kaltimkece.id Terdakwa kasus pembunuhan lima orang dari satu keluarga di Kecamatan Babulu, Penajam Paser Utara, divonis 20 tahun penjara. Vonis yang dijatuhkan pada Rabu, 13 Maret 2024, tersebut lebih tinggi 10 tahun dari tuntutan jaksa. Putusan ini dianggap sudah bijak. Hakim berani menerobos Undang-Undang 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak demi rasa keadilan bagi keluarga korban maupun masyarakat.
Pakar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Orin Gusta Andini, menjelaskan bahwa terdapat prinsip ultra petita dalam hukum pidana. Majelis hakim, lewat prinsip tersebut, bisa menjatuhkan vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa.
"Dalam kasus ini, hakim bahkan menerobos UU Sistem Peradilan Pidana Anak," terang akademikus fakultas hukum tersebut kepada kaltimkece.id, Rabu, 13 Maret 2024.
Orin menambahkan bahwa hakim dalam memutuskan perkara tentu tidak hanya mempertimbangkan hukum positif. Rasa keadilan bagi keluarga korban maupun publik turut diperhitungkan.
"Bayangkan, ketika hukumannya dianggap kurang adil, keluarga terdakwa pun bisa dalam posisi sulit," paparnya. Putusan hakim disebut adil bukan hanya kepada keluarga korban namun kepada terdakwa dan keluarganya. Terlebih, sambungnya, peristiwa ini mengandung unsur sadistis.
Peristiwa tersebut terjadi pada Senin tengah malam, 5 Februari 2024, di Kecamatan Babulu. Terdakwa disebut menghabisi nyawa lima tetangganya. Kelima orang itu merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga anak. Setelah membunuh, terdakwa merudapaksa dua korban dan mencuri ponsel serta uang Rp 363 ribu.
Jaksa kemudian menuntut terdakwa 10 tahun penjara. Tuntutan tersebut berdasarkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Usia terdakwa saat peristiwa belum genap 18 tahun sehingga berstatus anak yang berhadapan dengan hukum.
Dalam UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pasal 1 ayat ketiga menyebutkan, "Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana." Selanjutnya, pasal 81 ayat kedua berbunyi, "Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa."
Sementara itu, ayat keenam mengatakan, "Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun."
Kembali ke Orin, ia memahami pendapat yang menyatakan bahwa terdakwa seharusnya menerima hukuman yang lebih tinggi dari vonis hakim. Namun demikian, Orin menganggap bahwa tindakan hakim yang menerobos UU Sistem Peradilan Anak sudah mementingkan rasa keadilan di masyarakat.
Orin melanjutkan bahwa usulan yang mengemuka untuk merevisi UU Sistem Peradilan Pidana Anak patut dikaji. Ia menilai bahwa usia dewasa adalah hal yang sangat kontekstual bergantung latar belakang ekonomi dan sosial anak. Orin menambahkan bahwa mengkaji aturan tersebut tentu memerlukan proses yang cukup panjang.
Perlu diingat, papar Orin, bahwa asas hukum pidana mengalami perubahan paradigma dari zaman ke zaman. Pada abad ke-18, hukum pidana menganut paradigma retributive justice. Pelaku dibalas seberat-beratnya. Mata dibalas mata, hidung dibalas hidung.
Memasuki awal abad ke-20, paradigma itu berubah menjadi restorative justice. Seorang terdakwa akan dijerat hukum dan diberikan pemulihan. Itulah sebabnya, pengguna narkoba bisa dihukum kurungan sekaligus direhabilitasi. Hak-hak terdakwa dalam paradigma restorative justice sebagai manusia tetap dihormati.
"Pada dasarnya hukum pidana di setiap negara berbeda-beda. Hukum pidana mengikuti karakteristik norma sosial. Pemulihan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia juga mesti seimbang dengan rasa keadilan di masyarakat," urainya.
Kembali ke perkara pembunuhan sekeluarga di PPU, setelah vonis dijatuhkan, sejumlah kerabat korban mengadakan long march. Mereka berjalan dari Pengadilan Negeri Penajam ke Kantor DPRD PPU. Sebuah spanduk bertuliskan 'Jangan Zolimi Kami dengan UU Perlindungan Anak' terbentang.
Kepada awak media, Asrul Paduppai, kuasa hukum keluarga korban, menilai bahwa jaksa penuntut umum dan majelis hakim telah bekerja secara maksimal. Namun demikian, ia menganggap putusan itu masih belum setimpal. Oleh karena itu, ia mendorong pembenahan regulasi peradilan anak.
Dikonfirmasi terpisah, Pelaksana Harian UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kaltim, Syakhrani, menyatakan, masih memantau perkembangan kasus ini. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pengadilan mengenai vonis kepada terdakwa.
Syakhrani mengatakan bahwa sejumlah langkah pencegahan telah diambil agar kasus serupa tak terjadi. UPTD PPA Kaltim berkomitmen terus memberi penyuluhan kepada masyarakat. Selama ini, sosialisasi dan edukasi telah diberikan di sekolah-sekolah maupun lembaga masyarakat.
"Ke depannya, kami juga sosialisasi ke setiap RT," tutupnya. (*)