kaltimkece.id Suwarna akhirnya bernapas lega. Setelah berkeliling mencari tabung gas 3 kilogram, warga Jalan Antasari, Samarinda Ulu, itu akhirnya menemukan tabung melon tersebut di Pangkalan Trisandy di Jalan Bukit Barisan, Samarinda.
"Satu tabungnya sekitar Rp20 ribu," sebutnya.
Harga tersebut terbilang murah dibandingkan yang dijual pengecer di warung-warung. Sayid Ferhat Hasyim, seorang warga Loa Bakung, adalah contohnya. Ia mengeluhkan harga tabung gas melon di sebuah warung dekat rumahnya yang mencapai Rp45 ribu.
"Mau dapur tetap ngebul aja susah sekali," keluh alumnus Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Samarinda itu.
Edi Mangun, area manager communication, relations, dan CSR Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan, menyebutkan bahwa terhitung sejak 1 Februari 2025, tabung gas elpiji secara resmi hanya dijual di agen dan pangkalan, tidak lagi memakai jasa pengecer.
"Pengecer bukan bagian rantai jalur distribusi yang diawasi karena tidak berkontrak dengan agen atau pangkalan," sebut Edi.
Kebijakan itu berdasarkan keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia yang melarang pengecer gas elpiji sejak awal tahun ini. Dalam salah satu pidatonya, ia menyebutkan pengecer kerap membuat harga melambung.
Pernyataan Bahlil diperkuat keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa harga pasaran tabung gas melon adalah Rp12.750. Harga itu adalah harga subsidi. Sedangkan harga sebenarnya Rp42.750. Artinya, pemerintah menyubsidi sekira Rp30 ribu.
"Untuk di Kaltim, harga eceran tertinggi (HET) menyesuaikan surat keputusan gubernur," sebut Edi Mangun.
Surat yang dimaksud adalah SK Gubernur Kaltim No. 500/K.572/2022 tentang HET untuk setiap kota dan kabupaten di Kaltim. Untuk Samarinda, HET gas elpiji 3 kilogram adalah Rp18 ribu. Kemudian untuk Balikpapan dan Kukar seharga Rp19 ribu. Berikutnya, Rp22 ribu untuk Bontang, Kutai Timur, dan Penajam Paser Utara. Rp25 ribu untuk Berau, Rp28 ribu untuk Kutai Barat serta Rp48 ribu untuk Mahakam Ulu.
"Kami mengimbau masyarakat membeli di pangkalan resmi karena harga sesuai dengan HET yang telah ditetapkan," ucapnya.
Informasi mengenai lokasi pangkalan atau agen tabung gas melon terdekat, sebutnya, tertera di situs MyPertamina.
Temuan awal kaltimkece.id menunjukkan situasi yang berbeda. Meskipun Suwarna mendapatkan gas melon yang terbilang lebih murah dibanding di pangkalan lain, harga di Pangkalan Trisandy melebihi HET sebesar Rp2 ribu. Di beberapa pangkalan, rentang harga kurang lebih sama sekira Rp20 ribu hingga Rp22 ribu.
Pemilik Pangkalan Trisandy, Haris Hadi, mengakui bahwa harga yang ia tetapkan melebihi HET. Ia pun menyebutkan seharusnya menjual Rp18 ribu dari harga Rp15 ribu yang ia peroleh dari agen.
"Ada tambahan biaya jasa pengangkutan truk," sebutnya.
Selisih Rp2 ribu pun ia nilai wajar mengingat harga di pengecer bisa dua kali lipat dari harga di pangkalan. Sementara untuk mencegah antrean pembeli, ia mengaku telah membatasi pembelian tabung gas melon dengan pemberian kupon.
"Saya juga menjual pukul lima sore, menyesuaikan jam pulang kerja warga sekitar," ucapnya.
Harga yang melebihi HET tidak hanya berlangsung di Samarinda. Di Long Apari, sebuah kecamatan di Mahakam Ulu yang berbatasan dengan Malaysia, harga tabung gas melon melonjak tiga kali lipat dari HET yang telah ditentukan.
"Untuk tabung gas elpiji 3 kilogram harganya Rp100 ribu sampai Rp150 ribu, sementara tabung gas elpiji 12 kilogram mencapai Rp430 ribu," jelas Camat Long Apari, Petrus Ngo, kepada kaltimkece.id. Padahal, sebagaimana dituliskan di atas, HET Mahakam Ulu adalah Rp48 ribu.
Edi Mangun selaku perwakilan Pertamina di Pulau Kalimantan menyebutkan bahwa apabila agen atau pangkalan terbukti menjual tabung gas melon di atas HET, akan dihentikan distribusinya. "Mulai stop alokasi sementara hingga pemutusan hubungan usaha," tegasnya.
Di tengah kekisruhan sulitnya warga mendapatkan tabung gas melon, pada Selasa, 4 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan membatalkan pelarangan pengecer. Sebagaimana yang dinyatakan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Prabowo memerintahkan Kementerian ESDM agar kembali membolehkan pengecer sebagai penyalur tabung gas elpiji bersubsidi.
Sebagai informasi, di berbagai daerah telah terjadi kelangkaan tabung gas elpiji bersubsidi. Biasa ditemukan di pengecer, warga akhirnya mesti mengantre panjang di agen dan pangkalan. Seorang warga di Pamulang, Tangerang Selatan, bahkan meninggal dunia setelah kelelahan mengantre.
Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Purwadi, menilai Pertamina tidak melihat akar masalah. Menurutnya, masalahnya tidak sesederhana melarang atau membolehkan pengecer untuk menyalurkan tabung elpiji bersubsidi.
Mengenai harga yang melebihi HET di Samarinda dan Mahakam Ulu, misalnya, ia menilai berkaitan erat dengan distribusi. Biaya transportasi menjadi penyebab harga melebihi HET yang telah ditentukan.
"Seharusnya yang dipikirkan bukan hanya subsidi gas elpiji, tapi juga subsidi transportasi untuk distribusinya," ucap dia.
Masalah kedua yaitu basis data. Purwadi mengatakan, Pertamina tidak memiliki data yang konkret mengenai penerima gas elpiji bersubsidi. Padahal, terdapat kelompok spesifik yang seharusnya menerima subsidi tersebut. Mulai konsumsi rumah tangga hingga pemilik usaha mikro.
"Kenyataannya, kadang malah diborong pengusaha dengan bisnis skala besar seperti restoran," sorot pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman itu.
Belum lagi, imbuhnya, oknum pangkalan atau agen gas elpiji yang menimbun pasokan gas elpiji. Apalagi ketika pemakaiannya dibutuhkan seperti pada Ramadan dan hari raya Lebaran yang waktunya semakin dekat.
Masalah-masalah itu dapat terselesaikan apabila Pertamina bermitra dengan pemerintah daerah setempat dalam pengawasan. Jika tidak, Purwadi menilai, baik pengecer, pangkalan maupun agen akan selalu punya peluang untuk berbuat curang dan merugikan masyarakat.
"Rajin turun ke lapangan, jangan hanya terima laporan data di atas meja," ingatnya. (*)