kaltimkece.id Berbaju merah jambu, puluhan orang dari dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) kabupaten/kota di Kaltim memenuhi ruang Odah Etam, Kompleks Kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajah Mada, Samarinda. Selasa, 3 Desember 2024, mereka menghadiri deklarasi bertajuk "Stop Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak". Acara ini dilatarbelakangi oleh tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Benua Etam.
Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (KP3A) Kaltim mencatat, sepanjang 2021, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebanyak 551 kasus. Pada 2022, meningkat menjadi 945 kasus. Setahun kemudian atau pada 2023, jumlahnya menembus angka 1108 kasus. Namun demikian, jumlah ini berhasil ditekan menjadi 810 kasus pada akhir Oktober 2024.
Masih dalam data dinas KP3A. Pada akhir Oktober, Samarinda sebagai kota dengan tindak kekerasan tertinggi, yakni sebanyak 198 kasus. Balikpapan diurutan berikutnya dengan 140 kasus, Kutai Kartanegara 119 kasus, Bontang 116 kasus, dan Kutai Timur 77 kasus. Selanjutnya Kutai Barat 54 kasus, Berau 40 kasus, Penajam Paser Utara 36 kasus, Paser 26 kasus, serta Mahakam Ulu 4 kasus.
Dalam data tersebut, korban kekerasan berdasarkan kelompok umur, Balikpapan sebagai kota dengan korban anak perempuan terbanyak. Sepanjang Januari hingga Oktober 2024, sebanyak 105 anak perempuan di Kota Beriman mengalami tindak kekerasan. Disusul Samarinda sebanyak 102 anak perempuan, Kutai Kartanegara 72 anak, Kutai Timur 54 anak, Bontang 47 anak, Berau 33 anak, Penajam Paser Utara 29 anak, Kutai Barat 27 anak, dan Paser 15 anak. Untuk Mahakam Ulu, tidak ada kasus ini yang dilaporkan.
Wilayah dengan korban anak laki-laki tertinggi adalah Samarinda, sebanyak 37 anak. Berikutnya Balikpapan 29 anak, Kutai Kartanegara 17 anak, Bontang 14 anak, Kutai Timur 6 anak, Kutai Barat 4 anak, Paser 3 anak, Penajam Paser Utara dan Berau 4 anak, serta Mahakam Ulu 1 anak.
Masih data pada akhir Oktober 2024, korban kekerasan paling banyak terjadi pada usia 13 hingga 17 tahun sebanyak 286 orang. Lalu disusul usia enam hingga 12 tahun sebanyak 220 orang. Usia 25 hingga 44 tahun sebanyak 170 orang.
Sementara itu, korban pada usia 0 hingga lima tahun dan 18 hingga 24 tahun memiliki jumlah yang sama, yakni 93 orang. Jumlah korban terendah terjadi pada usia 45 hingga 60 tahun, yakni 29 orang.
Jenis kekerasan yang dialami oleh korban juga berbeda-beda. Berdasarkan bentuknya, kekerasan seksual kerap terjadi pada anak. Sepanjang Januari hingga Oktober 2024, kekerasan ini dialami oleh 379 anak di Kaltim. Sementara pada kelompok dewasa, kekerasan seksual terjadi pada 42 orang.
Pada kekerasan fisik, sebanyak 113 anak mengalami tindakan ini. Pada kelompok dewasa, kekerasan fisik terjadi pada 185 orang. Selain itu, sebanyak 208 orang di Kaltim mengalami kekerasan psikis, 15 orang mengalami eksploitasi, dan 34 orang mengalami penelantaran.
Kepala Dinas KP3A Kaltim, Noryani Sorayalita, mengakui jika instansinya belum optimal menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Deklarasi ini, kata Noryani, sebagai komitmen dinas KP3A untuk menurunkan angka tersebut.
"Dalam upaya menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, diperlukan kerjasama antar-stakeholder di seluruh kabupaten/kota di Kaltim," ucapnya.
Noryani melanjutkan, selama ini instansinya terus berupaya melakukan pencegahan tindakan tersebut. Beberapa yang telah dikerjakan adalah menggelar seminar Sex for Kids untuk SMP dan SMA, mengoordinasikan dan melakukan penguatan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), serta menyosialisasikan agar tidak terjadi perkawinan usia dini.
Sedangkan, untuk penanganan, sambung Noryani, beberapa upaya yang telah dilakukan adalah memberikan pendampingan psikologi dan hukum, serta memberikan layanan kesehatan bagi korban yang membutuhkan.
Sementara itu, Penjabat Gubernur Kaltim, Akmal Malik, meminta dinas KP3A untuk memetakan pokok permasalahan penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Masalah tersebut diantaranya tingkat pendidikan, masalah ekonomi, atau kurangnya ruang publik di setiap kabupaten/kota di Kaltim.
"Jadi, tidak sekadar membuat program tanpa tahu sumber masalahnya," tegasnya. (*)