Kaltimkece.id Nyaris sebulan berlalu sejak kasus kekerasan terhadap dua warga Dusun Muara Langon, Desa Muara Kate, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser. Kekerasan itu merenggut nyawa seorang warga bernama Rusel, 60 tahun, mengalami luka sayatan di tubuhnya. Luka-luka berat juga dialami Anson, 55 tahun, yang bersama Rusel saat kejadian naas itu berlangsung.
Rabu, 18 Desember 2024, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim yang terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Lembaga Bantuan Hukum Samarinda, Kelompok Kerja 30, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kaltim, Wahana Lingkungan Hidup Kaltim, serta Aliansi Jurnalis Independen Samarinda (AJI Samarinda), menggelar demonstrasi di depan kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajahmada, Samarinda.
Dua spanduk dibentangkan, satu spanduk bertuliskan "Usut Tuntas Kasus Pembunuhan Muara Kate karena Tambang". Spanduk lain bertuliskan "Kaltim Disiksa Tambang Nyawa Melayang". Ada juga poster dipegang salah satu massa aksi, bertuliskan "Negara Abai Warga Terbantai".
Humas Koalisi Masyarakat Sipil, Azis menyebutkan bahwa kasus penganiayaan yang berujung pada hilangnya nyawa warga Paser tidak berawal dari ruang kosong. Ia menuturkan, dua warga itu dianiaya saat sedang berjaga di pos yang diinisiasi warga untuk melarang lewatnya truk pengangkut batu bara di jalan umum.
"Itu bentuk tidak berfungsinya negara yang tidak tegas melarang truk pengangkut batu bara melintas di jalan umum," sebutnya.
Ia melanjutkan, penggunaan jalan umum oleh truk pengangkut batu bara melanggar Peraturan Daerah Kaltim 10/2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batu Bara dan Kelapa Sawit. Dalam aturan tersebut disebutkan, truk pengangkut batu bara mesti memiliki jalur sendiri dalam mengangkut komoditasnya, dengan bentuk jalan hauling yang tidak melintasi jalan umum.
Azis menilai, abainya pemerintah juga berkelindan dengan industri ekstraktif yang terus mencaplok lingkungan hidup di Kaltim. Menurut data Jatam Kaltim, dari luas daratan Kaltim 12,7 juta hektare, terdapat perizinan yang bahkan mencapai 13,8 juta hektare dengan izin yang saling tumpang tindih. "Luas perizinan bahkan melebihi luas pulaunya," sorotnya.
Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil, Azis mengaku miris terhadap peristiwa sadis yang menimpa warga yang hanya sedang memperjuangkan haknya untuk mempertahankan jalan umum dari perlintasan truk pengangkut batu bara. Koalisi Masyarakat Sipil menuntut penutupan jalan umum bagi truk batu bara dan meminta pemerintah maupun aparat hukum untuk mengusut kasus penganiayaan dua warga di Paser hingga tuntas.
"Pemprov Kaltim bertanggung jawab secara moril untuk mendesak kepolisian agar menyelesaikan kasus tersebut dan memberikan laporan perkembangan kasus kepada masyarakat," pungkasnya.
Ditemui beberapa jam setelah aksi berlangsung, Penjabat Gubernur Kaltim Akmal Malik mengaku prihatin terhadap kasus yang menimpa dua warga di Paser. Ia menyebutkan akan berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait.
"Kasus ini notabene ranah penegakan hukum, bukan administrasi, bukan ranah pemerintah daerah," sebut Akmal.
Dirinya mengatakan akan menghubungi Kepolisian Daerah Kaltim dalam waktu dekat untuk memahami detail perkembangan pengusutan kasus tersebut. Meski bukan ranah Pemprov Kaltim, Akmal akan melakukan apa yang ia bisa untuk menyelesaikan kasus tersebut.
"Kita tidak boleh mencampuri ranah penegakan hukum, tetapi boleh dong mengingatkan," ucapnya.
Mengenai pelanggaran yang dilakukan truk perusahaan pertambangan dalam melewati jalan umum di Paser, Akmal yang juga direktur jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, menyebutkan akan berkomunikasi dengan Inspektur Pertambangan. Sebab sebutnya, ranah pertambangan bukan lagi kewenangan provinsi, melainkan kewenangan pusat. Ia berjanji akan berkomunikasi baik dengan Polda Kaltim maupun Inspektur Pertambangan dalam waktu dekat.
"Insyaallah dalam pekan ini, Jumat kami akan berkomunikasi, mudah-mudahan mereka mau datang," tutupnya. (*)