kaltimkece.id Teriknya matahari di Kota Minyak mulai tak terasa tatkala aku memasuki kawasan Hutan Lindung Sungai Wain di utara Balikpapan. Daun pohon resak yang rimbun menghalangi cahaya sang surya. Ada juga pohon banitan merah, vegetasi endemik Pulau Kalimantan. Belum lagi pohon-pohon lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Semuanya kompak melindungiku dari panasnya sang surya.
Namaku Kusumajaya. Pendek, tak ada kepanjangannya. Apalagi bergelar. Aku hanya tamatan SMP. Aku putus sekolah karena persoalan biaya. Orang-orang memanggilku Suma. Ada juga yang menyapa Sukma seperti orangtuaku memanggil ketika aku kecil dan biasa bermain di daerah Klandasan. Sekarang, aku adalah seorang ranger atau penjaga hutan di Hutan Lindung Sungai Wain. Lokasinya di Balikpapan Utara.
Hari ini, Sabtu, 4 Februari 2023, aku hendak berpatroli. Tugas utama patroli ini adalah mengamati jejak pemburu. Aku harus memastikan ada tidaknya tenda-tenda yang dibangun pemburu. Lokasi yang kudatangi adalah tempat pelepasliaran orangutan. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari Pos Utama Ulin di gerbang masuk Hutan Lindung Sungai Wain.
Jembatan kayu ulin sepanjang 230 meter membantuku melewati rawa. Air di bawah jembatan berwarna merah tua. Beberapa bagian mulai termakan usia. Maklum saja, jembatan ini dulu didirikan pada 1999. Sudah 23 tahun struktur tersebut membantu mobilisasi logistik dan keperluan penelitian. Ketika hujan besar, jembatan biasanya terendam. Tinggi airnya pernah sampai sedada orang dewasa.
Aku memastikan keamanan di sekitar. Waktu menunjukkan pukul 14.30 Wita. Tak terasa, aku telah menyusuri hutan selama setengah jam. Kayu kempas selebar drum menghentikan langkahku. Usia pohon dengan nama latin Koompassia Malaccensis itu diperkirakan 70 tahun. Saking besarnya pohon tersebut, badanku terlihat kecil. Aku pun memutuskan beristirahat, melepaskan tas carrier dari pundak, lalu duduk lesehan.
Aku tidak sendiri berpatroli. Ada Pak Babam. Beliau yang paling tua. Ia paling sensitif jika terkena pohon rengas. Getah pohonnya, jika basah atau luka, bisa membuat kulit bengkak. Ada tiga jenis warna getahnya, putih, hitam, dan merah. Yang merah yang paling berbahaya. Pak Babam pasti menghindarinya jika melihat pohon dengan nama latin Gluta renghas itu.
Tiga temanku yang lain adalah Agusdin, Raswin, dan Haidir. Mereka memiliki karakter yang khas. Raswin misalnya, terkenal mengetahui lokasi burung. Tamu maupun peneliti lokal dan mancanegara pernah Raswin anta mencari lokasi burung. Sementara Agusdin, dia gemar memotret. Dari burung hingga orangutan pernah terekam di kameranya. Dia juga manajer Yayasan Pro Natura yang turut memantau dan berpatroli di dalam hutan.
Aku dan ketiga temanku beristirahat tidak lama. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menyusuri hutan selama 20 menit, aku akhirnya sampai di lokasi yang biasa digunakan sebagai pelepasliaran orangutan. Jaraknya sekitar 700 meter dari Camp Sinaga atau pos satu. Aku lantas menaruh barang di lokasi yang biasa dijadikan area bermalam. Aku memeriksa area sekitar untuk memastikan aman dari ancaman satwa.
Dua batang pohon besar bersebelahan. Aku memasang tenda di bawahnya. Hammock aku ikat di batang pohon. Setelah semua beres, aku menyiapkan makanan. Aku memasak harus sedikit lebih jauh dari tempat memasang tenda. Tujuannya mencegah serangan hewan yang hendak memakan pasokan makanan. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hewan seperti semut akan menyerang. Aku bisa tidak tidur dengan tenang nanti.
Sekitar 15 meter dari tenda, aku melihat sungai kecil mengalir jernih. Ikannya nampak jelas. Aku memasak di dekat situ. Selain mencegah hewan masuk ke tenda, lokasi ini memudahkanku mengambil air. Bisa menghemat tenaga.
Api kecil sudah menyala. Aku lebih dulu memasak air lalu menyeduh kopi dan teh. Nasi kumasak belakangan. Sembari menanak nasi, sungai kecil di belakangku mengingatkan sesuatu. Sebuah peristiwa yang tak akan terlupakan.
Peluru dan Ancaman Nyawa
Peristiwa menyeramkan itu terjadi tujuh tahun lalu atau pada 2016. Waktu itu, berpatroli di sungai kecil seperti ini yang masih di wilayah Hutan Lindung Sungai Wain. Tim dalam patroli itu empat orang termasuk aku. Waktu sudah pukul setengah enam sore ketika kami berbagi tugas. Dua orang memasak, dua orang yang lain mandi. Aku lebih dulu memasak. Setelah itu, aku dan seorang temanku pergi ke sungai untuk mandi.
Aku sedang membasuh sabun di badan. Tiba-tiba, suara mendesing terdengar di samping kepalaku. Aku dan temanku segera pulang. Kecurigaanku, peluru itu milik para pemburu. Aku dan teman-teman langsung berkemas dan pergi ke Pos Utama Ulin. Kami melaporkan kejadian tersebut. Aku tak sempat melihat orangnya. Yang jelas, lokasinya masih di pinggir Hutan Lindung Sungai Wain. Persisnya di dekat area yang masuk hutan kemasyarakatan. Aku menyebutnya daerah dua puluh empat. Aku tidak menemukan pelakunya sampai sekarang.
Ada lagi kejadian lain yang kualami selama menjaga hutan ini. Pada 2015, hutan ini dilanda kebakaran. Api muncul di sebelah barat hutan lindung di Kilometer 15. Aku memadamkan api sendirian menggunakan ranting dan pohon. Aku juga membuat sekat agar api tidak menyeberang ke hutan.
Sebuah pohon dengan diameter sebesar drum tiba-tiba tumbang. Jaraknya hanya 2 meter dari hadapanku. Itu pohon bengkirai. Aku keringat dingin panik.
Harus kuakui, menjaga Hutan Lindung Sungai Wain tidak mudah. Nyawa adalah taruhannya. Lagi pula, hutan seluas 11 ribu hektare ini hanya dijaga 10 penjaga hutan atau ranger dari Yayasan Pro Natura. Para penjaga terdiri dari tiga regu dengan tiap regu beranggotakan tiga orang dan seorang cadangan.
Aku dan ranger di sini terikat Kontrak Kerja Waktu Tertentu dengan Yayasan Pro Natura. Sementara dasar Pro Natura mengabdi di sini adalah Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Dinas Kehutanan Kaltim. Melalui PKS tersebut, Yayasan Pro Natura menjadi mitra Dinas Kehutanan dalam Pengelolaan HLSW dan pelaksanaan tingkat tapak bersama Kesatuan Pengelola Hutan LIndung (KPHL) Balikpapan.
Aku menerima gaji Rp 3.200.000 setiap bulan. Pendapatan itu aku cukup-cukupkan untuk membesarkan tiga anak di rumah. Ketika pertama kali menjadi penjaga hutan, anak sulungku berusia enam tahun. Sekarang usianya sudah 28 tahun. Aku sudah bekerja 25 tahun di sini. Aku bingung mengapa bisa betah bekerja menjaga hutan. Padahal, aku orang yang tidak betahan. Aku sempat berhenti dua tahun tapi kembali lagi. Aku merasa nyaman di dalam hutan.
Aku juga sadar bahwa risiko menjadi ranger sangat tinggi. Contohnya, aku sering bertemu pencuri kayu. Beberapa kali aku yang sedang sendirian mendapati mereka. Dalam keadaan seperti itu, aku harus dalam kondisi tenang. Mereka aku sapa seperti biasa. Itu adalah langkah pencegahan agar mereka jangan sampai membunuhku. Aku tak menggunakan senjata. Sementara mereka, terkadang membawanya. Aku bisa mati di tempat jika tak hati-hati. Setelah berhasil menjauh dari para pencuri, aku melapor kepada tim. Aku bersama dengan tim kemudian mengejar para pencuri kayu tersebut.
Ada tiga jenis kayu yang sering diincar pencuri. Kayu ulin, meranti, dan bengkirai. Khusus bengkirai, biasanya sering dicuri menjelang Ramadan. Aku selalu berhati-hati ketika berhadapan dengan mereka. Para pencuri kayu itu terkenal nekat.
Begitulah kisahku menjaga hutan di Balikpapan. Hutan lindung ini sangat penting kota ini. Apa jadinya Balikpapan tanpa Hutan Lindung Sungai Wain? Mungkin bisa banjir. Sudah banyak contohnya ketika hutan dibabat kemudian muncul banjir.
Lebih dari itu, Hutan Lindung Sungai Wain kaya akan keanekaragaman hayati. Ada macan, kucing merah, beruang madu, serta orangutan. Belum lagi jenis-jenis burung di sini. Banyak sekali.
Pada 2015, Yayasan Pro Natura mencatat ada sembilan ordo mamalia dengan 88 spesies di hutan ini. Ada pula 234 spesies burung, 23 spesies reptile, dan 73 spesies serangga. Untuk fauna, ada 80 famili pohon yang terdiri dari 1.007 spesies. Lalu 33 spesies anggrek, empat spesies kantong semar, dan 12 spesies jahe-jahean.
Aku dan teman-temanku yang bertugas menjaga itu semua. Aku akan terus bertahan karena jiwaku seperti menyatu dengan hutan ini. Aku, Kusumajaya alias Sukma, ingin menjaga itu semua, entah sampai kapan. (*)
(Kisah ini disusun berdasarkan penuturan Kusumajaya kepada reporter kaltimkece.id, Sabtu, 4 Februari 2023)