kaltimkece.id Kemampuan tali-temali Usthuri tak perlu diragukan. Ia hanya perlu satu jam untuk mengikat potongan-potongan bambu hingga menyerupai rakit. Kerangka rakit itu lumayan besar. Lebarnya 2 meter sedangkan panjangnya 4 meter. Di tengah-tengah kerangka, lelaki berusia 44 tahun itu menambah beberapa tulang yang juga terbuat dari bambu.
Senin, 26 Oktober 2020, di pekarangan sebuah rumah di Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kutai Kartanegara, Usthuri membentangkan kain kasa di tengah-tengah kerangka rakit. Kain kasa itu menjadi alas rakit.
Setelah semuanya kelar, Usthuri membawa benda tersebut ke Danau Melintang. Mengenakan jaket penyelamat berwarna oranye menyala dan bertelanjang kaki, ia mengapungkan susunan bambu berbentuk persegi panjang. Petani dari Gabungan Kelompok Tani Panji Sejahtera di Tenggarong tersebut kemudian menaburkan tanah subur atau humus di atasnya.
Sawah mungil itu terapung di permukaan Danau Semayang yang tenang. Supaya tidak tenggelam, dua ujung bambu diikat ke sebuah gubuk terapung di luar gapura desa Muara Enggelam. Lahan buatan yang sudah siap ditanami itu segera digarap. Di sebelah rakit baru tersebut, sawah terapung yang lain telah ditumbuhi padi. Usthuri sempat memeriksa tanaman berusia sebulan itu. Tidak ada masalah sepertinya. Padi-padi tumbuh subur sebagaimana mestinya.
Muara Enggelam adalah desa di wilayah hulu Kutai Kartanegara. Sebagian besar wilayah desa adalah perairan Danau Melintang yang terhubung ke Sungai Mahakam. Rumah-rumah warga didirikan di atas danau. Sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Nyaris tidak ada petani di Muara Enggelam karena ketiadaan lahan tanam. Teknik sawah terapung adalah siasat agar penduduk memiliki sawah.
Kepada kaltimkece.id, Usthuri menjelaskan cara menanam padi dengan teknik terapung. Yang pertama, kendala yang paling utama adalah pohon bambu tidak tumbuh di desa tersebut. Demikian juga tanah humus. Ia harus mengambil bambu dan tanah dari desa-desa tetangga. Usthuri mengatakan, rakit dari bambu tidak boleh lebih dari 2 meter.
“Kalau lebih lebar, takutnya nanti gampang tenggelam. Sementara untuk panjang rakit, bisa sampai 12 meter,” tuturnya.
Usthuri cukup punya ilmu dan pengalaman dalam mengelola sawah terapung. Ia telah menggeluti dunia pertanian selama 20 tahun. Pertama kali teknik tanam ini Usthuri uji coba pada 2019. Pertama-tama, ia membangun rakit berukuran 2 meter x 1 meter. Setelah 120 hari sejak ditanam, padi dipanen. Menurut Usthuri, dari sawah mungil di atas air itu, 3 kilogram beras dihasilkan.
“Hasilnya bagus karena saya menambahkan nutrisi ke tanah yang sudah dilapisi daun pisang,” jelasnya.
Tanaman padi di sawah terapung disebut sangat terbantu oleh kondisi air. Keasaman atau pH air di Danau Melintang adalah 5,5 sampai 7 (sedikit asam hingga netral). Sawah terapung ini bahkan cukup menggunakan pestisida organik. Selain ramah bagi manusia dan lingkungan, pestisida organik tidak merusak habitat ikan.
Kepala Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Muara Enggelam, Haji Ramsah, menjelaskan bahwa padi apung dikembangkan sebagai komoditas pertanian setempat. Hasil dari sawah apung hanya untuk konsumsi masyarakat alias tidak diperjualbelikan. Padi apung merupakan satu dari sekian banyak kearifan lokal di Desa Muara Enggelam. Masyarakat setempat, jelas Haji Ramsah, berupaya menghidupkan tradisi kehidupan nenek moyang. Teknik menanam di lahan apung ini juga dicoba untuk menanam sayuran.
“Kami berupaya keras agar Desa Muara Enggelam memiliki sektor pertanian mandiri. Sebagai desa yang terisolasi, kami ingin membangun desa ini agar maju,” jelasnya.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara, Sutikno, mengapresiasi metode sawah apung. Dinas Pertanian dan Peternakan siap membantu dengan menurunkan tim penyuluh. Menurut Sutikno, masyarakat yang mempunyai keinginan bertani tentu harus dibantu sepanjang ada pengajuan bantuan.
“Padi apung ini terkesan tradisional tapi sebenarnya teknik ini modern,” jelasnya.
Hasil Panen Luar Biasa
Budi daya pertanian terapung sebenarnya bukan hal baru meskipun kurang lazim di zaman modern. Teknik menanam seperti ini telah dipraktikkan sejak lama di Bangladesh dan masyarakat Intha di Myanmar. Salah satu keuntungan sistem pertanian terapung adalah tidak perlu penyiraman. Air yang berdifusi dari bawah media mempermudah petani karena budi daya bersifat organik (Padi Apung sebagai Inovasi Petani Terhadap Dampak Perubahan Iklim di Pangandaran, Proshiding Seminar Nasional dan Gelar Teknologi Padi, 2017, hlm 8-9).
Di Indonesia, budi daya padi apung dimulai sebagai adaptasi terhadap perubahan iklim. Teknik penanaman ini dikembangkan Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) dan Center for Climate Risk and Opportunities Management, Institut Pertanian Bogor, pada Desember 2011. Panen dari sawah apung tersebut ternyata lebih tinggi daripada sawah konvensional. Setelah sembilan tahun sejak pertama kali dikembangkan, produktivitas padi apung rata-rata 6,4 ton per hektare gabah kering giling. Produktivitas itu 50 persen lebih tinggi dibandingkan hasil panen sawah darat (hlm 9).
Yang menarik adalah hasil panen padi apung di Desa Muara Enggelam, Kutai Kartanegara. Berdasarkan uji coba Usthuri selaku petani setempat, rakit seluas 2 meter persegi yang ia buat menghasilkan 3 kilogram beras. Produktivitas padi apung di desa tersebut adalah 1,5 kilogram per meter persegi. Dengan demikian, padi apung di atas rakit seluas 1 hektare (10 ribu meter persegi) akan menghasilkan panen 15 ton beras.
Hasil panen tersebut termasuk luar biasa. Rata-rata produktivitas sawah di Kukar pada 2019 hanya 3,8 ton per hektare. Itu pun dalam bentuk gabah kering giling, bukan beras. Produktivitas padi apung di Muara Enggelam artinya mencapai hampir empat kali lipat dari sawah konvensional. (*)
Dilengkapi oleh: kontributor kaltimkece.id di Kutai Kartanegara
Temui kami di Instagram!