kaltimkece.id Hari libur baru saja tiba sewaktu tiga santriwati dari sebuah pondok pesantren di Samarinda dijemput orang tua mereka. Tiga pasang anak-orang tua itu tidak langsung pulang. Mereka mampir sejenak di sebuah rumah makan. Setelah melihat daftar menu, rombongan kecil yang masih punya hubungan famili itu memesan makanan.
Pembuka Maret 2023, seorang di antara santriwati itu mengeluh dadanya kesakitan ketika menunggu pesanan disajikan. Orang tuanya yang heran kemudian menanyakan penyebabnya. Santriwati berusia 11 tahun itu mengaku, dianiaya seorang guru perempuan pada Selasa pagi, 28 Februari 2023. Tubuhnya dipukul pakai rotan dan diinjak-injak. Kepalanya dibenturkan ke tembok sampai lebam. Wajahnya juga disiram dengan air panas.
Pengakuan itu membuat dua santriwati yang lain buka suara. Mereka mengaku dipukul menggunakan rotan dan ditampar. Para orang tua yang mendengar hal tersebut nyaris tak percaya. Selama tujuh bulan dititipkan di ponpes tersebut, putri mereka hampir tidak pernah mengeluhkan apa-apa.
Para orang tua segera datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu, Kepolisian Resor Kota Samarinda. Mereka melaporkan dugaan penganiayaan tersebut pada Selasa, 7 Maret 2023. Satu jam setelah laporan diterima, petugas Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dari Satuan Reserse Kriminal menjemput guru tersebut.
“Saat ini, kami masih menunggu visum ketiga santriwati,” jelas Kepala Polresta Samarinda, Komisaris Besar Polisi Ary Fadli, Kamis, 9 Maret 2023.
Saat menjemput guru tersebut di rumahnya, polisi membawa sejumlah barang bukti. Ada dua gantungan baju, sebuah ceret aluminium, dan rotan bambu sepanjang 80 sentimeter. Barang selanjutnya yaitu botol semprot putih yang diduga digunakan untuk menyemprot air panas ke wajah para santriwati.
Di hadapan penyidik, guru yang telah ditetapkan sebagai tersangka itu memberikan keterangan. Menurutnya, tiga santriwati itu tergolong nakal. Mereka melanggar peraturan, mencuri, dan berbuat hal negatif yang lain. Guru itu sudah menegur dan menasihati mereka.
Hukuman juga dijatuhkan yaitu membersihkan kamar mandi. Akan tetapi, guru tadi melanjutkan, murid-muridnya tetap mengulangi kesalahan. Hukuman pun menjadi pukulan di telapak tangan, punggung, dan lengan menggunakan rotan.“Tujuannya untuk memberikan efek jera,” jelas tersangka kepada penyidik.
Guru tersebut dijerat Undang-Undang 23/2022 tentang Perlindungan Anak. Ia diancam hukuman penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan atau denda Rp 72 juta.
Zaman yang Sudah Berbeda
Guru besar dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mulawarman, Prof Susilo, memberikan pandangan. Ia menjelaskan bahwa teori pembelajaran terbaru sudah harus memerhatikan humanistik atau kemanusiaan. Indonesia telah meratifikasi hak asasi manusia termasuk perlindungan anak dan seterusnya. Mendidik anak tanpa kekerasan harus dianut dan dipatuhi semua guru.
Dalam kasus ini, Prof Susilo menilai bahwa guru harus memerhatikan batas kenakalan anak. Pada umumnya, kenakalan itu merupakan cara anak mencari perhatian. Guru harus berpikir hukuman yang akan diberikan. Pertama dampak bagi anak, yang kedua jangan sampai bentuknya malah berupa kekerasan.
“Kalaupun memberi hukuman, harus dalam bentuk yang mendidik. Sebagai contoh, diberi tugas atau mungkin kegiatan lain yang mendidik anak selama proses menjalani hukuman,” saran guru besar Pendidikan Bahasa Inggris tersebut.
Ia melanjutkan bahwa saat ini ada pembelajaran diferensiasi yang menganut sistem teaching at the right level. Peserta didik dalam sistem ini tidak terikat tingkatan kelas. Ada namanya pembauran antara anak maupun anak berkebutuhan khusus. Peraturan Kemendikbud yang mengaturnya sehingga murid-murid di satu sekolah sangat bervariasi. Ada yang berkelakuan baik, ada yang nakal sekali, autisme, maupun aktif luar biasa.
Kondisi tersebut menuntut guru kreatif untuk memilih hukuman yang mendidik, bukan menyengsarakan. Lingkungan sekolah harus menjadi tempat belajar yang menyenangkan.“Jangan lupa pula, anak yang berprestasi juga diberikan penghargaan,” pesan Prof Susilo.
Ia memberi masukan agar sekolah atau lembaga pendidikan mendiskusikan hukuman. Dengan demikian, guru tidak bisa semaunya memberikan hukuman yang berpotensi kebablasan.
“Di ponpes modern, hal tersebut sudah dijalankan. Sementara di beberapa ponpes tradisional, belum diterapkan walaupun tidak semua,” sebutnya. Prof Susilo menyarankan pengelola ponpes bekerja sama dengan lembaga psikologi atau lembaga yang bisa meningkatkan kapasitas dan pengetahuan guru.
Kejadian ini juga tidak boleh digeneralisasi. Prof Susilo menilai, ponpes merupakan lembaga yang menjadi solusi tepat untuk pendidikan hari ini. Koridor moral, etik, dan keagamaan lebih tinggi dijunjung di ponpes dibandingkan lembaga pendidikan umum. Yang harus orang tua perhatikan ialah memilih ponpes yang tepat. Sebelum memondokkan anak, orang tua harus mencari tahu rekam jejak ponpes. (*)
CATATAN REDAKSI: Artikel ini mengikuti Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sebagaimana diatur Dewan Pers serta Undang-Undang 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.