Kutai Kartanegara

Bertemu Lagi dengan Belimbur, Tradisi Sakral Penuh Makna yang Kerap Dinodai Aksi Barbar

person access_time 3 years ago
Bertemu Lagi dengan Belimbur, Tradisi Sakral Penuh Makna yang Kerap Dinodai Aksi Barbar

Suasana belimbur di depan Kedaton Kutai Kartanegara Ing Martadipura (fachrizal muliawan/kaltimece.id)

Hampir tiap tahun, belimbur sebagai rangkaian penutupan upacara Erau, diwarnai kejadian tak menyenangkan.

Ditulis Oleh: Fachrizal Muliawan
Minggu, 15 September 2019

kaltimkece.id Sudah sore sekali ketika seorang lelaki tiba di Markas Polisi Resor Kutai Kartanegara. Wajah pria muda berinisial Ab itu memar. Pipi kanan dan pelipisnya bengkak, bibirnya juga terluka. Sembari memegangi wajahnya yang cedera, Ab melangkah menuju Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu. Seorang anggota Detasemen Remaong Kutai Kesultanan Kutai Ing Martadipura --polisi adat kesultanan-- turut mendampinginya.

Ahad, 15 September 2019 pukul 17.00 Wita, Ab melaporkan ke polisi atas dugaan pemukulan yang ia alami. Pemuda berusia 29 tahun itu mengaku, mendapat perlakuan tak menyenangkan di Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Tenggarong, ketika belimbur. Belimbur adalah prosesi siram-siraman pada penutupan upacara adat Erau.

"Nanti dulu, saya belum bisa bicara," kata Ab ketika ditemui kaltimkece.id di Polres Kutai Kartanegara.

Ab tidak lain pemuda yang sedang membonceng anak kecil dan dipukul saat prosesi belimbur. Ia dikelilingi beberapa orang ketika kejadian itu terekam dalam video yang viral. Dalam rekaman itu, satu atau beberapa orang dengan barbar memukul Ab. Baik dengan benda maupun tangan kosong.  

Ahad malam, selepas membuat laporan, pemuda itu menjalani visum et repertum untuk mengetahui luka yang dideritanya. Hasil visum belum diketahui sementara kepolisian belum memberikan keterangan resmi mengenai laporan yang Ab buat. Begitu pula kabar seorang lelaki yang diamankan polisi dalam belimbur. Polisi belum menyampaikan identitas termasuk informasi pria tersebut berkaitan dengan laporan Ab atau tidak.

Tercorengnya tradisi belimbur membuat sekretaris Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Awang Yacoub Luthman, angkat bicara. Menurut Awang Yacoub, Kesultanan sebelumnya sudah mengingatkan warga Tenggarong tidak belimbur di luar area keraton.

"Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan," jelasnya kepada kaltimkece.id.

Kesultanan juga menyatakan sikap. Polisi dipersilakan mengusut kejadian yang mencoreng tradisi tersebut. “Belimbur itu tradisi sakral sekaligus puncak prosesi Erau Adat Kukar. Silakan ditindak tegas agar memberi efek," sambungnya.

Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah juga satu suara. Bupati telah mengingatkan masyarakat menjaga momen belimbur. Makna belimbur, katanya, adalah ajang penyucian diri sesuai inti dari prosesi belimbur. Pemkab Kukar telah menyampaikan agar siram-siraman dilakukan sewajarnya. “Jangan melukai secara fisik maupun batin,” jelas Edi.

Pihak berwenang di Kukar sebenarnya telah mengantisipasi hal-hal yang merusak citra belimbur. Polres Kukar, misalnya, mengerahkan 250 personel ditambah 50 personel TNI dari Kodim 0906/Tgr. Selain di Keraton, aparat memperkuat pengamanan belimbur di Sungai Mahakam dan titik-titik yang dianggap rawan.

Belimbur dan Aksi Barbar

Tradisi belimbur sejak lama telah dipayungi aturan hukum. Yang terbaru adalah Peraturan Daerah Kukar Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pelestarian Adat Istiadat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Pada Pasal 6 yang mengatur Upacara Adat Erau, belimbur masuk rangkaian upacara. Ada 15 rangkaian, sedari titi bende (titah sultan bahwa Erau dilaksanakan) hingga merebahkan pinang ayu. Belimbur masuk rangkaian ke-12 atau pada penutupan Erau.  

Erau berasal dari kata eroh yang berarti suasana yang ramai dan penuh suka cita. Dapat pula dimaknai sebagai acara sakral, ritual, maupun hiburan. Tradisi ini dimulai tujuh abad silam di tanah Jaitan Layar, Kutai Lama. Di sinilah Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada abad ke-13 (kerajaan yang berbeda dari Kutai Martapura yang telah berdiri sejak abad ke-4 di Muara Kaman).

Menurut legenda, sepasang suami istri di Jaitan Layar yang tertidur dikagetkan suara batu besar yang jatuh dari langit. Batu ini ternyata peti emas yang berisi bayi berselimut kain kuning. Bayi itu dipercaya berasal dari kayangan dan kelak menjadi raja. Beranjak dewasa, bayi itu belum boleh menginjak tanah sebelum diadakan pesta 40 hari 41 malam, yang disebut Erau (Nama dan Fungsi-fungsi Benda-benda pada Upacara Adat Erau sebagai Upaya Melestarikan Warisan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing MartadipuraSkripsi, Universitas Komputer Indonesia, 2014, hlm 8).

Tradisi Erau terus dijalankan pada penobatan sultan (sebutan raja setelah Kerajaan Kutai Kartanegara dipengaruhi Islam). Durasi pelaksanaan Erau bergantung tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Ada empat tingkat yakni 40 hari 41 malam, 24 hari 25 malam, 14 hari 15 malam, dan 7 hari 8 malam (hlm 9)

Ketika Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura runtuh pada 1960 karena bergabung dengan NKRI, tradisi ini terhenti 11 tahun. Baru pada 1971, Erau diadakan atas prakarsa Bupati Kutai Achmad Dahlan. Erau dirangkai dengan peringatan hari jadi Kota Tenggarong. Belakangan ini, pelaksanaan Erau lebih disesuaikan dengan kalender pariwisata. Erau memang telah menjadi daya tarik wisata bagi Tenggarong dan sekitarnya.

Erau diakhiri dengan prosesi mengulur naga dan belimbur. Saat mengulur naga, Minggu, 15 September 2019, puluhan pasukan Keraton Kutai Kartanegara Ing Martadipura mengenakan pakaian putih. Mereka mengantarkan patung Naga Bini dan Naga Laki. Kedua patung naga ini 16 meter panjangnya. Dibawa dari Keraton Kutai --sekarang Museum Mulawarman-- menuju Kutai Lama.

Setelah kedua naga dinaikkan ke kapal, Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura Adji Muhammad Arifin memercikkan air tuli. Air suci ini diambil dari Kutai Lama. Pemercikan air tuli dari padi yang dipegang Sultan adalah pertanda prosesi belimbur dimulai. Belimbur adalah saling siram. Dalam prosesi ini, tiada status pejabat maupun rakyat jelata. Semuanya berbaur dalam suka cita puncak Erau.

Sekretaris Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura Awang Yacoub Luthman menerangkan, tradisi ini adalah wujud syukur masyarakat atas kelancaran Erau. Belimbur memiliki filosofi sebagai sarana pembersihan diri dari sifat buruk dan unsur kejahatan. Air yang menjadi sumber kehidupan ini juga dipercaya sebagai media yang melunturkan sifat buruk manusia. Tahun ini, prosesi belimbur dipusatkan di depan Museum Mulawarman, Jalan Diponegoro, Tenggarong.

Satu dasawarsa terakhir, belimbur sebagai prosesi sakral sering tercoreng. Penyebabnya adalah oknum warga yang semena-mena menyiram air tanpa aturan. Yang paling menyita perhatian adalah pelecehan seksual “hantu kacak” pada 2017 lalu. Banyaknya kejadian tak mengenakkan saat belimbur membuat Sultan Kutai mengeluarkan maklumat. Sejak 2016 silam, Sultan Kutai ketika itu, Aji Mohamad Salehuddin II, mengeluarkan aturan dalam belimbur.

Maklumat terdiri dari empat butir. Pertama, daerah belimbur ditetapkan dari Kepala Benua, Tengah Benua, dan Buntut Benua. Seluruhnya berarti di sepanjang Jalan Mangkurawang-Jalan AM Sangaji-Jalan Diponegoro-Jalan Jenderal Sudirman-Jalan KH Akmad Mukhsin-Jalan Woltermonginsidi. Kedua, belimbur dimulai setelah upacara adat Rangga Titi yaitu pukul 11.00-14.00 Wita menggunakan air bersih.

Butir ketiga mengatur pelanggaran dalam belimbur. Sebagai contoh, ada yang menggunakan air kotor atau mencampur benda yang membahayakan. Termasuk perbuatan tidak senonoh, membahayakan pengendara, serta melanggar ketertiban umum. Pelanggaran adat di Tanah Kutai itu termasuk perbuatan tindak pidana, sebagaimana disebut butir maklumat yang keempat. Sanksi pidana atau perdata dijatuhkan sesuai ketentuan hukum. (*)

Editor: Fel GM

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar