kaltimkece.id Namanya Samin Tan. Lelaki berusia 57 tahun ini pernah masuk daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah ekonomi Amerika Serikat, Forbes. Pria kelahiran Teluk Pinang, Riau, itu memiliki kekayaan USD 940 juta, setara Rp 13,16 triliun, pada 2011. Nama Samin Tan kembali dibicarakan publik setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 6 April 2021. Akan tetapi, ia divonis bebas dari dakwaan suap dan gratifikasi.
Samin Tan sebenarnya bukan orang yang asing dalam bisnis pertambangan batu bara. Pergerakan bisnisnya sudah dimulai pada 2006 ketika mendirikan PT Republik Energi & Metal. Gebrakan pertama Samin Tan terjadi pada 2011. Perusahaannya membeli dua korporasi milik Bakrie, PT Bumi Borneo Resources Pte Ltd dan PT Borneo Bumi Energi & Metal Pte Ltd, pada 2011.
Samin Tan kemudian mendirikan PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN), perusahaan yang terjun ke lantai bursa pada 26 November 2010. Perusahaan ini punya anak usaha bernama PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) yang memegang konsesi tambang batu bara di Kabupaten Murung Raya, Kalteng. PT Borneo Lumbung sudah menjadi perusahaan tambang batu bara yang disegani pada 2010. Perusahaan mampu memproduksi batu bara jenis metalurgi bermutu tinggi dan satu-satunya di Tanah Air.
Kepemilikan Samin Tan di PT Borneo Lumbung Energi juga secara tidak langsung membuatnya memegang 23,8 persen saham di Bumi Plc. Nama Bumi Plc inilah yang punya hubungan erat dengan Kaltim. Bumi Plc yang listing di bursa London, Inggris, awalnya bernama Vallar Plc. Perusahaan tersebut didirikan Nathaniel Rothschild, pakar keuangan Inggris dari keluarga Rothschild. Pada 2010, Vallar Plc dan kelompok usaha Bakrie yaitu PT Bakrie & Brothers Tbk dan Long Haul Holdings Ltd mengadakan “perjanjian relationship” sehingga terbentuk Bumi Plc.
Bumi Plc tercatat pernah memiliki tiga anak usaha pertambangan batu bara terbesar di Indonesia. Ketiganya memegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yaitu PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Berau Coal. Dua nama terakhir beroperasi di Kaltim. PT Berau Coal punya konsesi 118 ribu hektare di Berau. PT KPC memegang konsesi 90 ribu hektare. Jika kedua konsesi itu disatukan, luasnya setara tiga kali wilayah Samarinda.
Dalam perjalanan, Grup Bakrie yang memegang saham di Bumi Plc berpisah dengan Rothschild. Samin Tan melalui PT Borneo Lumbung lantas mengakuisisi saham kelompok Bakrie di Bumi Plc pada 11 Juli 2013. PT Borneo Lumbung melalui Ravenwood Pte Ltd mengakuisisi 23,8 persen saham Grup Bakrie di Bumi Plc senilai USD 223 juta atau sekitar Rp 3 triliun.
Akuisisi ini menyebabkan Samin Tan menjadi pemegang saham mayoritas Bumi Plc yakni 47,6 persen. Ia pun duduk sebagai presiden komisaris. Secara tidak langsung, Samin Tan menjadi satu dari antara pemilik PT KPC dan PT Berau Coal. Samin Tan juga disebut pernah berupaya menguasai induk PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) yaitu Asia Resource Mineral Ltd (ARMS). Akan tetapi, keinginannya itu gagal.
“Nama Samin Tan juga masuk Panama Papers sebagai pemilik perusahaan cangkang,” demikian Merah Johansyah Ismail, koordinator nasional Jaringan Advokasi Tambang, kepada kaltimkece.id.
Tersandung Kasus di KPK
Tekanan kepada PT Borneo Lumbung datang pada 2014. Pertama, nilai perusahaan di bawah holding-nya melorot seturut perseteruan Bakrie, Samin Tan, dan Rothschild. Tiga tahun kemudian, pada 19 Oktober 2017, konsesi yang dipegang anak usahanya, PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT), dicabut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Waktu itu, PT AKT dianggap telah melakukan pelanggaran berat karena menjadikan kontrak PKP2B, yang merupakan aset negara, sebagai jaminan mendapatkan dana dari Standard Chartered Bank pada 2016 sebesar USD 1 miliar atau Rp 14 triliun. Kejadian ini menjadi awal mula dugaan korupsi yang melibatkan Samin Tan. PT AKT menggugat keputusan itu ke PTUN Jakarta dan dikabulkan. Akan tetapi, Kementerian ESDM mengajukan banding dan kali ini hakim memenangkan Ignatius Jonan dkk selaku menteri. PT AKT juga kalah di tingkat kasasi.
Dalam proses sidang di PTUN, Samin Tan disebut mengupayakan izin tambangnya lewat jalur belakang. Ia menghubungi politikus Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng. Samin Tan kemudian dikenalkan dengan Eni Maulani Saragih dari Komisi VII DPR RI yang bermitra dengan Kementerian ESDM. Eni menyanggupi permintaan Samin Tan.
Pendeknya, Eni berhasil membantu memfasilitasi berbagai pertemuan dengan Menteri Ignatius Jonan. Eni pun menagih bayaran. Pembayaran pertamanya Rp 1,2 miliar pada 3 Mei 2018, pembayaran kedua Rp 2,8 miliar pada 17 Mei 2018. Total Eni menerima Rp 5 miliar dari Samin Tan.
KPK pun menjerat keduanya. Setelah setahun menjadi tersangka dan masuk daftar pencarian orang, Samin Tan ditangkap KPK pada 6 April 2021. Di muka pengadilan, ia didakwa memberikan suap sebagaimana ditaur UU 20/2001. Pada persidangan tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, majelis hakim memberi vonis bebas kepada Samin Tan, Senin, 30 Agustus 2021.
"Menyatakan terdakwa Samin Tan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana," kata Ketua Majelis Hakim Panji Surono. Dalam pertimbangannya, hakim menganggap Samin merupakan korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya yang maju dalam Pilkada Temanggung. Hakim menganggap Samin Tan bukan penyelenggara negara. Pidana untuk pemberi gratifikasi dari pihak swasta, belum diatur UU Tipikor.
Sementara itu, nasib PT Borneo Lumbung selaku induk PT AKT juga tidak jelas. Harga saham terakhir perusahaan dengan nama listing BORN tersebut hanya Rp 50 per saham pada 29 Juni 2015. BORN bahkan tidak membukukan tambahan pendapatan dalam laporan keuangan perusahaan kuartal III-2018, imbas dari dicabutnya konsesi PT AKT.
Bursa Efek Indonesia kemudian menghentikan sementara (suspensi) saham BORN sejak 30 Juni 2015. Suspensi diberlakukan karena perusahaan belum menyampaikan laporan keuangan audit dan interim, termasuk belum membayar denda. Setelah lima tahun disuspensi, BEI akhirnya menghapus pencatatan (delisting) saham BORN pada Senin 20 Januari 2020. (*)