kaltimkece.id Kalimantan Timur memiliki potensi besar mengembangkan sektor ekonomi hijau. Nilai rupiah dari gerakan ini juga sangat besar. Manfaat lain yang bisa diterima adalah keberlanjutan ekonomi dalam jangka waktu yang panjang.
Ekonomi Hijau adalah model pembangunan yang menyinergikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan. Melalui implementasi yang tepat, ekonomi hijau menyediakan alat (tools) yang dibutuhkan untuk mentransformasi aktivitas ekonomi menjadi lebih berkelanjutan dan inklusif.
"Bank Indonesia (BI) terus berkomitmen mendukung perkembangan ekonomi dan keuangan hijau di Indonesia. Dengan berbagai instrumen kebijakan makroprudensial yang mendorong pertumbuhan proyek dan usaha ramah lingkungan dengan tetap memperhatikan stabilitas sistem keuangan," jelas Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Kaltim, Budi Widihartanto, saat membuka Seminar Nasional Potensi Monetisasi Penurunan Emisi Karbon Kalimantan Timur digelar pada Selasa, 5 Desember 2023 di Aula Maratua, Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Kalimantan Timur.
Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BPN)/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), Medrilzam, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia melalui Kemeterian BPN/Bappenas telah meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau pada 9 Agustus 2022 dalam G20 Development Working Group (DWG) Meeting (side event) di Bali.
"Indeks ekonomi hijau ditujukan sebagai alat untuk mengukur progres dan capaian transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau secara tangible (nyata), representatif, dan akurat," ucap Medrilzam dalam paparannya.
Pengukuran terdiri dari 15 indikator terpilih yang mewakili tiga pilar Sustainable Development, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
"Secara keseluruhan, pembangunan ekonomi hijau di Indonesia telah telah menunjukkan performa yang positif. Namun, tentunya masih diperlukan sejumlah intervensi yang lebih masif. Khususnya pada sektor-sektor prioritas, seperti energi, investasi, pelestarian lingkungan, serta sektor lainnya," ungkap Medrilzam secara daring.
Performa ekonomi hijau di Kaltim memiliki skor komposit indeks sebesar 50,49 pada 2021 dengan tren kenaikan 0,99 persen (mulai 2015 sampai 2021).
Pilar lingkungan memiliki indeks komposit terendah, terutama dari indikator bauran energi, kualitas air dan penurunan emisi.
Pada pilar ekonomi, produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita dan produktivitas pertanian (padi, kelapa sawit, perikanan budidaya), produktivitas perikanan budidaya, serta intensitas energi final, memiliki nilai di bawah batas minimum dan perlu menjadi perhatian khusus.
Status sementara capaian Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Kaltim mulai 2020 sampai 2022 terdapat dalam AKSARA (Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon). Yaitu ada 551 aksi implementasi pembangunan rendah karbon 2020-2022 oleh provinsi Kaltim dengan nilai potensi penurunan emisi dampak implementasi aksi PRK 2020-2022 adalah 1,76 juta ton CO2eq. Capaian penurunan emisi secara kumulatif pada 2022 adalah 11,74 persen.
"Peran sektor keuangan dalam ekonomi hijau adalah mendorong mobilisasi pendanaan iklim/investasi hijau, serta mengatasi tantangan seperti infrastruktur pasar, keterbatasan instrumen finansial dan manajemen risiko, organisasi yang silo dan persaingan mandat, serta perkembangan pasar dan institusi kebijakan finansial," pungkasnya.
Sementara itu, Chairman of the Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Surya Darma, dalam paparannya yang berjudul Studi Potensi Perdagangan Karbon di Kaltim, menyampaikan enam rekomedasinya.
Pertama, mendorong diberlakukannya penerapan batas atas emisi untuk pelaku usaha yang lebih ketat. Agar dapat meningkatkan kebutuhan pembeli unit offset emisi domestik di pasar kepatuhan, complience buyers.
Kedua, perlu ada regulasi dari Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengharuskan badan usaha yang perlu membeli unit offset emisi dari wilayah setempat/provinsi di lokasi operasional usahanya yang mendorong lebih banyak proyek karbon hutan di tingkat lokal.
Ketiga, Operasional sistem registry nasional (SRN) perlu dipahami seluruh pelaku usaha di Indonesia. Sehingga semua oembeli unit offset akan menyelesaikan proses pembatalan 'retirement' pada SRN yang nantinya dapat meningkatkan peran Registry Indonesia karena volume kerjanya yang tinggi dan dapat dijadikan komoditas (bukan sebagai aset, efek).
Keempat, setelah berakhir masa periode kesepakatan implementasi Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) 2025, Pemprov Kaltim dapat mengambil alih pola pendanaan karbon PCPF dengan mencari potensi kemitraan dengan pihak lain.
Kelima, Pemprov Kaltim dapat mendorong jumlah transaksi 'pembeli' unit offset di pasar karbon, melalui demand creation dengan Peraturan Daerah (Perda) Khusus.
Keenam, perlu peraturan yang mendorong perusahaan membeli unit offset tidak hanya pada pasar kepatuhan, tetapi juga melalui pasar sukarela. Baik nasional maupun internasional.(*)