kaltimkece.id Kasmir melihat undangan akikah berlapis plastik transparan yang sedikit lusuh dengan tatapan kosong. Pada awal bulan ini, Rabu, 3 Juli 2024, lelaki berusia 24 tahun itu bersama sang istri seharusnya mengadakan akikah putri semata wayang mereka, Nadhifa Putri Amira. Undangan telah disebarkan namun putrinya yang lahir pada 27 Desember 2023 dipanggil Yang Maha Kuasa, sepekan sebelum kenduri.
"Saya sudah membeli kambing untuk akikah anak saya," tuturnya kepada kaltimkece.id.
Kasmir adalah seorang wiraswasta. Ia dan istrinya yang bernama Rahmi Nur Fadillah tinggal di Desa Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara. Pada Rabu pagi, 26 Juni 2024, pasangan suami istri itu mendapati bayi mereka yang berusia enam bulan muntah-muntah.
Kasmir dan istrinya kemudian membawa Nadhifa ke Klinik BOHC di Muara Badak. Setelah diberikan obat, bayi Nadhifa menunjukkan gejala lain yaitu diare. Klinik menyarankan bayi tersebut dibawa ke RS Samarinda Medika Citra (SMC) di Jalan Kadrie Oening, Samarinda.
"Sorenya, Kasmir, istrinya, dan saya membawa Nadhifa ke Samarinda," terang Muh Yamin, paman Nadhifa, menyampaikan pernyataan keluarga.
Mereka tiba di Samarinda menjelang magrib. Di tengah perjalanan, mereka melintasi Rumah Sakit Ibu dan Anak Qurrata Ayun di Jalan DI Panjaitan. Orang tua memutuskan membawa Nadhifa dirawat di sana. Pertimbangannya, RS SMC masih lumayan jauh sementara kondisi bayi mengkhawatirkan.
Keluarga kemudian mendapat penjelasan bahwa sarana dan prasarana rumah sakit tidak memadai menangani Nadhifa. Bayi tersebut disarankan dibawa ke RSUD AWS.
"Kami pikir tidak mungkin diserahkan ke RSUD AWS kalau memang fasilitasnya memadai," jelas Muh Yamin.
Bayi kemudian dibawa RSUD AWS walaupun tanpa rujukan. Muh Yamin mengatakan, mereka hanya disarankan secara lisan. Pukul tujuh malam, mereka tiba di rumah sakit milik Pemprov Kaltim tersebut. Keluarga masuk ke ruang pendaftaran. Nadhifa ditimbang beratnya. Setelah itu, keluarga diminta menunggu di ruang penempatan pasien atau ruang resutisasi.
"Setelah beberapa menit tak kunjung ada perawatan. Padahal, bayi kami ini makin lemas karena dehidrasi," jelas sang paman.
Yamin yang merupakan kakak dari ibu bayi itu mendatangi bagian informasi RSUD AWS. Ia menanyakan penanganan keponakannya. Beberapa saat kemudian, seorang perawat dipanggil dan masuk ke ruangan Nadhifa.
"Setelah itu, dicari pembuluh darahnya. Setelah beberapa suntikan, cairan infus tidak bisa masuk," sambungnya.
Perawat, menurut keterangan Yamin, kemudian menyuntik lagi beberapa kali namun pembuluh darah tak juga ditemukan. Yamin mendatangi dokter jaga untuk menanyakan alternatif tindakan. Kepadanya, dokter jaga berkata bahwa infus dapat diberikan melalui pembuluh darah besar tetapi mesti dibius atau anestesi.
Yamin meminta tindakan tersebut diambil. Dokter jaga meminta Yamin menunggu. Yamin kemudian kembali ke ruangan Nadhifa dirawat. Bayi tersebut rupanya sedang meminum susu melalui dot yang diberikan ibunya.
"Saat itulah, saya mendengar bunyi dari tenggorokan Nadhifa," sebutnya.
Yamin kembali bertanya ke dokter jaga. Lagi-lagi ia diminta menunggu. Setelah hampir setengah jam, dua perawat masuk untuk mencoba memasang infus kembali. Belum bisa juga. Beberapa perawat yang lain juga datang membantu.
"Mereka bergantian memasang infus di beberapa bagian tubuh Nadhifa sampai ada yang bengkak," jelasnya.
Situasi makin kritis ketika dr Salsa Nurfadilla, seorang dokter umum, datang dan memompa jantung Nadhifa. Selanjutnya, dokter spesialis anak, Dhini Karunia, juga hadir. Selain melanjutkan pompa jantung, tabung oksigen kecil dipasang dan Nadhifa diberikan obat pemicu jantung.
"Kami kemudian diminta berdoa saja. Saya marah dan berkata bahwa dari awal sampai ke sini (RSUD AWS), kami sudah banyak berdoa," ucapnya.
Nyawa Nadhifa akhirnya tak tertolong. Pukul setengah sepuluh malam, bayi itu wafat. Yamin menilai, rumah sakit lalai dalam penanganan sehingga menyebabkan bayi meninggal. Kelalaian yang dimaksud adalah penginfusan yang berkali-kali gagal hingga tidak ada alternatif dari rumah sakit selama berjam-jam.
Dua hari setelah peristiwa itu, Jumat, 28 Juni 2024, Direktur RSUD AWS, dr David Hariadi Masjhoer, memberikan keterangan kepada media. Ia membantah rumah sakit lalai dalam penanganan. Menurutnya, proses pemasangan infus tidak dapat dilakukan karena berat badan Nadhifa yang berlebih.
"Idealnya, berat badan (untuk anak berusia enam bulan) itu 7,5 kilogram. Sementara berat badannya (Nadhifa) 9 kilogram," terangnya.
Mengenai pembiusan, ia menerangkan, dokter anestesi yang berjaga sedang mengikuti operasi di lantai tiga. Dokter anestesi lain juga berhalangan ketika dihubungi.
Menurut dokumen yang diterima kaltimkece.id dari Humas RSUD AWS, dr Arysia Andhina, Nadhifa didiagnosis mengalami diare cair akut serta dehidrasi. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa ada belasan kali percobaan menyuntikkan infus. Proses pertama sebanyak tiga kali kemudian dilanjutkan 15 kali namun pemasangan infus tidak juga berhasil.
Keluarga yang mendengar penjelasan rumah sakit merasa heran. Pada Kamis, 4 Juli 2024, Yamin melaporkan RSUD AWS ke Kepolisian Resor Kota Samarinda. Ia juga mempersoalkan pernyataan dr David yang menyebutkan kondisi Nadhifa yang obesitas sebagai penyebab kegagalan memasang infus.
"Seolah-olah ingin menyalahkan bayi kami atas kematiannya," ucapnya.
Tim Reaksi Cepat Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim menjadi kuasa hukum keluarga. Sudirman, Biro Hukum TRC PPA Kaltim, menyebutkan bahwa kasus ini akan dikawal hingga tuntas.
"Bukan hanya Nadhifa namun bagi masyarakat Kaltim yang pernah mengalami nasib serupa," sebutnya.
Sidak Penjabat Gubernur
Pelayanan bukan satu-satunya persoalan di RSUD AWS. Pada Jumat, 19 Juli 2024, Kejaksaan Tinggi Negeri Samarinda baru saja menetapkan tiga tersangka dalam dugaan korupsi dana tambahan penghasilan pegawai (TPP) tahun 2018-2022. Perkara itu diperkirakan menimbulkan kerugian Rp4,9 miliar.
Jumat itu, pukul 14.00 Wita, Penjabat Gubernur Kaltim, Akmal Malik mengadakan kunjungan mendadak ke rumah sakit. Didampingi Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim, dr Jaya Mualimin, Akmal menemui dr David Hariadi selaku direktur rumah sakit terbesar di Kaltim tersebut.
Pertemuan berjalan sekitar setengah jam. Pj Gubernur mengatakan, mereka membicarakan dua hal yaitu kasus bayi Nadhifa serta penetapan tersangka kasus TPP di RSUD AWS. Ia ingin melihat permasalahan secara utuh.
Selain Dinkes Kaltim, Inspektorat Daerah, Badan Kepegawaian Daerah, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah juga hadir. Sejumlah perbaikan, kata Akmal, harus dilakukan dan tidak bisa parsial.
"Bukan hanya masalah pelayanan kesehatan tetapi permasalahan kepegawaian," jelasnya.
Akmal meminta Dinas Kesehatan membentuk satuan tugas khusus yang dinamakan Squad Team. Satuan tugas tersebut terdiri dari lintas instansi di Pemprov Kaltim yang diketuai perwakilan dari Dinas Kesehatan. Satgas diberi waktu sebulan untuk mendalami masalah ini dan melaporkannya kepada Pj Gubernur.
Ditemui terpisah, Kepala Dinkes Kaltim, dr Jaya, menyebutkan bahwa satgas terdiri dari Inspektorat, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, BKD, Biro Hukum, Biro Organisasi, serta perwakilan dari RSUD AWS.
"(Satgas) akan me-review secara menyeluruh," jelasnya kepada kaltimkece.id.
Dalam kasus bayi meninggal, dr Jaya menerangkan, jumlah kematian ibu dan anak merupakan indikator pelayanan rumah sakit. Maksimal kematian ibu melahirkan adalah 65 per tahun sementara untuk bayi tidak lebih dari 520.
"Sejauh ini, sudah 33 kasus kematian ibu melahirkan serta sekitar 200 kasus kematian bayi," paparnya. Pembentukan satuan tugas juga diharapkan menekan jumlah tersebut tidak terus bertambah tahun ini.
Direktur RSUD AWS, dr David, menerima keputusan Pj Gubernur untuk mengaudit instansi yang dipimpinnya. RSUD AWS, jelasnya, bukan tanpa cacat. Ia telah mengambil berbagai langkah untuk mengevaluasinya.
"Mengenai kasus TPP, audit BPK sebenarnya hanya untuk 2022. Saya yang meminta auditor menelusuri tahun-tahun sebelumnya," ucapnya. BPK kemudian menemukan indikasi penyalahgunaan TPP yang berlangsung sejak 2018.
Mengenai kasus kematian bayi, dr David menyatakan, menerima instansinya dilaporkan. Ia mengaku telah diperiksa dan akan mengikuti proses hukum hingga akhir. Namun demikian, dr David masih yakin rumah sakit telah bekerja sesuai prosedur.
Di samping itu, dr David menegaskan tak segan mundur apabila dirinya dinilai bertanggung jawab atas berbagai masalah di RSUD AWS. "Kalau diberhentikan, saya akan berhenti. Saya siap. Saya tidak akan mempertahankan jabatan seperti itu," tutupnya. (*)