kaltimkece.id Pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Beleid ini mewajibkan seluruh produk mengantongi sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Badan yang dinaungi Kementerian Agama ini beroperasi sejak 17 Oktober 2019. Pemerintah pusat memberi waktu kepada pengusaha mengurus sertifikat halal hingga 2024.
Setelah tenggat itu lewat, ada ancaman pidana bagi yang tak mengantongi dokumen JHP. Menurut pasal 56 undang-undang yang mengatur tentang sanksi, pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan dan tak memperoleh sertifikat JPH diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Sementara dendanya, paling banyak Rp 2 miliar.
Jaminan halal diwajibkan untuk semua produk yang beredar di masyarakat. Produk yang dimaksud, sebagaimana pasal 1 undang-undang tersebut, "adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.”
Untuk sertifikasi produk di daerah, Badan Penyelenggara JHP bisa bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Direktur Lembaga Kajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika, MUI Kaltim, Sumarsongko, sempat ada sentimen negatif dari masyarakat. Salah satunya mengenai relevansi JPH menyertifikasi produk seperti kulkas atau tas plastik.
Dalam kasus kulkas, sebut dia, lebih kepada pemeriksaan komponen dan proses pembuatan. Sebagai contoh, unsur tulang hewan tertentu di komponen mesin pendingin. Unsur halal juga harus disertai tayiban. Artinya, selain bebas unsur non-halal, diproduksi dengan cara baik dan tak merugikan kesehatan konsumen.
Mengacu UU 33/2014, produk yang dinyatakan halal adalah sesuai dengan syariat Islam. Produk dinyatakan halal setelah penyediaan bahan pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian, diperiksa oleh auditor. Ikan, sebagai contoh, jika tercampur pengawet seperti formalin yang bersifat karsiogenik atau memicu kanker, dikategorikan tidak halal.
“Haram (dalam kepercayaan muslim) bukan hanya babi. Barang yang tak ramah kesehatan juga haram,” tegas Sumarsongko, Rabu, 4 Maret 2020. Hal itu ia sampaikan selepas penyerahan sertifikat halal kepada 94 pengusaha kecil menengah di Kaltim dan Kaltara. Acara ini berlangsung di sebuah kedai di Jalan Juanda, Samarinda.
Tantangan Besar
Meskipun demikian, Sumarsongko yang juga seorang dokter hewan mengakui, sertifikasi JPH masih panjang dan berliku di Kaltim dan Kaltara. Kesadaran masyarakat terlebih pelaku usaha mengenai pentingnya sertifikat ini masih kurang. Dari sekitar 20 ribu UKM, baru kira-kira 2.000 yang mengantongi sertifikat JPH. Sertifikat ini harus diperpanjang saban dua tahun.
“Dari 2.000-an sertifikat itu pun, 50 persennya mati,” katanya.
Masalah lain adalah keterbatasan anggaran menguji produk halal. Dalam proses sertifikasi, karyawan dilatih agar mampu menjaga konsistensi produk sampai uji laboratorium. Walaupun tak bisa memerinci besarannya, Sumarsongko menyebutkan, semakin besar usaha, semakin mahal biayanya.
Tes DNA adalah bagian dari sertifikasi. Tes ini untuk membuktikan tidak ada unsur produk turunan babi. Biaya untuk uji DNA ini sekitar Rp 500 ribu. Memang, biaya ini dibebankan kepada pengusaha. Namun demikian, auditor LPPOM MUI Kaltim harus mengeluarkan kocek pribadi untuk perjalanan dinas.
“Satu pun petugas di LPPOM MUI Kaltim tidak ada yang digaji. Kami ikhlas demi keamanan pangan Kaltim,” katanya.
Dukungan Pemerintah Daerah
Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi mengatakan, kepastian produk halal tayiban di Kaltim harus dijaga dari hulu ke hilir. Lagi pula, jelasnya, 85 persen penduduk Kaltim memeluk agama Islam.
“Kami mengimbau BUMD dan pihak swasta membantu sertifikasi produk halal. Mereka (auditor) perlu alat dan biaya operasional agar bisa bekerja maksimal,” ucap Hadi yang juga hadir menyerahkan sertifikat halal.
Kepala Dinas Perindustrian Samarinda, Muhammad Faisal, berpendapat bahwa sertifikat ini bukan hambatan bagi pelaku usaha. Kewajiban ini justru menjadi peluang pengusaha kecil mengembangkan produk ke pasar yang lebih luas. Banyak penyalur yang mulai mewajibkan pencantuman sertifikat JHP di produk yang dipasarkan.
Tahun lalu, melalui APBD, Samarinda telah membantu sertifikat gratis kepada 10 usaha. Tahun ini, ditargetkan 15 usaha. “Urusan susah atau tidak, itu nomor dua. Pemerintah harus lebih dahulu memfasilitasi,” jelas Faisal.
Pendapat ini diamini Evita Ayu Permana, seorang pengusaha bakso olahan di Balikpapan yang baru menerima sertifikat JHP. Sebelum memegang sertifikat, ia kesulitan menembus pasar katering. Usahanya mentok menyalurkan daging olahan ke pasar tradisional.
“Kalau sudah punya sertifikat ini, kami jadi lebih percaya diri memasarkan produk,” yakinnya. (*)
Editor: Fel GM