kaltimkece.id Selebaran yang hampir lusuh itu tergeletak di atas meja kecil di sudut ruang tamu rumah kontrakan milik Kredito, bukan nama sebenarnya. Pemuda berusia 26 tahun itu sudah membolak-balik pamflet berisi informasi harga rumah tipe 36 di Samarinda Utara. Setiap kali membaca tulisan di kertas tersebut, Kredito hanya bisa bersungut-sungut.
âHunian nyaman di pinggir kota, harga mulai Rp 260 juta,â begitu bunyi selebaran yang selalu mengundang beragam khayalan indah di benak Kredito. Mimpi memiliki rumah itu langsung buyar setelah ia menghitung angsuran per bulannya.
Memiliki rumah sendiri sudah jadi keinginan Kredito sejak lama. Sebagai pengantin baru, lelaki asal Bontang itu diterima bekerja sebagai pramuniaga di sebuah ritel di Samarinda. Gajinya sesuai upah minimum yaitu Rp 3,2 juta sebulan. Asuransi kesehatannya ditanggung termasuk iuran ketenagakerjaan. Tanpa banyak lembur, lelaki bergelar ahli madya itu punya take home pay setara UMR Samarinda selama tiga tahun belakangan.
âSaya sudah menghitung kemampuan membeli rumah secara kredit. Mau diutak-atik bagaimanapun, mustahil bisa,â keluh Kredito ketika ditemui kaltimkece.id, Kamis, 9 Maret 2023.
Ia memerinci pengeluarannya. Biaya makan, BBM, tagihan listrik, air, dan internet sudah menembus Rp 2.380.000 per bulan. Gajinya tersisa Rp 620.000 yang biasanya dipakai untuk membayar sewa rumah. Kredito hanya bisa menabung Rp 50 ribu setiap bulan.
âKadang malah tidak menabung kalau banyak undangan. Seusia saya ini, banyak teman-teman yang menikah,â tuturnya. âKan, tidak mungkin ke kondangan bawa amplop yang tidak ada isinya,â sambungnya, sedikit bercanda.
Kredito sudah menyurvei harga rumah di penjuru Samarinda. Rumah tipe 36 nonsubsidi harganya mulai Rp 260 juta sampai Rp 320 juta. Kebanyakan berkisar di Rp 300 juta. Ditambah biaya akta jual beli, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta kewajiban lain, harga rumah Rp 300 juta bisa melonjak jadi Rp 325 juta.
Padahal Kredito punya simpanan Rp 50 juta. Uang tersebut diberikan orang tuanya sebagai pegangan ketika ia menikah. Kredito berencana menggunakan uang tersebut untuk down payment sebelum mengajukan kredit pemilikan rumah. Masalahnya bukan di situ. Angsuran KPR yang tidak sanggup ia lunasi.
Kredito menghitung jika ia mengambil KPR selama 20 tahun. Ia harus menyetor Rp 1.772.289 per bulan untuk lima tahun pertama. Jumlah cicilan akan naik tajam setelah masa suku bunga fix berakhir berganti floating.
âDengan pendapatan segini, kemampuan saya membayar kredit hanya Rp 620 ribu per bulan. Paling banyak Rp 750 ribu. Itu sudah betul-betul hidup irit. Belum lagi kalau sudah punya anak. Jadi, tidak mungkin bisa ngambil KPR bahkan untuk rumah subsidi sekalipun. Padahal, saya sudah berhenti merokok supaya pengeluaran tidak terlalu besar,â ucap Kredito.
Menurut Kementerian Keuangan, hanya 30 persen pendapatan yang bisa dialokasikan untuk membayar cicilan. Ada yang namanya formula 40-30-20-10. Sebesar 40 persen gaji untuk kebutuhan hidup dan biaya bulanan, 30 persen untuk cicilan, 20 persen ditabung, 10 persen dana cadangan dan zakat.
Skema seperti itu sebenarnya sukar diterapkan bagi pekerja berpenghasilan UMP. Walaupun upah minimum Kaltim tergolong tinggi dibanding di Pulau Jawa, nyatanya hampir 70 persen penghasilan (Rp 2,2 juta) sudah terpakai buat kebutuhan sehari-hari. Kredito adalah contoh nyatanya.
Rumah Murah Masih Terasa Mahal
Pilihan yang paling mungkin bagi kaum milenial berpenghasilan UMP adalah rumah bersubsidi. Harganya lebih murah, sekitar Rp 164 juta per unit. Apabila disimulasikan, angsuran KPR-nya sekitar Rp 1,2 juta per bulan dengan durasi 15 tahun. Pun dengan cicilan segitu, penghasilan Kredito tetap tidak mencukupi.
Lalu, berapa penghasilan minimal untuk bisa membeli rumah di Samarinda? Memakai formula formula 40-30-20-10, sebesar 30 persen pendapatan bisa dipakai untuk cicilan. Apabila angsuran KPR untuk rumah nonsubsidi sebesar Rp 1,6 juta per bulan, seorang kepala keluarga harus menyiapkan uang muka Rp 50 juta dengan gaji di atas Rp 5 juta.
Adapun untuk rumah subsidi Rp 164 juta per unit, angsurannya sekitar Rp 1,2 juta per bulan selama 15 tahun dengan suku bunga tetap 5 persen. Seorang kepala keluarga harus berpenghasilan lebih dari Rp 4 juta sebulan. Kurang dari itu, tidurnya bisa tidak nyenyak karena terbayang cicilan rumah selama 15 tahun.
Faktanya, menurut survei angkatan kerja nasional dari Badan Pusat Statistik, rata-rata upah atau gaji bersih pekerja formal di Kaltim pada 2022 di bawah Rp 4 juta sebulan. Perinciannya sebagai berikut. Kaum milenial yang bekerja di sektor pertanian (20-24 tahun) sebesar Rp 3 juta per bulan, sektor perdagangan Rp 2,9 juta, dan sektor pertambangan Rp 2,5 juta (Kaltim Dalam Angka 2023, hlm 116).
Sementara itu, untuk kelompok umur 25-29 tahun, rata-rata upahnya sedikit lebih besar. Upah atau gaji bersih pekerja sektor pertanian Rp 3,75 juta, pekerja sektor perdagangan Rp 3,6 juta, dan pekerja sektor pertambangan Rp 5,06 juta. Hanya pekerja formal berusia 25-29 tahun di sektor pertambangan yang bisa mengambil kredit rumah di Kaltim. Dengan kata lain, rata-rata penghasilan kaum milenial atau mereka yang lahir pada pergantian milenium tidak akan cukup untuk kredit tempat tinggal.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan Kaltim, Made Yoga Sudharma, memaparkan data KPR dalam empat tahun terakhir. Besaran KPR se-Kaltim turun karena pandemi. Dari Rp 9,15 triliun pada 2019 menjadi Rp 8,76 triliun per 2022. Sementara itu, angka kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) cenderung turun atau membaik.
âOJK telah menetapkan standar NPL maksimal 5 persen. Pada periode Januari 2023, NPL perbankan di Kaltim 2,98 persen atau tergolong sehat,â tuturnya.
Nasib Kaum Milenial
kaltimkece.id menemui Kepala Bidang Perumahan, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Samarinda, Helmi Tauvani. Ia menjelaskan bahwa pemerintah daerah mendukung program sejuta rumah (PSR) yang merupakan kebijakan Presiden Joko Widodo. Prinsipnya adalah rumah yang disubsidi pemerintah. Selain suku bunga tetap 5 persen, pemerintah membantu Rp 4 juta untuk uang muka.
âDari pendataan pada 2022, lokasi rumah subsidi ada di 27 titik di Samarinda. Jumlah rumah bersubsidi ini 3.000 unit,â jelasnya.
Walaupun terdengar banyak, rumah murah yang masih sukar diperoleh kaum milenial berpenghasilan UMP ini sebenarnya jauh dari kebutuhan. Ketua Real Estate Indonesia (REI) Kaltim, Bagus Susetyo, menjelaskan kebutuhan rumah secara nasional. Angkanya mencapai 12,8 juta pada 2023 atau rata-rata 800 ribu rumah per tahun. Sementara untuk Kaltim, kebutuhan rumah menembus 25 ribu unit per tahun.
âJika angka tersebut berbicara, dapat diartikan bahwa banyak masyarakat Kaltim yang belum memiliki rumah,â jelas Bagus.
Memang, katanya, ada fasilitas rumah bersubsidi. Tanggapan pasar untuk rumah ini amat besar. Akan tetapi, persyaratannya ketat. Gaji tidak boleh lebih dari Rp 8 juta, belum memiliki rumah, dan rumah itu harus ditempati. Kebanyakan rumah juga jauh dari pusat kota.
Sementara untuk rumah nonsubsidi, harganya sangat bergantung ketersediaan dan permintaan pasar. Bagus membenarkan bahwa sebagian besar rumah nonsubsidi di Samarinda harganya tinggi. Lokasinya juga di pinggiran kota. Penyebabnya adalah harga tanah di Kota Tepian sudah mahal.
Bagus menanggapi tentang sukarnya kaum milenial memiliki hunian. Menurutnya, rumah subsidi adalah solusi terbaik. âApabila mengambil KPR 20 tahun, angsurannya sekitar Rp 1 juta. Jadi, kalau suami istri bekerja, masih memungkinkan,â tutur Bagus.
Sayangnya, Kredito dan banyak kaum milenial di Samarinda bukan pasangan suami istri yang sama-sama bekerja seperti yang dimaksudkan itu. (*)
Dilengkapi oleh: Hafidz Prasetiyo