kaltimkece.id Angka kasus kekerasan seksual di Kutai Kartanegara pada 2022 amat mengkhwatirkan. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kukar mencatat, empat bulan pada tahun ini, jumlah kekerasan seksual mencapi 25 kasus. Jumlah tersebut lebih banyak tiga kasus dibanding sepanjang tahun lalu. Dibandingkan lagi pada 2020 terpaut 17 kasus.
“Pada 2021 ada 22 kasus dan 2020 sebanyak 39 kasus kekerasan seksual,” sebut Kepala DP3A Kukar, Aji Lina Rodiah; melalui Kepala UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Faridah, kepada kaltimkece.id, Rabu, 27 April 2022.
Faridah menyebut, kasus-kasus pada tahun ini terjadi di delapan kecamatan. Rinciannya, Tenggarong tujuh kasus, Loa janan empat kasus, Loa kulu dua kasus, Samboja dua kasus, dan Muara Kaman dua kasus. Kemudian Muara Muntai, Kembang Janggut, dan Tabang, masing-masing satu kasus.
_____________________________________________________PARIWARA
Parahnya, dua dari 22 kasus itu, korbannya hamil. Salah satunya santriwati yang sempat mondok di sebuah pesantren di Tenggarong. Santriwati tersebut dilaporkan berbadan dua setelah diperkosa pimpinan pondok pesantrennya. Terduga pelakunya diketahui telah ditangkap polisi.
Kasus yang menyebabkan kehamilan juga menimpa seorang anak di bawah umur yang tinggal di Kecamatan Muara Kaman, Kukar. Terduga pelakunya tak lain ayah kandungnya sendiri. Kasus ini diungkap Kepolisian Sektor Muara Kaman pada awal April 2022. Sang ayah telah dijebloskan ke penjara. Jumlah kasus pada tahun ini diyakini masih bisa bertambah karena menyisakan delapan bulan lagi.
“Kekerasan seksual di Kukar memang biasanya dilakukan orang-orang terdekat. Namun, itu hanya oknum,” sebutnya.
Faridah mengatakan, masih ada kasus kekerasan seksual karena edukasi seksual minim. Masih banyak orangtua dilaporkan belum mengetahui cara menjaga dan mendidik buah hati dengan benar. Padahal, pendidikan adalah kunci utama agar anak terhindar dari kejahatan seksual.
Ia meminta kepada masyarakat, khususnya para ibu, untuk memberikan pemahaman edukasi seks kepada anak. Contohnya, memberi tahu kepada anak soal bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain. Dalam hal ini, peran ibu sangat vital karena paling dekat dengan anak.
“Bila anak paham soal bagian tubuh yang terlarang, dia bisa berontak. Dengan begitu, kejahatan asusila bisa terhindar,” jelasnya. Bila kekerasan seksual terjadi, Faridah menyerukan agar keluarga tidak ragu melaporkan kepada pihak berwajib sehingga penangannya bisa disegerakan.
Untuk meningkatkan pengawasan dan penanganan kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, Pemkab Kukar akan membangun Satuan Tugas PPA di 193 desa pada tahun ini. “Satgas ini adalah perpanjangan tangan kami untuk melindungi perempuan dan anak,” terangnya.
_____________________________________________________INFOGRAFIK
Sementara itu, psikolog dari Samarinda, Lisda Sofia, menjelaskan mengenai dampak yang menimpa korban kekerasan seksual. Dari sisi psikologi, korban kekerasan seksual akan mengalami tekanan dan ketidaknyamanan hidup. “Kami menyebut, ini adalah krisisnya korban,” papar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, itu.
Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, kata Lisda, bisa mengganggu mental korban. Dampak yang paling mungkin terjadi adalah trauma berkepanjangan. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, keluarga disarankan mendampingi korban secara terus-menerus. Bisa juga meminta bantuan tenaga profesional seperti psikiater untuk penyembuhannya.
“Krisis itu bisa disembuhkan. Kecuali orang yang memiliki saki hati atau dendam yang mendalam, kemudian tidak didukungan lingkungannya,” kuncinya. (*)
Editor: Surya Aditya