kaltimkece.id Peluh bercucuran dari kulit legam Petrus, 57 tahun, ketika selesai mengumpulkan helai-helai daun sawi dan kemangi. Selagi menunggu tengkulak yang sebentar lagi datang, lelaki yang wajahnya mulai keriput itu mengamati hasil panen. Daun sawinya nyaris sempurna. Tidak ada lubang yang biasa dibuat hama. Daging di batangnya juga gemuk.
Rabu tengah hari, 22 Februari 2023, tengkulak yang dinanti datang juga. Petrus yang membuka ladang di dekat GOR Kadrie Oening, Sempaja Selatan, Samarinda, menyambut kedatangannya. Tengkulak tadi segera membawa hasil panen hortikultura tersebut setelah menyerahkan sejumlah uang kepada Petrus. Sayuran itu hendak dijual di Pasar Segiri sore nanti.
“Saya sudah menanam sayur di sini sejak 1995,” ucap Petrus kepada kaltimkece.id. Perantauan dari Nusa Tenggara Timur itu menggarap lahan seluas 300 meter persegi. Ia menanam beragam sayuran dibantu istri, anak, dan menantunya.
Petrus mendapat izin berkebun di lokasi tersebut dari pengelola GOR Kadrie Oening. Saban kali panen, ia bisa memperoleh Rp 6,5 juta. Akan tetapi, pendapatan itu harus dipotong untuk biaya membeli bibit dan perawatan tanaman. Untung bersihnya hanya sekitar Rp 1,5 juta sebulan. Bisa lebih tetapi kebanyakan kurang.
“Kadang malah tidak dapat apa-apa kalau gagal panen karena terendam banjir,” sambungnya.
Petus mengaku bahwa bertani di tengah kota tidaklah mudah. Kawasan GOR Kadrie Oening sering tergenang. Ancaman hama juga mengintai. Belum lagi kesusahan yang dirasakan semua petani; kenaikan harga barang penunjang pertanian seperti pupuk. “Bertani itu perlu modal besar sekarang,” jelasnya.
Samarinda memang bukan lokasi yang cocok buat petani seperti Petrus. Setidaknya, hal itu tergambar dari dokumen revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang baru disahkan. Zona pertanian dikurangi menjadi 1.012 hektare.
Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman, Prof Rusdiansyah, setuju dengan pernyataan Petrus. Menurut guru besar tersebut, biaya produksi untuk menanam sayuran cukup besar. Jika tidak bisa dikelola dengan baik, pendapatan dari panen sayur tidak akan menutupi.
Petani sayur di Samarinda maupun Kaltim pada umumnya disebut makin tertekan. Ada disparitas harga dan kualitas produk. Sayur-mayur lokal, baik harga maupun kualitas, kalah dari produk yang “diimpor” dari luar Kalimantan. Padahal, sayur dari luar Kalimantan punya variabel biaya tambahan untuk distribusi. Tetap saja ketika tiba di pasar, harga produk lokal kalah dari barang luar.
Rusdiansyah menjelaskan bahwa kekalahan petani lokal dalam persaingan ini adalah sebuah ironi. Di tengah tingginya permintaan sayur-mayur di Samarinda, posisi tawar petani malah rendah. Posisi tawar yang utama adalah kualitas panen. Sayangnya, kualitas panen petani lokal amat dipengaruhi faktor iklim dan kondisi tanah yang asam. Kuantitas panen sayur juga lebih kecil sementara biaya perawatan lebih besar dibanding menanam sayur di luar Kalimantan.
“Faktor lainnya adalah monopoli pasar. Permainan harga dikuasai tengkulak. Petani sayuran tidak dapat mematok harga jual,” tegas Prof Rusdiansyah. Situasi itu perlu diperhatikan pemerintah khususnya untuk menjaga kesejahteraan petani sayur.
Prof Rusdiansyah melanjutkan, petani sayur harus melewati tiga hingga empat mekanisme sebelum produknya dijual di pasar. Kunci petani bisa sejahtera adalah ketika dia mampu mengendalikan harga. Petani sayur harus bisa mengatur waktu tanam agar produk yang dihasilkan tidak melimpah di pasar. Harganya pun bisa terjaga.
“Perlu kerja sama antara penyuluh pertanian dan petani,” sarannya.
Menurut guru besar yang juga Ketua Tim Gugus Tugas Percepatan Pembangunan Pertanian Kutai Kartanegara itu, kesulitan petani sayur juga disebabkan akses informasi pasar yang kurang. Sinergi petani dan penyuluh inilah yang bisa mengubahnya. Penyuluh sebaiknya mencari informasi dan kebutuhan pasar yang bisa dipenuhi petani. Sementara petani, berfokus menanam tanpa bingung menjual hasil pertanian.
Pemerintah disebut sudah memberikan banyak bantuan. Akan tetapi, implementasi dan pengawasannya lemah. Masih banyak petani yang belum tersentuh bantuan.
“Pada akhirnya, banyak anak muda tidak ingin jadi petani karena menganggap tidak menjanjikan. Padahal, bisnis ini paling menjanjikan asal mengetahui caranya,” tambah Rusdiansyah.
Pentingnya Komoditas Lokal
Akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendi, memberikan penjelasan tambahan. Menurutnya, permintaan sayur-sayuran di Samarinda masih tinggi. Buktinya adalah Samarinda masih mendatangkan sayur dari luar daerah.
Di sinilah ironinya. Sayuran merupakan produk berkelanjutan yang tidak bisa sekali produksi. Sebagai bahan makanan, kebutuhan sayuran tidak akan ada habisnya. Komoditas seperti ini sewajarnya bisa dipenuhi dari produksi lokal. Lagi pula, ada banyak lahan di Kaltim yang terbukti bisa menghasilkan sayur-mayur.
“Pemerintah perlu menyiapkan ketersediaan lahan khusus pertanian sayur untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” saran Aji Sofyan Effendi.
Samarinda memang disebut tidak memberikan banyak ruang bagi petani. Kota Tepian seperti dirancang untuk mengakomodasi sektor yang berkaitan dengan jasa. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan hasil pertanian semestinya tetap diperhatikan. Contoh kecilnya ialah sektor jasa perhotelan tentu memerlukan sayur-mayur.
Ketika Samarinda memiliki keterbatasan lahan untuk pertanian, Aji Sofyan menambahkan, masih ada kelurahan yang memungkinkan diberdayakan. Kelurahan Tanah Merah, Sungai Siring, dan Lempake, adalah beberapa di antaranya. Apabila tidak banyak lahan lagi yang tersedia, kabupaten di sekitar Samarinda yang perlu dimaksimalkan. Upaya-upaya tersebut diyakini bisa mengurangi “impor” sayuran dari luar Kalimantan. (*)