kaltimkece.id Bangunan semipermanen bercat hijau roboh ketika puluhan petugas gabungan menarik paksa tiang-tiang rumah berbahan kayu tersebut. Inilah bangunan pertama yang dieksekusi petugas gabungan Satuan Polisi Pamong Praja, Polri, TNI, serta dinas terkait pada Senin pagi, 17 Februari 2020.
Rumah tersebut merupakan salah satu bangunan yang dibangun secara ilegal di jalan Poros Tenggarong-Samarinda. Selain ilegal, bangunan tersebut diduga menjadi wadah praktik prostitusi dengan kedok warung kopi, atau biasa dikenal sebagai warung kopi pangku. Informasi yang dihimpun media ini, warung tersebut sudah ditinggal pemiliknya sepekan terakhir.
Di dalam bangunan petugas menemukan pakaian, alat elektronik, serta banyak pak alat kontrasepsi. Warung di Kecamatan Tenggarong Seberang itu bukan bangunan satu-satunya yang dieksekusi hari itu.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kukar Fida Hurasani menuturkan, hari itu ada enam bangunan yang terdiri dari 12 lapak dieksekusi. Tidak satupun bisa menunjukkan surat-surat izin membangun di pintu masuk Kukar dari Samarinda tersebut. "Namun dari 12 lapak, hanya tiga yang kami eksekusi dari nol. Sebab pemilik sembilan lapak lainnya menyatakan siap membongkar sendiri tempat usaha mereka," sebut Fida.
Satpol PP Kukar telah melayangkan surat perintah untuk pembongkaran bangunan. Dalam surat itu pemilik lapak diberi waktu dua hari dan mulai membongkar pada Sabtu, 15 Februari 2020. Berdasar pendataan sebenarnya ada lebih enam bangunan berada di sana. Namun demikian, pemilik bangunan mengklaim memiliki izin.
Pihak Satpol PP pun masih menunggu, sambil berkoordinasi dengan pihak kecamatan. Tapi kalau sampai perpanjangan waktu tidak bisa menunjukkan, tentu akan dibongkar. "Jadi penertiban hari ini hanya awal," terangnya.
Bicara bisnis lendir di kawasan tersebut, Satpol PP Kukar mendata 33 pekerja seks komersial atau PSK di sepanjang poros Tenggarong-Samarinda untuk wilayah hukum Kukar. Info yang mereka terima para PSK tersebut ada yang kembali ke lokalisasi, ada pula yang kembali ke daerah asal. "Alhamdulillah, dari 33 PSK yang kami data, tidak ada berstatus warga Kukar," terangnya.
Perlu waktu tiga tahun bagi Satpol PP Kukar bisa menertibkan kawasan tersebut. Terakhir, penertiban dilakukan 2017, dengan perlawanan pemilik warung kopi. Kesulitan lainnya, poros Tenggarong-Samarinda adalah perbatasan dua daerah. "Baru pada 2019, keluar kejelasan batas wilayah dua daerah," ujarnya.
Warga Lega
Konon, istilah kopi pangku muncul karena pada awalnya banyak yang mengira pelanggan disuguhi kopi dan meminumnya sembari dipangku. Ada pula yang mengatakan, istilah kopi pangku hanya pelesetan dari bisnis esek-esek berkedok warung kopi. Faktanya, memang tidak ada pangku-pangkuan dalam arti sebenarnya di kompleks kedai kopi tersebut.
Cap kopi pangku membuat warga Tenggarong Seberang resah. Beberapa kali mereka melaporkan kepada kecamatan. Rahman Sholeh, warga Tenggarong Seberang menyebut, citra kawasan lokasi tempat tinggalnya menjadi buruk. “Selain itu, kalau ada operasi, warung saya juga ikut diperiksa,” tuturnya.
Rahman merupakan salah satu yang menjalankan bisnis warung kopi di sana. Namun tanpa praktik "pangku-pangkuan". Kepada kaltimkece.id, Rahman merasa lega ada tindakan dari pemerintah. Meski begitu, menurut dia, pemerintah mesti lebih peka terhadap laporan masyarakat. "Apalagi, jalan ini kan ibarat salah satu etalase Kukar. Masa iya etalase sebuah daerah menyuguhkan pemandangan seperti itu," terangnya.
Diwawancara terpisah, Kepala Polsek Tenggarong Seberang AKP Rido Doly Kristian menuturkan, pihaknya menurunkan 30 personel dalam operasi tersebut. "Kami sifatnya back up saja," ujarnya. Mereka diturunkan kalau-kalau terjadi perlawanan dari pemilik lapak seperti pada 2017.
Sementara itu, Camat Tenggarong Seberang Suparman menyebut, setelah penertiban tersebut pihaknya akan melakukan pengecekan secara berkala. "Kalau ada lagi indikasi terjadi praktik prostitusi, akan segera ditindaklanjuti," terangnya. Jangan sampai praktik prostitusi kembali menjamur, baru dilakukan penindakan. (*)
Editor: Bobby Lolowang