kaltimkece.id Perempuan 25 tahun itu sedang duduk di emperan rumah ketika Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim datang. Ia segera menjawab salam dan mempersilakan rombongan untuk masuk ke rumah pada Senin, 5 Februari 2024. Rombongan yang dipimpin ketua TRC PPA Kaltim, Rina Zainun, itu terdiri dari tujuh orang termasuk reporter kaltimkece.id.
Perempuan ini adalah seorang istri dan ibu dari empat anak. Ia tinggal di sebuah rumah bangsal dua pintu di permukiman padat penduduk di Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda. Bangunan rumahnya sudah uzur. Pintunya terbuat dari papan yang sudah keropos sehingga ditambal dengan tripleks.
Ruangan utama yang mereka tempati berukuran 3 meter x 5 meter. Lantainya dari kayu dan tidak dilapisi karpet. Hanya selembar ambal tipis merah marun yang dihampar dan tidak bisa menutupi seluruh permukaan lantai. Sebuah bola lampu putih sendirian menerangi kamar tersebut. Sementara itu, atapnya dari seng dan telah berkarat sehingga harus ditutupi terpal sebagian.
Ibu empat anak yang tinggal di rumah tersebut sempat menjadi buah bibir karena diduga melakukan kekerasan terhadap anak laki-lakinya yang berusia satu tahun lima bulan. Ia diduga menyeret dan membanting putra bungsunya itu.
Peristiwa itu terjadi pada Sabtu malam, 3 Februari 2024. Sebermula ketika ia bersama suami dan anaknya pergi ke pasar malam. Mereka hendak membeli kipas angin. Pada saat itu, sang istri mengaku lelah karena menunggu suaminya terlalu lama.
"Aku kayak orang gila di sana (pasar malam) nungguin dia. Sudah lama nunggu, akhirnya dia datang. Alasannya macet. Selain itu, dia juga ada SMS (perempuan lain). Aku sudah bilang, jangan lagi begitu karena anak kami, 'kan, banyak. Aku kesal," ucapnya kepada rombongan TRC PPA Kaltim.
Perempuan tersebut akhirnya pulang dengan berjalan kaki sedangkan suaminya menggunakan sepeda motor. Sesampai di rumah, ia menyeret anak bungsunya. Perempuan tersebut tidak mengaku membanting tubuh anaknya tetapi hanya menyeret. Melihat perlakuan itu, sang suami lalu melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
"Mata (kanan) ditinjunya. Berdarah," jelasnya sambil menunjuk matanya yang memar menghitam. Peristiwa itu rupanya disaksikan seorang tetangga.
"Anak itu dibanting. Saya lihat," ucap tetangga tersebut kepada rombongan.
Tetangga yang lain mulai berdatangan setelah ribut-ribut tadi. Mereka melaporkan kejadian tersebut kepada ketua RT dan diteruskan ke Bhabinkamtibmas. Pasutri itu kemudian didamaikan. Setelah itu, Bhabinkamtibmas berkoordinasi dengan TRC PPA Kaltim dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan atau TKSK.
Sebagai informasi, suami dari perempuan tersebut adalah seorang buruh bangunan. Ia menerima upah Rp 120 ribu per hari jika ada pekerjaan. Sementara sang istri, menjual jajanan tradisional milik orang lain dan diupah sesuai jajanan yang terjual. Ia memiliki anak perempuan berusia 10 tahun yang sempat berjualan jajanan pasar tetapi sudah dilarang sekarang.
Pendapatan pasangan tersebut kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka membayar sewa rumah bangsalan Rp 500 ribu sebulan. Ditambah pula, tagihan air dan listrik sekitar Rp 200 ribu per bulan.
Anak yang Sangat Ingin Bersekolah
Ibu empat anak ini mengaku menikah secara siri. Ia, suami, dan anak-anaknya tidak memiliki kartu keluarga. Hal itu disebut sebagai penyebab anak sulungnya tidak bisa bersekolah selain karena faktor ekonomi. Ia bercerita bahwa anaknya selalu menangis dan murung bila bercerita tentang sekolah.
Dari keempat anaknya, ibu tersebut mengaku menyerahkan anak keduanya kepada orang lain. Ia mengatakan, anak tersebut diberikan begitu saja tanpa melihat dan mengetahui namanya.
"Orang itu yang membiayai saya selama hamil sampai melahirkan. Kami tidak punya uang," jelasnya seraya menundukkan kepala.
TRC PPA Kaltim bersama TKSK, ketua RT, dan Bhabinkamtibmas setempat saat ini terus berkoordinasi. Mereka berupaya membantu keluarga tersebut agar anak mereka bisa bersekolah gratis. Bantuan sembako juga diberikan.
Psikolog klinis, Ayunda Ramadhani, mengatakan bahwa kasus serupa terus berulang di masyarakat. Hal ini harus menjadi evaluasi bersama. Kita perlu lebih memerhatikan kehidupan sekitar. Terlebih lagi, tetangga yang memiliki kekurangan secara ekonomi.
Dari rentetan cerita yaitu dimulai dari rasa kesal kepada suami, anak dijadikan pelampiasan, hingga KDRT oleh suami, Ayunda menilai bahwa kondisi tersebut sudah tidak baik bagi kesehatan mental. Faktor ekonomi disebut sangat jelas menjadi faktor terbesar dari masalah ini. Kesulitan ekonomi yang dihadapi akan menumpuk setiap harinya.
Ada pula faktor internal yaitu kurangnya kendali diri dan emosi ketika marah dan kesal. Kendali yang belum matang itu bisa mencari pelampiasan. Tumpukan masalah diduga menyebabkan sang ibu merasa sang suami kurang berkontribusi dalam mengasuh anak. Akhirnya, anak lagi-lagi yang menjadi korban.
"Karena tidak bisa melampiaskan kekesalan kepada suami, anak yang menjadi pelampiasan. Ini suatu hal yang sangat mungkin terjadi," jelasnya.
Anak memiliki risiko tinggi atau rentan menjadi korban kekerasan ketika keadaan rumah tangga terimpit faktor ekonomi, faktor kesehatan, dan faktor lainnya. Upaya yang harus dilakukan adalah pendampingan. Orang tua, dalam hal ini ibu, harus mendapat pendampingan ketika dalam situasi sulit.
"Yang perlu disikapi di sini, ibu itu melakukan hal itu (kekerasan) bukan murni kesalahannya," tegasnya. (*)