kaltimkece.id Kejaksaan Agung mengungkap dugaan megakorupsi tata kelola minyak mentah. Sejumlah pejabat Pertamina dan pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memanipulasi jumlah produksi dan mengoplos bahan bakar minyak. Kerugian negara dari kasus ini ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.
Informasi teranyar, kejaksaan menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini. Para tersangka terdiri dari enam pejabat PT Pertamina Patra Niaga dan tiga orang dari kalangan swasta.
Kepada kaltimkece.id, Area Manager Communication & CSR Kalimantan, Edi Mangun, menegaskan, tidak ada bensin oplosan yang diproduksi Pertamina beredar di Kalimantan Timur.
"Stok kami aman, tidak ada masalah. Dan juga saya tegaskan bahwa tidak ada dalam proses tata niaga BBM di Pertamina ada Pertamax yg dioplos," ucapnya kepada kaltimkece.id.
Menilik dokumen Statistik Minyak dan Gas Bumi 2023 milik Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, selama periode 2018-2023, impor bensin RON 92 adalah 44.303.457 kiloliter (kl). Perinciannya, 2018 sebanyak 9.295.209 kl, 2019 7.953.837 kl, 2020 6.156.770 kl, 2021 9.840.385 kl, 2022 6.391.276 kl, dan 2023 4.665.980 kl.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Kaltim, M Irfan Fajrianu, memberikan pandangan. Menurutnya, kasus ini tak boleh dianggap enteng. Apabila benar terjadi pengoplosan BBM, kerugiannya tak bisa hanya dilihat dari kerugian negara. Semua pengguna Pertamax disebut juga menjadi korban.
Pertamax yang dioplos, kata Irfan, dapat menyebabkan mesin kendaraan cepat rusak, konsumsi BBM jadi makin boros, dan tingginya emisi buang. Ia pun menyerukan masyarakat yang merasa dirugikan untuk melaporkan kasus ini kepada penegak hukum. Lembaga Perlindungan Konsumen Kaltim dipastikan siap memberikan dampingan.
"Kami selaku perlindungan konsumen dapat mengakomodir kerugian masyarakat yang terdampak untuk membawa masalah ini ke ranah hukum," ujar Irfan.
Perjalanan Kasus
Kesembilan tersangka dalam dugaan megakorupsi ini yakni Riva Siahaan (RS), direktur utama Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin (SDS), direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; Yoki Firnandi (YK), direktur utama PT Pertamina Internasional Shipping.
Selanjutnya, Agus Purwono (AP), VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), beneficialy owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW), komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; Gading Ramadhan Joedo (GRJ), komisaris PT Jengga Maritim dan direktur PT Orbit Terminal Merak; Maya Kusmaya (MK), direktur pemasaran pusat dan niaga PT Pertamina Patra Niaga; serta Edward Corne EC, VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga. MK dan EC adalah tersangka terbaru dalam skandal ini.
Senin malam, 24 Februari 2025, di Jakarta, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, membeberkan runtun perkara. Kasus diperkirakan terjadi pada rentang 2018-2023 atau ketika ada ketentuan pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Dalam kesempatan itulah, tersangka RS, SDS, dan AP ditengarai berbuat lancung dengan pengondisian dalam sebuah rapat optimalisasi hilir. Rapat itu dijadikan dasar menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya. Pengondisian tersebut menyebabkan pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang harus diimpor.
Qohar menjelaskan, saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Dengan begitu, bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.
"Harga pembelian impor tersebut, apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri, terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan," kata Qohar dikutip dari Tempo.
Ia melanjutkan, dalam pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara yakni subholding Pertamina dengan broker.
"Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum," ucapnya.
Selain itu, RS disebut melakukan pengadaan produk kilang dengan membeli bensin berkualitas RON 92 (Pertamax). Padahal, dalam kenyataannya, yang dibeli adalah bensin RON 90 (Pertalite) dengan kualitas dan harga lebih rendah dari RON 92. Bensin RON 90 itu kemudian di-blending di depo untuk menjadi RON 92 dan dijual seharga Pertamax. Belakangan, kejaksaan menemukan bahwa bensin RON 88 (Premium) juga dioplos tersangka menjadi RON 92
Adapun peran tersangka YH yakni melakukan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina International Shipping sengaja di-mark up sebesar 13 hingga 15 persen. Hal itu menguntungkan pihak broker yakni MKAR.
"Nah, dampak impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah, harganya menjadi melangit," sebut Qohar.
Sementara itu, tersangka DW dan GRJ berperan menjalin komunikasi dengan tersangka AP. Komunikasi ketiganya itu, agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah, serta dari tersangka RS untuk produk kilang.
Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi. HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN. Kebijakan impor ilegal ini juga berkontribusi terhadap meningkatnya biaya kompensasi dan subsidi BBM yang ditanggung APBN pada 2023 dengan nilai kerugian negara mencapai Rp147 triliun. Angka tersebut masih bertambah karena baru dihitung dalam setahun.
Dalam sebuah rapat di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025, pelaksana tugas harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, memberikan klarifikasi. Ia menyatakan tidak ada praktik pengoplosan Pertamax dengan Pertalite dalam proses pengadaan dan distribusi BBM. Seluruh produk yang diterima di terminal Pertamina dipastikan telah melalui serangkaian uji laboratorium sebelum didistribusikan ke pasar. Pengujian dilakukan untuk menjaga kualitas BBM tetap sesuai standar.
"Kami berkomitmen dan kami berusaha memastikan bahwa yang dijual di SPBU untuk RON 92 adalah sesuai dengan RON 92, yang RON 90 sesuai dengan RON 90," kata Ega.
Walau demikian, ia mengakui adanya proses tambahan aditif dan perwarna ke bensin RON 92. Hanya saja, pencampuran ini dipastikan legal alias bukan pengoplosan bensin. Menurut Ega, praktik ini ada hal lumrah dalam industri perminyakan dengan tujuan meningkatkan kualitas produk.
"Proses ini adalah proses injeksi blending. Proses blending ini adalah proses yang umum dalam produksi minyak yang merupakan bahan cair. Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai daripada produk tersebut," ujarnya.
Beberapa jam setelah rapat itu kelar, Kejaksaan Agung, memberikan tanggapan atas pernyataan Pertamina Patra Niaga yang mengklaim tak ada pengoplosan atau blending Pertamax dengan Pertalite. Penyidik dari kejaksaan dipastikan menemukan terjadi pengoplosan bensin RON 88 dan RON 92 menjadi RON 92.
Qohar menegaskan pihaknya bekerja dengan alat bukti. Dugaan pengoplosan itu ditemukan berdasarkan keterangan saksi yang diperiksa penyidik.
"Hasil penyidikan, tadi saya sampaikan itu. RON 90 atau di bawahnya itu tadi fakta yang ada, dari keterangan saksi RON 88 di-blending dengan 92. Dan dipasarkan seharga 92," katanya. (*)