kaltimkece.id Kira-kira 12 tahun silam, Moafi dan Sumryah membeli sebuah rumah di Balikpapan. Rumah tersebut tepat di atas bukit yang dikelilingi pepohonan nan rimbun. Kediaman mereka itu seperti sebuah belantara yang masih sunyi walaupun sebenarnya tidak begitu jauh dari kebisingan kota.
Hunian tersebut beralamat di RT 39, Kelurahan Gunung Sari Ulu, Kecamatan Balikpapan Tengah. Keluarga Moafi dan Sumryah ternyata menemui kesulitan. Air tawar yang menjadi sumber utama kehidupan manusia tak bisa mereka peroleh.
Pasangan suami-istri itu mesti menadah air hujan untuk minum, memasak, mandi, mencuci, dan keperluan lainnya. Debit air hujan tentu tak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Masalah akan makin pelik ketika memasuki musim kemarau.
"Saya ingat betul, kami pernah mandi pakai air galon (air minum kemasan)," kenang Sumryah, 48 tahun, ketika ditemui kaltimkece.id di kediamannya, Kamis, 1 Februari 2024.
Setahun setelah menempati rumah tersebut atau pada 2013, Moafi mengebor sebuah sumur. Mata bor itu mencapai kedalaman 72 meter di samping rumahnya. Menggunakan pompa, air tawar akhirnya keluar. Masalah rupanya belum selesai di situ. Air dari sumur kotor dan beraroma tak sedap. Keluarganya pun pasrah memakai air tersebut.
Di sisi lain, kehadiran air sumur ternyata menjadi peluang usaha. Walaupun kotor dan berbau, beberapa tetangga Sumryah membeli air dari sumur tersebut. Mereka mengakalinya dengan mencampurkan kapur. Air menjadi jernih dan layak konsumsi.
Semenjak airnya dibeli, keluarga Sumryah terus memutar otak agar air sumur tetap bersih tanpa bantuan. Beberapa upaya pernah dilakukan namun tak ada yang berhasil. Paling-paling, cerita ibu tiga anak itu, air hanya jernih selama sebulan. Setelahnya, instalasi pengelola air rusak dan air kembali keruh.
"Bahkan ada yang hanya bertahan seminggu," ceritanya.
Usaha mendapatkan air dari PDAM bukannya tidak ada. Keluarga Sumryah bersama sejumlah tetangganya, termasuk ketua RT 39, beberapa kali menyuarakan masalah tersebut kepada PDAM dan anggota dewan. Sampai hari ini, air PDAM tak kunjung tiba di kampungnya. Permukiman di lokasi yang tinggi disebut menjadi penyebab air PDAM sulit masuk.
Asa datang memasuki akhir 2023. Seorang rekan menawarkan konsep penjernih air yang relevan kepada Moafi. Rekan tersebut juga bersedia membantu keuangan pembangunannya. Setelah ditimbang-timbang, Moafi segera menggarap konsep tersebut.
Ia membeli beberapa tandon berbagai ukuran dengan harga Rp 1,5 juta hingga Rp 3,5 juta. Moafi kemudian merakit sebuah filter penjernih air. Penyaring tersebut berwadahkan drum plastik. Isi drum tersebut adalah pasir laut, karang, hingga lidi atau ijuk. Menggunakan sejumlah paralon dan pompa, air dari sumur dialirkan ke filter tersebut.
Pada 1 Januari 2024 atau tepat satu bulan lalu, filter tersebut dioperasikan. Masalah air tawar yang membelenggu keluarga Moafi selama bertahun-tahun akhirnya sirna. Air jernih tanpa bau mengucur deras dari filter tersebut.
"Alhamdulillah, ini berkah buat kami," timpal Moafi. Kini, sambungnya, 53 rumah telah menikmati air tersebut. Ia mematok harga Rp 15 ribu per satu kubik atau 1.000 liter. âKalau ada dukungan dari pemerintah, saya siap mengembangkan instalasi ini agar makin banyak warga di sini yang mendapatkan air bersih,â imbuhnya.
Inovasi air bersih yang dibuat Moafi itu mendapat sambutan hangat dari Pemerintah Kota Balikpapan. Rabu, 31 Januari 2024, Wali Kota Balikpapan, Rahmad Masud, menengok instalasi tersebut. Rahmad mengapresiasi usaha yang dilakukan Moafi.
"Beberapa daerah di Balikpapan memang masih ada yang belum dijangkau PDAM. Jadi, ini adalah salah satu solusi yang membanggakan," ucapnya.
Wali Kota berharap, inovasi tersebut dicontoh masyarakat lainnya. Pemkot dipastikan siap membantu. Yang terpenting, masalah air baku di Kota Minyak segera tuntas. (*)