusiaan. "Saya sama-sama pergi karena kita manusia. Saya hanya membantu. Mungkin itu yang saya bisa lakukan," kata Sarki.
Warga asli Yigi itu menyingkirkan segala rasa takut. Risiko memang besar. Ia maupun keluarga bisa saja diincar karena menolong Joni dan Simon. Tapi teror itu tak menyurutkan niatnya. "Saya tidak takut karena kami putra daerah. Kami selalu lawan OPM. Jadi saya tidak pernah takut," tegasnya.
Di Jahab, Kukar, Ridha Sabda yang merupakan istri dari Simon Tandi bisa lega setelah mendapat kabar suaminya selamat. Ia merasa keselamatan sang suami merupakan mukjizat Natal. "Anak saya selalu bilang, ‘yakin saja, Mak. Bapak itu selamat’. Ini adalah mukjizat Natal. Tuhan masih berikan nyawa," syukur Ridha.
Rasa pasrah dan putus asa memang sempat muncul. Kabar Simon sempat mengambang. Ia dikabarkan hilang dan masih dalam pencarian. "Tiga hari tanpa kejalasan saya cuma bisa menangis. Sampai akhirnya saya dapat kabar dia selamat di posko hari Rabu," kata Ridha.
Atas peristiwa tersebut, Ridha tidak ingin suaminya melanjutkan pekerjaannya saat ini. "Saya maunya dia enggak usah di sana lagi. Cari kerja disini saja," tutup Ridha. (selesai)
Editor: Bobby Lolowang