kaltimkece.id Keributan itu berasal dari sebuah ruangan di lantai dua pondok pesantren khusus penghafal Alquran di Samarinda. Seorang santri berusia 20 tahun, panggil saja Ikari, mendatangi empat adik tingkatnya yang sedang duduk bersila. Ikari yang merasa uang Rp 200 ribu di lemarinya raib menghardik seseorang dari mereka.
Sabtu menjelang azan magrib, 18 Februari 2023, Ikari langsung menuduh Hiruma (bukan nama sebenarnya) yang masih berusia 13 tahun. Menurut Ikari, Hiruma-lah yang mengambil uang tersebut. Hiruma menyangkalnya dengan cepat. Akan tetapi, Ikari sudah terbalut emosi. Ia sama sekali tak mendengar pembelaan tersebut. Ikari justru menampar pipi kiri dan kanan Hiruma beberapa kali.
Kekerasan itu berlanjut tatkala Ikari menyatukan kedua tangannya yang terkepal. Ia meninju dada Hiruma. Anak lelaki malang itu tersungkur. Melihat Hiruma pingsan, Ikari panik. Ia sempat memberikan segelas air mineral.
“Setelah itu, korban mengeluarkan cairan dan lendir dari mulut maupun hidung. Korban dibawa ke unit kesehatan sekolah milik pondok pesantren lalu diantar ke klinik terdekat,” demikian Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Samarinda, Ajun Komisaris Besar Polisi Eko Budianto, Jumat, 24 Februari 2023.
Setibanya di klinik, Hiruma dinyatakan meninggal dunia oleh bidan yang memeriksa. Jenazah lalu dibawa ke RSUD AW Sjahranie. Dua hari setelah peristiwa itu, Senin, 20 Februari 2023, pimpinan pondok pesantren, staf pengajar, didampingi bhabinkamtibmas setempat menyerahkan Ikari ke Kepolisian Sektor Kota Sungai Pinang.
Di muka petugas, Ikari mengakui perbuatannya. Menurutnya, Hiruma telah mencuri uang Rp 200 ribu. Dasar dari tuduhan tersebut, menurut Ikari, karena Hiruma pernah ketahuan mengambil uang di pondok pesantren.
Kepolisian menetapkan Ikari sebagai tersangka. Ia dijerat pasal 338 subsider pasal 351 ayat 3 KUHPidana tentang penganiayaan yang menyebabkan nyawa orang melayang.
Menurut catatan Polresta Samarinda, kasus penganiayaan berat cukup menonjol di Kota Tepian. Pada 2021, ada 36 kasus. Sementara itu pada 2022, jumlahnya naik menjadi 42 kasus. Penganiayaan berat menjadi kejahatan kelima tertinggi di Samarinda.
Di Balik Perilaku Agresif
Fenomena apa yang perlu diperhatikan dari penganiayaan berujung kematian ini? Menurut Ayunda Ramadhani, psikolog klinis di Samarinda, kekerasan yang dilakukan remaja cenderung meningkat belakangan ini. Ia menyoroti ketiadaan sensor di media sosial. Remaja mudah mengakses konten-konten kekerasan lalu mengikutinya.
Menurut disiplin ilmu psikologi, perbuatan kekerasan termasuk tindakan yang disebut agresi. Perilaku agresi bisa berupa perbuatan verbal maupun nonverbal. Tujuannya adalah menyakiti, melukai, dan merusak orang lain. Ayunda mengemukakan dua teori mengenai perilaku agresi.
Pertama, teori perilaku. Seseorang bisa berperilaku agresif untuk bertahan hidup. Teori ini mengemukakan bahwa bertahan hidup sudah merupakan insting manusia. Dalam konteks kasus di atas, jelasnya, Ikari kemungkinan merasa terancam. Uang miliknya yang hilang bisa saja merupakan kebutuhan baginya untuk bertahan hidup. Ketika Rp 200 ribu itu hilang, insting tadi memicu sikap agresi. Manakala perilaku agresif muncul, seseorang tidak akan melihat kebenarannya terlebih dahulu. Dalam hal ini, Ikari tidak memastikan lagi siapa yang mencuri uangnya.
"Justru dengan berperilaku agresif, ia mencari tahu uangnya diambil orang itu atau tidak. Ia ingin uang itu segera dikembalikan. Akhirnya, yang bersangkutan justru dikuasai perilaku agresif sehingga tidak lagi memakai akal sehat," jelas Ayunda.
Teori yang kedua adalah social learning. Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah hal yang dipelajari sejak seseorang kecil. Pada akhirnya, perilaku ini menjadi pola respons orang tersebut ketika menghadapi masalah. Dengan kata lain, seseorang yang melihat kekerasan saat masih anak-anak bisa melakukan kekerasan ketika tumbuh dewasa.
Ayunda mengatakan bahwa tak menutup kemungkinan Ikari tumbuh di dalam keluarga yang agresif. Sebagai contoh, ketika anggota keluarganya berinteraksi, Ikari seringkali dipukuli. Bisa juga Ikari melihat kekerasan dari lingkungannya. Termasuk pernah melihat di media sosial.
“Yang perlu diperhatikan, kedua teori di atas hanya dugaan. Tetapi jangan lupa, media sosial saat ini menyuguhkan banyak kekerasan. Seolah-olah itu biasa terjadi dan dianggap normal," sambungnya.
Penyebab perilaku agresif sebenarnya bukan hanya dari kedua teori tadi. Ayunda menambahkan, latar belakang perilaku agresif perlu mempertimbangkan faktor pengaruh obat-obatan terlarang maupun kondisi kejiwaan. Perspektif frustasi agresi, contohnya, adalah situasi yang didorong ketika seseorang gagal mencapai tujuan atau menemui hambatan. Orang yang mengalami frustasi agresi cenderung melukai objek yang menghambatnya.
"Padahal, kekerasan itu sejatinya dapat dicegah dengan penguatan keluarga, pembentukan karakter anak yang positif, termasuk pembentukan emosi anak yang baik,” jelas Ayunda. Pencegahan tersebut diyakini mampu memendam potensi perilaku agresi pada saat anak tumbuh dewasa. (*)
CATATAN REDAKSI: Artikel ini mengikuti Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sebagaimana diatur Dewan Pers serta Undang-Undang 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.