kaltimkece.id Narsistik atau narsis, dalam konteks lugas keseharian, sering dianggap perilaku yang hanya memamerkan diri. Bisa berupa keseringan berswa foto atau mengunggah konten tentang dirinya ke media sosial. Padahal narsistik tidak sesederhana itu. Terlebih, jika menyangkut kondisi psikologis seseorang.
Lisda Sofia, psikolog dari Biro Psikologi Perfecta Psyche Samarinda, mengatakan bahwa Narcissistic Personality Disorder (NPD) atau gangguan kepribadian narsistik adalah salah satu jenis gangguan mental yang ditandai dengan perasaan superior, kebutuhan akan pengakuan, dan kurangnya empati terhadap orang lain. Gangguan narsistik ini, kata dia, mempengaruhi kehidupan banyak orang, terutama keluarga dan pasangan yang hidup berdampingan dengan individu narsistik.
Lebih jauh, Lisda menjelaskan bahwa orang dengan gangguan mental narsistik sering kali memiliki persepsi berlebihan tentang dirinya. Mereka merasa lebih unggul dibandingkan orang-orang di sekitarnya dan sangat mendambakan pengakuan dari lingkungan. Kepercayaan diri yang terlampau tinggi ini sering kali membuat mereka kurang mampu merasakan empati terhadap perasaan orang lain.
"Seseorang yang mengidap narsistik biasanya merasa dirinya hebat dan tidak dapat melihat kekurangan diri sendiri," ucap Lisda kepada kaltimkece.id, Selasa, 15 Oktober 2024.
Salah satu aspek penting yang dijelaskan oleh Lisda adalah bahwa penderita narsistik sering kali tidak menyadari bahwa mereka memiliki gangguan mental. Kondisi ini menyebabkan sangat jarang bagi penderita narsistik untuk mencari bantuan profesional, seperti menemui psikolog atau psikiater. Sebaliknya, justru para korban yang lebih sering berkonsultasi, yakni keluarga, pasangan, atau orang-orang terdekat dari penderita narsistik.
Pengajar di Program Studi Psikologi Universitas Mulawarman itu mengatakan, salah satu tanda yang sering terlihat dari individu narsistik adalah "love bombing", yaitu perilaku yang berubah-ubah dari sangat perhatian dan menyenangkan, menjadi egois dan kasar. Awalnya mereka bisa sangat baik, bahkan terlalu baik, tetapi tiba-tiba bisa berubah menjadi sangat egois dan manipulatif. Selain itu, penderita narsistik juga menunjukkan sikap kekanak-kanakan dan memiliki emosi yang tidak stabil yang memperburuk situasi bagi orang-orang di sekitar mereka.
Kemampuan individu dengan gangguan mental narsistik dalam menghadapi kritik juga menjadi sorotan. Lisda menekankan bahwa penderita narsistik sering kali tidak bisa menerima kritik atau masukan. Mereka cenderung sangat sensitif terhadap kritik, tetapi pada saat yang sama mereka mengharapkan pendapat dan keinginannya selalu diterima tanpa pertanyaan. Hal ini membuat interaksi sosial dengan mereka penderita narsistik menjadi sangat rumit, terutama ketika orang lain mencoba menyampaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Dalam konteks penyembuhan, Lisda menekankan bahwa narsistik adalah gangguan yang sangat sulit untuk diobati. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakmampuan penderita untuk menyadari bahwa mereka memiliki masalah. Sangat jarang penderita narsistik yang datang untuk mencari pengobatan karena mereka merasa tidak ada yang salah dengan diri mereka.
"Sebaliknya, yang lebih sering terjadi adalah para korban yang merasa tertekan dan memerlukan bantuan untuk mengatasi dampak psikologis dari hubungan dengan individu narsistik," kata pengajar psikologi forensik dan psikologi klinis di Unmul itu.
Penyebab dari narsistik, menurut Lisda, dapat bervariasi tetapi faktor genetik dan lingkungan memainkan peran penting. Beberapa orang mungkin memiliki kecenderungan genetik untuk mengembangkan narsistik, tetapi lingkungan juga berperan besar, terutama jika seseorang mengalami trauma emosional sejak kecil.
Seorang anak yang dibesarkan oleh orang tua yang memiliki emosi ekstrem, baik dalam bentuk kemarahan yang tidak proporsional maupun pujian yang berlebihan, bisa mengembangkan pola perilaku narsistik. Lisda mencontohkan, jika seorang anak sering dimarahi oleh orang tuanya atas kesalahan kecil, tetapi kemudian dipuji secara berlebihan di depan umum, hal ini bisa memicu perkembangan narsistik.
"Anak tersebut tumbuh dengan persepsi bahwa dirinya harus selalu dipuja di depan orang lain, tetapi di sisi lain, tidak bisa menerima kesalahan atau kritik. Pola tersebut terus berlanjut hingga dewasa dan menyebabkan ketidakmampuan untuk memahami atau merasakan perasaan orang lain,â papar alumni Universitas Padjajaran itu.
Lebih lanjut, Lisda menjelaskan perbedaan utama antara individu yang sehat secara mental dan individu dengan narsistik terletak pada kemampuan untuk mengelola emosi. Orang yang sehat mental dapat mengakui kesalahan, mengendalikan emosi, dan berempati terhadap orang lain. Sementara itu, individu dengan gangguan narsistik cenderung selalu merasa benar dan sering kali memainkan peran sebagai korban ketika mereka merasa tersudut.
"Sering kali mereka melakukan manipulasi dengan memainkan peran sebagai korban, meskipun sebenarnya mereka yang merugikan orang lain," terangnya.
Dalam menghadapi individu narsistik, Lisda menyarankan agar sebisa mungkin menjaga jarak dan jika memungkinkan, jauhi orang dengan gangguan narsistik demi kesehatan mental diri kita. Namun, jika menjauhi tidak memungkinkan, terutama dalam hubungan keluarga atau pasangan, Lisda menyarankan agar korban belajar untuk mandiri secara emosional dan tidak bergantung pada individu narsistik. Lisda sebut kemandirian emosional adalah kunci untuk bertahan dari hubungan dengan individu narsistik.
Kepala Biro Perfecta Psyche Samarinda itu memandang kasus-kasus narsistik cenderung akan terus meningkat, meskipun sulit untuk diidentifikasi karena rendahnya kesadaran penderita akan kondisi mereka. Lisda mengingatkan bahwa narsistik bukan hanya masalah individu, tetapi jadi masalah bagi lingkungan orang-orang di sekitarnya.
Oleh karena itu, penanganan dan edukasi seputar narsistik perlu terus disebarluaskan agar masyarakat lebih waspada dan mampu menghindari dampak psikologis yang ditimbulkan oleh individu dengan gangguan narsistik.(*)
Penulis: Indraoey