kaltimkece.id Tengah hari baru saja lewat pada hari pertama 2024 ketika seorang anak berusia 15 tahun, panggil saja namanya Bintang, pergi ke rumah temannya di Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang. Pelajar SMP kelas sembilan di Kota Taman itu berencana mengisi hari libur tanggal merah di rumah adik kelasnya, sebut saja Gilang, yang berusia 13 tahun. Mereka akan mabar; main bareng gim Mobile Legends.
Senin, 1 Januari 2023, sekira pukul 16.40 Wita, Bintang, Gilang, dan dua teman yang lain sibuk menggeser layar telepon pintar di teras lantai dua rumah Gilang. Dalam permainan tersebut, terdapat sesi draft pick pertama. Gilang kemudian mengambil senapan angin di rumahnya. Ia mengarahkan moncong senjata tersebut ke kening Bintang. Keduanya bertatapan.
"Siapa ini mau ditembak?" tanya Gilang seperti diceritakan dua saksi yang melihat peristiwa tersebut dikutip dari mediakaltim.com (jejaring kaltimkece.id). Kedua saksi yang melihat peristiwa itu mengira pertanyaan Bintang tersebut hanya gurauan. Tragisnya senjata tersebut meletus.
"Akhh, sakit. Tolong..." jerit Bintang yang tersungkur di lantai.
Gilang dan para saksi bergegas keluar rumah mencari pertolongan. Gilang disebut sempat beralasan menembak tikus namun binatang itu tak pernah ditemukan. Sementara Bintang yang terluka dibawa warga ke sebuah rumah sakit di Bontang. Ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit di Kecamatan Sangatta Utara, Kutai Timur.
Beberapa hari berselang, Bintang menjalani operasi pengambilan peluru di kepalanya. Kakak perempuannya mengatakan, operasi tersebut berlangsung sembilan jam. Operasi berjalan lama karena tim medis agak kesulitan mengambil peluru kecil di kepala. Peluru itu juga berada di dekat otak.
Operasi memang berjalan lancar namun Bintang belum siuman. Setelah dirawat selama delapan hari, Senin, 8 Januari 2024, pukul 13.59 Wita, Bintang mengembuskan napas terakhirnya. Jenazahnya dikebumikan di Bontang.
Peristiwa tersebut memukul keluarga korban. Kakak perempuan Bintang mendesak penegak hukum mengusut tuntas kasus ini. Ia menuding bahwa orang tua Gilang telah lalai sehingga senapan angin bisa didapatkan dengan mudah oleh anaknya. Ia juga menyayangkan adanya kronologi berbeda dalam kasus ini.
"Saksi dari teman-teman adik saya ada di lokasi kejadian tapi sangat berbeda dengan keterangan pelaku," imbuhnya.
Sehari berselang, Selasa, 9 Januari 2024, polisi menetapkan Gilang sebagai tersangka. Ia ditempatkan di sebuah ruangan khusus di Bontang. Gilang disangka melanggar pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Anak. Ancamannya bisa maksimal 15 tahun penjara.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal, Kepolisian Resor Bontang, Inspektur Polisi Satu Hari Supranoto, mengatakan, penetapan Gilang sebagai tersangka telah memenuhi alat bukti yang cukup. Adapun penempatan Gilang di ruang khusus karena ia berstatus anak berhadapan hukum atau ABH.
"Jadi, kami perlakuan khusus kepada anak yang bersentuhan dengan hukum," kata Hari. Ia membeberkan, selama diproses hukum, Gilang akan mendapatkan pendampingan psikologis. Ini untuk memenuhi hak ABH. Gilang disebut mengalami trauma setelah peristiwa penembakan tersebut.
Hari turut membeberkan kronologi kejadian yang disebut berbeda. Saat bermain Mobile Legends di lantai dua, berdasarkan keterangan Gilang, ia melihat seekor tikus. Ia kemudian mengambil senapan angin milik ayahnya dan menembak tikus tersebut. Tembakannya meleset. Gilang mengira, senapan tersebut sudah tak berpeluru. Oleh sebab itu, ia bermain-main dengan senjata tersebut dan menembak kepala korban.
"Untuk kepemilikan senapan angin masih kami dalami," ucap Hari.
Kepala Polres Bontang, Ajun Komisaris Besar Polisi Alex Frestian Lumban Tobing, memastikan, kasus ini ditangani sesuai ketentuan. Walau Gilang di bawah umur, kata dia, kasusnya tetap ditindaklanjuti sesuai peraturan.
Kepolisian menjelaskan bahwa penetapan status tersangka ini bukan berarti penahanan. Lebih kepada pemantauan intensif di lokasi yang berbeda dari orang dewasa.
Penanganan Khusus ABH
Agus Amri adalah praktisi hukum yang menyayangkan penanganan kasus ini. Kepolisian, kata dia, seharusnya tidak menetapkan ABH sebagai tersangka. Ia merujuk pasal 1 ayat 2 UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam pasal tersebut, tidak ada istilah anak jadi tersangka melainkan anak yang berkonflik dengan hukum.
"Undang-Undang tersebut juga menjelaskan, yang disebut anak adalah orang yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana," sebut pengamat hukum dari Balikpapan ini.
Ia turut mewanti-wanti penegak hukum yang menangani kasus ini menaati peraturan peradilan anak. Proses penanganan kasus anak, dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga peradilan, harus lebih singkat daripada penanganan orang dewasa. Dalam prosesnya, ABH wajib didampingi orang tua atau wali dan pihak berwenang lainnya.
"Saat di pengadilan anak, hakim tidak diperbolehkan memakai atribut kedinasan dan pelaksanaan sidangnya dilakukan secara tertutup," urainya.
Hal tersebut diamini Asmaul Fifindari, pengacara yang aktif mendampingi korban anak dan perempuan di Samarinda. Fifi, panggilan pendeknya, menambahkan bahwa dalam penanganan kasus anak, penegak hukum dan media tidak boleh membeberkan identitas anak. Hal ini disebut sudah diatur dalam peraturan anak.
"Selain itu, hukuman bagi anak juga harus dikurang sepertiga dari hukuman bagi orang dewasa," jelas perempuan peraih anugerah advokat anak terbaik 2022 dari Wali Kota Samarinda itu.
Fifi menjelaskan, peluang bagi ABH untuk lepas dari jerat pidana masih ada. Dalam hukum, kata dia, ada istilah restorative justice atau keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi diantara korban dan terdakwa. Hanya saja, restorative justice umumnya digunakan oleh anak yang melanggar pidana ringan seperti pencurian.
Walau demikian, peluang bagi anak yang melakukan pelanggaran berat mendapatkan keadilan restoratif bukannya tidak ada. Fifi mengambil contoh kasus kecelakaan yang dilakukan Abdul Qodir Jaelani alias Dul Jaelani, putra musikus Ahmad Dhani, pada 2013. Dalam kecelakaan tersebut, tujuh orang tewas. Saat itu, Dul Jaelani berusia 13 tahun.
"Dalam kasus tersebut, Dul Jaelani tidak dipidana. Orang tuanya bersedia menanggung kerugian yang diderita semua keluarga korban. Artinya, restorative justice masih bisa dilakukan dalam kasus ini walau peluangnya kecil," jelas Fifi.
Oleh sebab itu, ia meminta keluarga Gilang tetap mengupayakan keadilan restorative dalam penanganan kasus ini. "Bagaimanapun, masa depan anak masih ada. Kita tidak pernah tahu ABH itu akan jadi apa pada masa depannya," kuncinya. (*)
CATATAN REDAKSI: Artikel ini mengikuti Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sebagaimana diatur Dewan Pers serta Undang-Undang 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.