kaltimkece.id Matahari sedang terik-teriknya ketika Dzulfiqar Muhammad Iqbal Arizalisholihin, 22 tahun, masuk sebuah tambak seluas 2 hektare. Air berwarna kecokelatan merayap hingga pinggangnya. Tanpa alas kaki, mahasiswa jurusan Akuakultur Budidaya Perairan, Universitas Mulawarman, ini pelan-pelan berjalan ke tengah tambak. Langkah kakinya semakin berat karena dasar tambak berupa lumpur.
Sabtu siang, 5 Februari 2022, Iqbal menggapai sebuah keramba di tambak yang berlokasi di Desa Salo Palai, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara, itu. Isi keramba adalah puluhan ekor ikan kakap putih. Iqbal memberikan makan ke ikan-ikan bernama latin Lates calcalifer tersebut.
“Saya harus memastikan, kebutuhan protein ikan kakap selalu tercukupi,” tutur pemuda yang tinggal di Penajam Paser Utara itu kepada kaltimkece.id.
Kegiatan Iqbal mengurusi ikan kakap bukan tanpa alasan. Ia tengah melakukan penelitian. Hasil penelitian akan dijadikannya sebagai tugas akhir yang menjadi syarat lulus kuliah. Ada tiga keramba yang dikelolanya. Masing-masing keramba berisi 34 ekor kakap. Ia bercerita, ikan-ikan mulai dibudidayakan dari berat 60 gram. Dalam kurun satu bulan, berat ikan bertambah menjadi 100 gram.
“SR (survival rate atau tingkat keberlangsungan hidup)-nya 100 persen. Jadi, enggak ada yang mati,” terangnya.
_____________________________________________________PARIWARA
Masa panen ikan kakap putih, sebutnya, adalah per tiga bulan atau ketika berat per ekor ikan mencapai 150 gram. Jika SR-nya konsisten, maka ada 102 ekor atau 15,3 kilogram kakap dari tiga keramba tadi yang dipanen. Berdasarkan survei kaltimkece.id, harga kakap putih di pasar tradisional berkisar Rp 85 ribu. Itu berarti, 102 ekor kakap yang dikelola Iqbal memiliki nilai jual Rp 1,3 juta. “Itu hanya tiga keramba. Tentu masih bisa ditambah,” ucapnya.
Potensi Ekonomi yang Dihasilkan
Tambak yang menjadi tempat penelitian Iqbal adalah milik masyarakat setempat. Pengelolaannya bekerja sama dengan Universitas Mulawarman. Iqbal tak sendiri, sejumlah mahasiswa juga melakukan penelitian dan pembudidayaan di tambak tersebut. Selain kakap putih, ada juga kepiting, udang, dan bandeng, yang dibudidayakan. Masa panennya hampir seragam yakni per tiga bulan.
Kakap sengaja dikerambakan agar tidak memakan hewan lainnya. Mengingat, kakap memiliki sifat kanibalisme. Pohon-pohon mangrove jenis rizopora pun tumbuh subur di sekitaran tambak. Keanekaragaman hayati ini memiliki potensi ekonomi. Kepada kaltimkece.id, guru besar dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unmul, Profesor Esti Handayani Hardi, menguraikan potensi tersebut.
Udang, sebut Prof Esti, memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Ia mencontohkan dari pengalamannya memanen udang bulan lalu. Waktu itu, ia bersama mahasiswanya mendapatkan 43 kilogram udang. Jumlah tersebut berasal dari 9.500 benih udang. Masing-masing benih memiliki berat 0,1 gram. Di pasaran, harga udang mencapai Rp 150 ribu per kilogram. Maka, uang yang dihasilkan dari 43 kilogram udang adalah Rp 6,4 juta.
“SR-nya udang berkisar 80 sampai 90 persen,” sebut perempuan berkerudung itu.
Sedangkan bandeng, sambungnya, sekali panen bisa mendapatkan 25 kilogram. Jumlah tersebut dari 1,5 ribu benih bandeng yang ditabur. Di pasar tradisional, harga bandeng berkisar Rp 18–25 ribu per kilogram sehingga uang yang dihasilkan dari 25 kilogram bandeng sekitar Rp 525 ribu.
Adapun kepiting, dibudidayakan menggunakan craps box, sebuah kotak berbahan fiber dengan ukuran 20x10 sentimeter yang memiliki ruang ventilasi. Jumlahnya sekitar 63 ekor kepiting. Prof Esti menyebut, SR kepiting berkisar 50 persen. Itu berarti, pada masa panen, sekitar 31 ekor kepiting bisa didapatkan. Dari jumlah tersebut, diperkirakan keuntungan yang didapat adalah Rp 600 ribu karena harga kepiting di pasar berkisar Rp 100 ribu per kilogram.
“Belum lagi dari rumput laut yang masih dalam proses penelitian. Tentu, potensi ekonominya semakin besar,” ucap Esti, bersemangat.
_____________________________________________________INFOGRAFIK
Melihat siklus panennya per tiga bulan, maka, dalam setahun bisa empat kali panen kakap, udang, bandeng, dan kepiting. Bila potensi ekonomi dari semua komoditas tersebut dikalkulasi, para mahasiswa bisa mengantongi pendapatan kotor sekitar Rp 58 juta per tahun dengan rerata per bulannya Rp 4,8 juta.
“Yang perlu diingat, jumlahnya masih bisa ditambah. Tapi, karena ini kebutuhan penelitian, jadi menggunakan tingkat jarak yang rendah,” ucap Prof Esti.
Budi daya ini semakin menjanjikan karena biaya memproduksi kakap, udang, bandeng, dan kepiting, terbilang ekonomis. Prof Esti menyebut, dalam setahun, modal yang digelontorkan kurang lebih Rp 4 juta. Uang itu untuk pemberian pupuk dan probiotik senilai Rp 250 ribu. Kemudian, membeli bibit ikan dan udang sebesar Rp 2 juta. Sedangkan biaya pakan kepiting dan ikan adalah Rp 100 ribu per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun. Dengan demikian, dari pendapatan Rp 58 juta tadi, kegiatan ini bisa menghasilkan keuntungan bersih sekitar Rp 54 juta.
Adapun metode budi daya yang digunakan, terang Prof Esti, adalah silvofhisery. Metode ini merupakan paduan dari dua ilmu pengetahuan yakni silvo (tumbuhan mangrove) dan fishery (hewan). Maksudnya, mangrove dan hewan dibudidayakan dalam satu wadah yang sama. Prof Esti bilang, silvofhisery yang digunakannya adalah membuat sistem jalur mirip parit besar. Di tengah-tengahnya ditanami mangrove. Cara ini dinilai lebih menguntungkan dua kali lipat secara ekonomi dibandingkan cara konvensional.
“Biasanya, menggunakan cara konvensional, hanya bisa membudidayakan udang dan bandeng. Tapi, dengan cara ini, hewan yang dibudidayakan bisa lebih banyak,” kunci Prof Esti. (*)
Editor: Surya Aditya