kaltimkece.id Pemerintah bersama DPR RI bergerak secepat kilat mengesahkan revisi Undang-Undang 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Revisi itu memberi validasi kepada organisasi masyarakat keagamaan dalam mengelola tambang yang sebelumnya diatur melalui Peraturan Presiden 76/2024.
Dalam beleid itu pula, izin usaha pertambangan (IUP) dapat diberikan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berdomisili dekat lokasi tambang. Lalu, bagaimana dengan wacana perguruan tinggi mengelola izin tambang?
Dalam sesi konferensi pers usai rapat pleno bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Senayan, Jakarta, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan perguruan tinggi tidak diberi izin mengelola tambang.
"Kami dari pemerintah, setelah melihat perkembangan, mengkaji, dan menghargai independensi kampus, maka tidak ada pemberian langsung (izin tambang) kepada kampus," ucap Bahlil sebagaimana dilansir dari Kantor Berita Antara.
Lebih jauh, pemerintah menyebut akan ada penugasan khusus yang diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), maupun badan usaha swasta, yang akan membantu kampus yang membutuhkan. Terutama dalam penyediaan dana riset, termasuk pemberian beasiswa kepada mahasiswa.
Menanggapi hal itu, Mareta Sari dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menilai, pernyataan pemerintah yang tak ingin mengganggu independensi kampus hanyalah pepesan kosong. Pasalnya, meskipun tidak menerima konsensi langsung, perguruan tinggi tetap menerima manfaat dari aktivitas pertambangan melalui skema perjanjian kerja sama. Skema tersebut diatur dalam Pasal 51A dan 60A Revisi UU Minerba.
Dalam Pasal 51A disebutkan bahwa "Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, Pemerintah Pusat memberikan WIUP Mineral logam dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi".
Kemudian, dalam Pasal 60A disebutkan juga bahwa "Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, Pemerintah Pusat memberikan WIUP Batubara dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi".
"Ini tak lebih dari perangkap yang disediakan pemerintah dan DPR untuk menjebak kampus ke dalam bisnis tambang mineral dan batu bara," ujar perempuan yang akrab disapa Eta tersebut.
Ia juga menyoroti proses pengesahan revisi UU Minerba yang mendadak dan terburu-buru. Padahal, revisi UU Minerba tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) apalagi prolegnas prioritas.
"Dari 176 RUU yang masuk dalam Prolegnas 2024-2029, 41 di antaranya masuk kategori prioritas. Revisi UU Minerba tidak masuk daftar keduanya," tambahnya.
Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Orin Gusta Andini berpendapat serupa. Ia menilai meski skemanya diubah, status kampus sebagai penerima manfaat dari aktivitas pertambangan tetap akan berdampak kepada kebebasan akademik.
"Ketika nantinya hidup dari sana kemudian mencoba bersikap kritis, kampus akan berada di posisi sulit," ucapnya.
Ia pun menilai bahwa isu ini jangan menjadi bola liar yang disambut gagap oleh perguruan tinggi. Sikap tegas dari pimpinan-pimpinan kampus di Indonesia diperlukan untuk menanggapi revisi tersebut.
Sementara itu, Herdiansyah Hamzah dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai, sejak awal yang menjadi tujuan utama pemerintah bukanlah memberikan pengelolaan pertambangan kepada kampus, melainkan mencari legitimasi dari perguruan tinggi.
"Motifnya kampus dipaksa menjadi 'stempel' legitimasi industri ekstraktif. Kampus diarahkan untuk menunjukkan bahwa seolah-olah industri pertambangan yang mematikan ini bermanfaat bagi publik," ujar pria yang akrab disapa Castro itu.
Hingga kini, belum ada sikap secara resmi dari pimpinan-pimpinan perguruan tinggi di Samarinda maupun Kaltim mengenai Revisi UU Minerba. Dari kalangan mahasiswa, badan eksekutif mahasiswa dari berbagai kampus sebelumnya menggelar aksi penolakan pemberian konsesi tambang bagi perguruan tinggi pada awal Februari 2025 di depan Gedung DPRD Kaltim. (*)