kaltimkece.id Gonjang-ganjing ekonomi global disebut turut memicu penurunan hasil ekspor komoditas Kaltim. Kondisi ini diperburuk dengan lambatnya provinsi ini mempersiapkan transformasi ekonomi. Pelaku usaha pun sedang menjajaki opsi-opsi dalam menghadapi tekanan ekspor tersebut.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin, 2 Juni 2025, mengumumkan ekspor Kaltim mengalami penurunan. Nilainya tercatat USD1.545,18 juta pada April 2025. Angka itu turun 9,69 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Penurunan performa ekspor bulanan itu terjadi di semua sektor. Minyak dan gas, misalnya, tercatat USD125,08 juta--merosot 18,80 persen. Sementara nilai ekspor nonmigas terekam USD1.420,10 juta, turun 8,79 persen.
Penurunan terdalam adalah ekspor nonmigas. Hasil industri dengan peranan 18,63 persen terhadap total ekspor merosot 29,04 persen. Tak hanya itu, hasil tambang dengan kontribusi ekspor 71,33 persen pun melemah 2,63 persen.
Adapun hasil minyak dengan peran total ekspor 4,54 persen mengalami penurunan tertinggi dari sektor migas dengan 39,90 persen. Dari nilai ekspor yang sebelumnya mencapai USD75,89 juta pada Maret 2025 menjadi USD45,61 juta pada April 2025.
Sementara itu, berdasarkan golongan barang nonmigas, penurunan tertinggi adalah golongan bahan bakar mineral dengan USD 31,18 juta atau 2,63 persen. Kelompok barang berbagai produk kimia pun turun USD 17,29 juta, atau 37,78 persen dibandingkan Maret 2025.
Masih menurut BPS, sektor nonmigas memiliki peran tertinggi terhadap total ekspor. Kontribusinya mencapai 90,06 persen pada April 2025. Ekspor bukan migas itu dikirimkan ke beberapa negara ASEAN, Uni Eropa, dan negara utama tujuan ekspor seperti Tiongkok juga India.
Dalam perkembangan ekspor nonmigas 2024, Uni Eropa dengan kontribusi barang ekspor asal Kaltim 1,54 persen, mengalami penurunan 48,46 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Adapun Tiongkok dengan kontribusi terbesar tujuan ekspor bukan migas turun 24,69 persen.
Secara kumulatif, BPS mencatat ekspor Kaltim mencapai USD6.744,38 juta pada Januari-April 2025. Nilai itu juga turun 16,13 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024 yang sebesar USD 8.041,05 juta.
Sangat-Sangat Terlambat
Penurunan nilai ekspor bukan tanpa sebab. Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda, Purwadi, menjelaskan dua sebab utama yang menyebabkan penurunan performa ekspor. Keduanya yakni kondisi global dan faktor internal di Kaltim.
Purwadi mengatakan, faktor pertama yang dimaksud kondisi global yaitu perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok. Pemerintah Amerika, sambung dia, memberlakukan tarif terhadap beberapa ekspor barang yang masuk ke Amerika. Alhasil, batu bara dan minyak sawit yang menjadi komoditas utama Kaltim turut tertekan.
"Secara langsung dan tidak langsung pasti berpengaruh ke Kaltim," kata Purwadi kepada kaltimkece.id pada Sabtu, 9 Juni 2025.
Di samping itu, menurutnya tidak ada kestabilan harga batu bara. Dalam empat tahun terakhir harga emas hitam yang menjadi komoditas utama Kaltim bergerak fluktuatif kendati mengalami penurunan di pasar global. Ketidakstabilan harga disebut memberikan ketidakpastian terhadap ekspor batu bara Kaltim.
Lagi pula, sambung dia, negara-negara tujuan ekspor batu bara Kaltim seperti Australia dan China memiliki deposit batu bara. Namun, ia menilai negara itu enggan memakai depositnya dan memilih membeli dari Kaltim. Komoditas bahan mentah yang dibeli dari Kaltim itu diolah dan dikembalikan dengan barang yang memiliki nilai tambah.
"Bentuknya bisa berupa ban, baterai, macam-macam," urainya.
Itu faktor global, lain lagi dengan faktor internal. Purwadi menjelaskan ekonomi secara nasional turun. Laporan resmi BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,87 persen pada kuartal pertama 2025. Angka itu melemah dibandingkan kuartal sebelumnya yang masih tumbuh 5,02 persen.
"Jadi kalau ekonomi nasional itu ibaratnya batuk-batuk, kondisi daerah paling tidak ikut meriang," katanya, "Karena 'kan linier, APBD Kaltim itu dari APBN juga sumbernya."
Kaltim juga kabupaten atau kota menggantungkan dana transfer dari hasil sumber daya alam. Penurunan dana bagi hasil disebut mengakibatkan keuangan daerah goyah. Dampaknya, uang yang beredar berkurang dan daya beli masyarakat menurun.
Menurutnya, kondisi itu juga berakibat menurunkan inisiatif-inisiatif warga dalam memproduksi komoditas lain yang berpotensi untuk diekspor. Ia mengatakan, tekanan global dan faktor internal itu menjadi tekanan ganda untuk perkembangan ekspor Kaltim. "Ibarat orang main tinju, udah kena hajar kanan-kiri, lah," kelakarnya.
Selain dua sebab itu, Purwadi menegaskan bahwa akar persoalannya adalah transformasi ekonomi. Sejak puluhan tahun lalu, sambung dia, pemerintah telah menggambar-gemborkan transformasi ekonomi. Faktanya, kata dia, peranan ekspor dari sumber daya alam terutama batu bara masih dominan.
"Berarti (menyiapkan) potensi ekspor kita justru agak telat, ya, mengantisipasi transformasi ekonominya bukan hanya agak telat, tapi sudah sangat-sangat terlambat," ujarnya. "Ibarat orang sudah kebelet mau ke WC tapi baru (tahap) mencari. Bisa repot karena pertaruhannya nilai ekonomi tambah jeblok."
Secara umum, ia menilai jika tak segera membenahi fundamental ekonomi, Kaltim akan menghadapi tantangan yang berat hingga 2030. Adapun untuk perkembangan ekspor Kaltim, menurutnya belum ada kepastian hingga tahun depan. "Belum stabil ya, karena Amerika dan China ekonominya juga drop," terangnya.
Beban Berat Para Pegiat
Senada dengan Purwadi, Sekretaris Dewan Pengurus Daerah Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Kaltim, Hasrun Jaya, tak menampik bahwa tantangan ekspor pelaku usaha kian berat. Kondisi itu tak terkecuali karena tekanan terhadap sektor utama Kaltim.
"Berat-berat, tantangannya tambah berat," kata Hasrun Jaya kepada kaltimkece.id, Ahad, 8 Juni 2025. Dirinya mengakui asosiasi pernah membayangkan seandainya batu bara dan migas sudah habis dan tidak terbeli karena muncul sumber energi lain yang lebih murah, lebih efisien, dan lebih ekonomis.
"Kayak apa sudah Kaltim ini? Itu yang kami pikirkan," tambahnya.
Hasrun menjelaskan, tekanan perkembangan ekspor menyebabkan para pengusaha menjajaki peluang usaha baru. Di antaranya seperti membangun hubungan dengan GPEI Jawa Timur, terutama di Surabaya, untuk membuka peluang ekspor manufaktur. Ada juga dengan Jawa Barat untuk menjajaki sektor jasa.
"Karena saatnya sekarang kolaborasi, bukan lagi saing-saingan," tegasnya.
Asosiasi disebut menyadari kondisi perkembangan global turut menekan opsi peluang usaha baru selain migas dan batu bara. Contohnya, sambung dia, penetapan tarif dari Amerika terhadap beberapa negara. Kondisi itu disebut membuat biaya pengiriman logistik membengkak.
Komoditas sawit adalah salah satu contohnya. Hasrun menjelaskan, penetapan tarif Indonesia dengan Malaysia berbeda. Malaysia disebut mendapatkan penetapan tarif yang lebih rendah. Lantaran itu, para pelaku usaha harus mengeluarkan biaya lebih untuk dapat bersaing dengan sawit dari Malaysia.
"Padahal produksi (sawit) kita besar tapi cost-nya akhirnya besar juga," katanya.
Persoalan beban pengiriman logistik tak hanya sampai situ. Ia menjelaskan dalam perkembangan terakhir, indeks harga saham gabungan turut tertekan. Rupiah pun melemah. Sementara itu, kata dia, para pelaku usaha sebagian besar bertransaksi dengan mata uang Dolar Amerika.
"Itu bagian dari risiko kita karena kita negara kepulauan, mau tidak mau wajib lakukan dan maafkan yang ada," sebutnya.
Selain menjajaki peluang komoditas, para pelaku usaha dan asosiasi sedang mencari peluang baru ke negara tujuan ekspor. Di antaranya beberapa ke kawasan Asia Tenggara hingga Eropa. Namun itu semua menurut Hasrun memiliki ciri khas yang berbeda. Beberapa negara tetangga mungkin bisa dilakukan. Tapi nilai ekspornya tak besar.
"Eropa adalah komunitas masyarakat dengan nilai barang yang sangat mahal ketika masuk ke sana. Tetapi mereka punya syarat yang begitu ketat. Dan inilah tantangan yang harus dipenuhi oleh semua eksportir ketika menargetkan Eropa sebagai pasar utama," katanya. Jika pasarnya Eropa, lanjutnya, mau tidak mau, produk berstandar Eropa harus dipenuhi,
Ia menjelaskan asosiasi dan para paku usaha telah mencoba berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ekspor. Namun Hasrun menyadari ada beberapa hal yang di luar kendali para pelaku usaha untuk membutuhkan peran pemerintah. Satu di antaranya infrastruktur.
Kaltim, kata dia, memiliki peluang lahan tidur. Menurutnya hal itu berpotensi untuk sektor pangan. Ia menilai kurangnya penunjang infrastruktur pendukung membuat komoditas pangan sulit bersaing untuk komoditas ekspor. "Sebenernya potensi sektor itu (pangan) ada jika dipersiapkan dengan baik," katanya.
Di samping itu, ia mengatakan transformasi ekonomi hijau yang pernah dicanangkan dalam beberapa tahun lalu pun tak berjalan dengan maksimal di Kaltim. Ia menilai kondisi ini akhirnya turut membuat transformasi komoditas ekspor selain migas dan batu bara pun berjalan lambat.
"Jadi action-nya apa untuk menghadirkan bisnis-bisnis baru, usaha-usaha baru. Apalagi proyek pemerintah pusat itu kan sangat seksi untuk UMKM. Tetapi mau melakukan apa UMKM kita, mengolah apa yang dimanfaatkan, maksudnya siap untuk membekali UMKM ini untuk mengolah bahan baku yang dihasilkan dari Kaltim."
Melihat kondisi perkembangan ekonomi akhir-akhir ini, Hasrun menyarankan tak hanya memikirkan infrastruktur penunjang ekonomi hijau, tapi juga ekonomi biru (blue economy). Sektor laut, kata dia, sebaiknya dibenahi infrastruktur perikanan. Di antaranya seperti kesehatan ikan hingga penyiapan wilayah tangkap yang tidak jauh dari sentra perikanan.
"Jangan sampai mencari ikan jauh-jauh. Cost-nya pasti tinggi, padahal sektor ini yang potensial, sangat besar peluangnya," katanya. Selain itu, lanjut dia, pembangunan infrastruktur bisa berupa penyiapan cold storage, supply chain
Hasrun membayangkan ketika ikan ditangkap, naik ke kapal, langsung masuk ke ruang pendingin ikan. Selanjutnya ketika ikan sampai ke darat, beberapa menit masuk ke gudang cold storage, diolah, dan siap ekspor.
"Dengan begitu para pelaku usaha dengan mudah melakukan ekspor," tutupnya. (*)