kaltimkece.id Pemerintah pusat melarang 189 perusahaan tambang batu bara di Kaltim melakukan ekspor. Musababnya, perusahaan-perusahaan tersebut dituding tidak memenuhi pasokan untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Masalah seperti ini ditengarai sudah berlangsung lama.
Larang itu tercantum dalam surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 yang terbit pada Jumat, 31 Desember 2021. Surat tersebut berperihal Pemenuhan Kebutuhan Batubara untuk Kelistrikan Umum.
Dalam surat itu, dijelaskan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN dan Independent Power Producer (IPP) dalam keadaan kritis karena ketersediaan batu baranya sangat rendah namun tak disebutkan berapa jumlahnya. Kondisi ini disebut mengganggu operasional PLTU dan mengancam kelistrikan nasional.
Surat itu juga menyebutkan pasal 157 ayat (1) PP Nomor 96 Tahun 2021 nomor 96 Tahun 2021. Beleid itu mengatur soal perusahaan pemegang IUP atau IUPK wajib mengutamakan kebutuhan mineral dan atau batu bara untuk kepentingan dalam negeri sekitar 25 persen dari total produksi. Selanjutnya, perusahaan pemegang IUP atau IUPK dapat menjual batu bara ke luar negeri setelah terpenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri. Aturan ini mengacu pasal 158 ayat (3) PP 96/2021.
Terakhir, mengacu pasal 62 huruf g Permen ESDM 7/2020, perusahaan pemegang IUP atau IUPK wajib mengutamakan pemenuhan kebutuhan mineral dan batu bara dalam negeri serta memenuhi pengendalian produksi dan penjualan.
“Surat itu benar adanya. Saya terima 31 Desember itu. Mau enggak mau, ya, harus dipatuhi,” jelas Kepala Dinas ESDM Kaltim, Christianus Benny, kepada kaltimkece.id di Fakultas Kehutanan Unmul, Jumat sore, 7 Januari 2022.
_____________________________________________________PARIWARA
Benny menjelaskan, perusahaan bisa mengekspor batu bara jika sudah memenuhi kewajiban DMO kepada PT PLN (persero) sebesar 100 persen. Di Kaltim, berdasarkan catatan Dinas ESDM Kaltim 2021, sebanyak 161 perusahaan realisasi DMO-nya 0 persen, 15 perusahaan DMO 1-24 persen, lima perusahaan 25-49 persen, delapan perusahaan 50-75 persen, 12 perusahaan 76-100 persen, dan hanya 13 perusahaan yang realisasi DMO-nya melebihi 100 persen. Dengan demikian, ada 189 perusahaan batu bara belum memenuhi DMO. Mereka dilarang mengekspor batu bara sampai 31 Januari 2022.
“Makanya, saya sampaikan di Instagram Pemprov kemarin, 25 perusahaan dapat melakukan ekspor batu bara,” jelas Benny. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor hasil tambang Kaltim sepanjang Januari-November 2021 mencapai USD 15,7 miliar.
Benny menjelaskan dugaan penyebab perusahaan enggan memunuhi DMO. Banyak perusahaan batu bara di provinsi ini dilaporkan memiliki kalori yang tinggi dengan kisaran 5.000 kcal/kilogram. Sedangkan PLN membutuhkan batu bara dengan kualitas sedang, kisaran 2.000-3000 kcal/kg. Ketidakcocokan kebutuhan kualitas inilah yang diduga membuat perusahaan enggan menjual batu bara ke PLN.
“Selain itu, di Kaltim juga tidak ada tempat blending batu bara,” tambah Benny.
Kebijakan pelarangan ekspor batu bara itu dikecam Gubernur Kaltim, Isran Noor. Menurutnya, pemerintah pusat telah terburu-buru mengeluarkan keputusan tersebut. Ia menyarankan, sebaiknya pemerintah pusat berdiskusi dengan pengusaha tambang untuk mengatasi kekurangan energi di PLN.
“Bagi saya, itu kebijakan yang menunjukkan kepanikan. Tidak terencana dengan baik. Kaltim 'kan tidak punya kepentingan. Apalagi kewenangan yang sekarang di pusat,” kata Gubernur Isran di Hotel Mercure Samarinda, Jumat, 7 Januari 2021.
_____________________________________________________INFOGRAFIK
Masalah Klasik
Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Samarinda, Eko Priyatno, tak menampik adanya perusahaan yang tidak memenuhi DMO. Menurutnya, harga batu bara yang melambung tinggi di pasar global pada tahun 2021 membuat perusahaan lebih memilih mengekspor ketimbang memenuhi kebutuhan domestik.
Bursa Ice Newcastle mencatat, harga batu bara rata-rata di atas USD 150 per ton. Sedangkan harga batu bara melalui DMO hanya USD 70 per ton. Artinya, harga batu bara di pasar internasional lebih tinggi USD 80 per ton dibandingkan dengan DMO.
“Tapi, pada intinya, kami tetap ikuti regulasi yang ditentukan pemerintah,” terang Eko.
Sementara itu, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan, masalah DMO sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Regulasi yang bobrok hingga tidak ada ketegasan dari pemerintah memberikan sanksi ditengrai membuat persoalan DMO ini kerap kali berulang.
“Bahkan, sejak kewenangan masih berada di pemerintah daerah, regulasi dan sanksi soal DMO memang tak tegas,” kata dia.
Rupang menyarankan, seharusnya pemerintah memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar DMO. Contohnya, kata dia, mencabut izin usaha, tidak memperpanjang izin usaha, atau memberikan denda yang besar. Hal ini diyakni dapat memberikan efek jera bagi perusahaan yang melanggar DMO.
Berdasarkan catatan Minerba One Indonesia besutan Kementerian ESDM, realisasi DMO mencapai 63,57 juta ton pada Desember 2021. Jumlah itu masih 46,16 persen dari target pemenuhan DMO sebesar 137 juta ton. Dilihat dari keseluruhan produksi batu bara sebesar 611,2 juta ton, realisasi angka DMO itu hanya 10 persen pada 2021. (*)
Editor: Surya Aditya