kaltimkece.id Tiada banyak lagi kapal jenis vessel yang mengangkut batu bara lempar sauh di pelabuhan India. Kapal lintas negara tersebut mulai jarang bersandar sejak Negeri Hindustan di-lockdown seturut pandemi Covid-19. Sudah empat bulan belakangan, konsumsi energi di India berkurang drastis.
Pandemi bukan satu-satunya penyebab impor batu bara India melorot. India Times melaporkan, Perdana Menteri Narendra Modi berencana memangkas impor emas hitam secara besar-besaran. Menurut sumber terpercaya, pemerintah setempat bahkan menyiapkan India bebas dari impor batu bara pada 2023 (Lockdown: India's Avoidable Coal Imports to be Brought Down to Zero, artikel, 2020).
Sebagai langkah awal untuk mengejar target tersebut, pemerintah menugaskan Coal India Ltd (BUMN di negara tersebut) memproduksi 100 juta ton batu bara dalam negeri tahun ini. Produksi domestik tersebut untuk menutupi kebutuhan yang biasanya dipenuhi dari impor. Langkah selanjutnya yang diambil Perdana Menteri Modi adalah melelang 41 blok tambang kepada swasta melalui kebijakan privatisasi. Begitu rencana ini berjalan, India segera menjadi negara yang mandiri secara energi.
Sampai 2019, India rata-rata mengimpor 240 juta ton batu bara dalam setahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 122 juta ton atau lebih dari 50 persen di antaranya berasal dari Indonesia. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mencatat, kiriman batu bara Indonesia ke India setara 27 persen dari total ekspor emas hitam nasional. Angka ekspor ini hanya kalah dari Tiongkok yakni 147,2 juta ton setahun atau 33 persen dari total ekspor batu bara Indonesia.
Kondisi pasar ekspor di India membawa badai kepada industri pertambangan. Masih menurut APBI, ekspor batu bara ke India sudah melorot 20 persen selama empat bulan terakhir. Keadaan yang lebih gawat ditunjukkan catatan Badan Pusat Statistik. Permintaan impor batu bara dari India turun 65,8 persen pada Mei 2020 jika dibandingkan periode Mei 2019.
Pukulan bagi Kaltim
Kaltim adalah daerah penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM, empat dari 10 pengekspor batu bara terbesar Indonesia berasal dari Kaltim. Keempatnya adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, dan PT Indominco Mandiri.
Dengan demikian, Kaltim amat terpukul karena India adalah pasar ekspor terbesar kedua batu bara Bumi Etam. Ekspor batu bara Kaltim ke India memiliki pangsa 26,79 persen dari total ekspor provinsi ini pada 2019 sebagaimana Laporan Perekonomian Kaltim 2019 dari Bank Indonesia.
Masih banyak lagi tekanan bagi kinerja perusahaan tambang di Kaltim. Sudah hampir setahun, harga batu bara internasional belum beranjak dari USD 55 per ton. Menurut bursa ICE Newcastle sebagai salah satu acuan harga batu bara global, komoditas tersebut sudah menyentuh USD 52,4 per ton pada pertengahan Juli 2020. Dibandingkan tahun lalu, harga batu bara internasional terjun 35 persen.
Tekanan selanjutnya adalah harga gas bumi sebagai komoditas energi primer yang sedang murah-murahnya. Ketika ditambah dengan situasi India dan pasar ekspor Tiongkok yang masih lesu, pasokan batu bara di seluruh dunia saat ini benar-benar berlebih atawa oversupply. Beragam situasi di atas diperkirakan mendorong harga batu bara dunia terjerembab semakin dalam.
Lewat keterangan tertulis, Arif Hadianto selaku corporate communication manager PT Berau Coal, mengakui bahwa bisnis batu bara saat ini penuh dengan tekanan. Berau Coal sebagai pemegang perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dengan konsesi terbesar di Kaltim memiliki target pasar ekspor ke Tiongkok dan India. Kondisi di kedua negara ini, industri hulu seperti pembangkit listrik belum pulih karena pandemi. Lagi pula, India dan Tiongkok lebih memprioritaskan batu bara domestik ketimbang mengimpor dari Indonesia untuk menghidupi pembangkit listrik mereka.
“Pada akhirnya, batu bara Indonesia belum banyak terserap pasar. Sukar sekali mencari pembeli sehingga permintaan dan penawaran untuk komoditas ini tidak seimbang,” jelas Arif, Rabu, 22 Juli 2020.
Sebagaimana anggota APBI yang lain, Berau Coal merespons situasi ini dengan menurunkan volume produksi. Langkah tersebut dipilih supaya oversupply batu bara di pasar dunia tidak semakin lebar.
“Perusahaan juga mengambil berbagai langkah efisiensi. Ancaman terbesar memang PHK (pemutusan hubungan kerja) namun itu adalah pilihan terakhir,” jelas Arif. Berau Coal meminta permakluman dari pemangku kepentingan terhadap situasi ini. Sebagai contoh, perusahaan mesti mengurangi nilai tanggung jawab sosial (CSR).
Pengurangan Produksi dan PHK
Sederet analis memperkirakan, penurunan permintaan batu bara pada 2020 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah. Kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan karena tren harga rendah masih berlanjut selepas gelombang kedua pandemi. Serangan kedua Covid-19 bisa memperlambat pemulihan ekonomi di negara tujuan ekspor batu bara seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Dalam siaran resminya, APBI mengumumkan bahwa sejumlah anggota asosiasi berencana memangkas produksi pada 2020. Pemangkasan volume produksi ini diperkirakan antara 15 persen hingga 20 persen. Apabila persentase tersebut diterapkan di Kaltim yang mengekspor 200 juta ton pada 2019, jumlah produksi yang dipangkas mencapai 30 juta sampai 40 juta ton se-Kaltim.
"Pemotongan produksi diharapkan mendongkrak harga batu bara global dengan tercapainya keseimbangan penawaran dan permintaan," terang Ketua Umum APBI-ICMA Pandu Sjahrir dalam keterangan tertulis (APBI Bakal Pangkas Produksi Batu Bara 2020, Berikut Pendapat Analis, siaran resmi APBI, 2020).
Kebijakan mengurangi volume produksi bakal membawa dampak yang besar. Ketika perusahaan beroperasi tidak di kapasitas maksimal, otomatis harus melakukan penyesuaian atau efisiensi. Biasanya, langkah pertama yang diambil adalah mengurangi jam kerja. Apabila keadaan tak juga membaik, langkah efisiensi diiringi oleh kebijakan merumahkan karyawan. Hal terburuk buruk adalah mengurangi jumlah karyawan atau PHK.
Mengapa Kaltim Paling Terdampak?
Beban berat harus dipikul Kaltim. Ekspor provinsi ini semakin tersegmentasi ke lokomotif perekonomian global yakni poros Tiongkok, India, dan Jepang. Ketiga negara tersebut tidak lain produsen dari berbagai produk yang memenuhi pasar Amerika Serikat dan Eropa. Sebagai produsen, India, Tiongkok, dan Jepang, memerlukan energi dalam jumlah yang besar. Ketiga negara ini lantas menjadi importir batu bara terbesar di dunia.
Ketika Covid-19 berubah menjadi pandemi, pola konsumsi di tanah Eropa dan Amerika cenderung berkurang. Tiongkok, India, dan Jepang, terpaksa menurunkan produksi. Turunnya aktivitas produksi tersebut menyebabkan konsumsi energi di ketiga negara turut berkurang.
“Pada saat ketiga negara itu (Tiongkok, India, dan Jepang) jatuh, Kaltim secara langsung ikut jatuh,” demikian Hairul Anwar, akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Codi, panggilan pendek Hairul Anwar, menilai bahwa kebijakan India memprioritaskan batu bara domestik sebenarnya sudah dilakukan Tiongkok. Dua negara ini memang memiliki cadangan batu bara yang besar. Pemangkasan impor batu bara oleh India disebut bertujuan memperbaiki neraca ekspor-impor yang terpukul sepanjang pandemi. Menurut teorinya, kata Codi, negara yang mampu memproduksi dan mengonsumsi komoditas sendiri lebih kebal terhadap kelesuan ekonomi global seperti sekarang.
Kaltim adalah kebalikan dari India. Perekonomian Bumi Etam begitu bergantung kepada ekspor sumber daya alam. Pada waktu negara tujuan ekspor tidak mengonsumsi batu bara dalam jumlah besar, Kaltim kehilangan pembeli. Situasi ini diperparah ketika konsumsi batu bara dalam negeri tidak sebesar ekspor. Keadaan seperti saat ini sebenarnya bisa dihindari andaikata transformasi ekonomi yang digaungkan sejak 10 tahun silam berhasil Kaltim lakukan. Sayangnya, lanjut Codi, transformasi itu tak kunjung kelihatan.
“Pemegang izin pertambangan di Kaltim memang tidak banyak tetapi mereka punya ratusan kontraktor. Ratusan kontraktor ini punya ribuan subkontraktor mulai jasa transportasi, makanan, sampai tempat tinggal karyawan. Begitu sektor ini terpukul, semua (sektor) kena. Yang terburuk adalah ekonomi Kaltim lumpuh,” sambung alumnus Georgia State University, Amerika Serikat, tersebut.
Kebijakan perusahaan tambang mengurangi volume produksi dinilai selaras dengan hukum ekonomi. Pada saat stok batu bara sudah over di pasar sementara permintaan sedikit, produsen harus menahan produksi. Pemangkasan ini diyakini diikuti kebijakan efisiensi besar-besaran oleh perusahaan. Skema mengurangi karyawan pun menjadi keniscayaan.
“Situasi yang Kaltim hadapi saat ini lebih berat dibanding periode 2016 silam. Dengan kata lain, PHK massal seperti 2016 lalu sukar dihindari lagi,” sebutnya.
Pada 2016, Kaltim melewati masa-masa sulit itu. Harga batu bara yang anjlok diikuti produksi yang rendah menyebabkan 10 ribu karyawan sektor pertambangan di-PHK. Tanda-tanda krisis seperti itulah yang nampak pada masa sekarang. (*)