kaltimkece.id Ujung rotan yang telah dibersihkan itu dikaitkan di jempol kaki Rentayan. Sambil duduk di lantai di sebuah tempat, kedua tangan perempuan kelahiran Kutai Barat itu menganyam tumbuhan menjalar tersebut. Tak lama berselang, rotan itu berubah menjadi aksesori yang artistik.
Bayeq, panggilan Rentayan, adalah pengrajin rotan berciri khas Suku Dayak. Hasil kerajinannya beragam macam, mulai dari gelang, anjat, tas, topi, hingga kotak tisu. Rabu sore, 17 Mei 2022, reporter kaltimkece.id menjumpai Bayeq di Desa Budaya Sungai Bawang, Muara Badak, Kutai Kartanegara. Ia mengaku, ilmu menganyam rotan didapat dari keluarganya. Ia mulai menekuni kegiatan ini sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama di Kubar.
“Semua anggota keluarga saya bisa menganyam dengan baik,” ceritanya.
Membuat kerajinan tangan dari rotan bukan tanpa hambatan. Bayeq mengatakan, keberadaan rotan kini mulai sulit ditemukan seiring mulai berkurangnya area hutan. Ia mesti mendatangkan rotan dari tanah kelahirannya. Ia meminta bantuan kepada keluarga atau temannya di Kutai Barat untuk mendapatkan pasokan rotan.
Bayeq menyebutkan, membuat perkakas dari rotan terbilang susah-susah gampang. Dibutuhkan keahlian dan ketelitian yang tinggi untuk mewujudkannya. Terutama membuat tikar. Untuk membuat satu tikar dari rotan, terang dia, memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan teknik pembuatannya sangat rumit.
“Kalau membuat satu topi bisa sehari saja. Kemudian tas kecil, sehari bisa bikin dua atau tiga tas,” sebutnya.
Yang bikin pembuatan perkakas rotan lama adalah porses awalnya. Bayeq menjelaskan, rotan dari hutan tak bisa langsung digunakan. Rotan dari hutan harus dibuang dulu kacanya, lalu dibelah, dijemur, dibersihkan, dan diwarnai menggunakan bahan alami seperti kulit kayu, daun, atau kayunya. “Proses ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari, tergantung cuacanya,” jelasnya.
Bayeq pernah bergabung dengan Komunitas Penganyam Tunas Eheng di Kubar. Bersama komunitas tersebut, ia sering mendapat banyak pesanan. Setelah pindah dari Kubar, ia jarang mendapat pesanan dalam jumlah besar. Ia berharap, pemerintah daerah memerhatikan usaha-usaha rumahan seperti usahanya. Mengingat, usahanya merupakan kerajinan orisinalitas Kaltim.
“Dari situlah pendapatan kami yang merupakan orang asli Kalimantan Timur,” ujarnya.
Usaha rumahan di Kaltim disebut tengah menhadapi ancaman. FOTO: KRISTANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID
Sastrawan sekaligus budayawan Kaltim, Roedy Haryo Widjono, mengatakan, kerajinan tangan buatan masyarakat Kaltim tengah menghadapi tantangan. Selain bahan baku yang sulit ditemukan, produk-produk lokal juga harus menghadapi produk-produk dari luar negeri yang lebih murah.
“Anyaman yang dijual-belikan juga membuat keasliannya berkurang karena terkadang harus disesuaikan dengan permintaan konsumen,” katanya kepada kaltimkece.id.
Roedy berharap, kerajinan tangan Kaltim bisa terus dilestarikan. Pasalnya, kerjainan teresebut memiliki makna penting bagi suku asli di Kaltim. Pada zaman dulu, kata dia, perkakas dari rotan kerap digunakan Suku Dayak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan ritual adat. “Contohnya gelang yang sering digunakan dalam tari-tarian Suku Dayak,” terangnya.
Peluang Produk Lokal Berkembang
Pakar ekonomi Kaltim, Aji Sofyan Effendi, mengatakan, produk-produk lokal sebenarnya punya peluang bersaing di pasar global bila dikelola dengan baik. Mengingat, kualitas produk lokal tak kalah dengan produk luar negeri. Masalahnya adalah industri rumahan kerap minim modal untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, mereka juga sering terkendala pemasaran dan pengelolaan yang berkelanjutan.
Gelang rotan adalah salah satu hasil kerajinan tangan Suku Dayak. FOTO: KRISTANTUS LUNG NGO-KALTIMKECE.ID
Sebenarnya, sambung Aji Sofyan, Pemkot Samarinda dan Bankaltimtara pernah meluncurkan Program Kredit Bertuah. Program tersebut untuk mendukung pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. Hanya saja, program tersebut dinilai belum berjalan maksimal.
“Banyak produk dari pelosok Kaltim bagus-bagus. Tapi karena kurangnya modal dan promosi membuat produk-produk tersebut tidak terlalu terlihat. Ini menjadi tugas pemda maupun pemprov untuk lebih gencar mengembangkan pelaku usaha di pelosok,” ujarnya.
Meski demikian, ia meminta pelaku usaha tradisional tak patah arang mengembangkan usahanya. Pasalnya, ibu kota negara tengah dibangun di provinsi ini. Kehadiran IKN disebut dapat medongkrak eksistensi maupun benefit usaha rumahan.
Aji Sofyan menyarankan, usaha kesenian tradisional dikolaborasikan dengan kesenian modern. Contohnya, membuat tas tradisional dengan menambahkan unsur modern. Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam hal ini. Pemda, ujar dia, harus bisa mendatangkan desainer ternama di Indonesia untuk melatih pelaku usaha tradisional. Dengan begitu, produk-produk lokal diyakini dapat terus berkembang dan memberikan manfaat bagi masyarakat. (*)