kaltimkece.id Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan mengenai legalitas para calon kepala daerah petahana yang mengikuti Pilkada Serentak 2024. Gugatan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Bengkulu, Helmi Hasan-Mian, memberikan preseden hukum penting. Putusan MK disebut tidak hanya berdampak kepada kasus di Bengkulu tetapi menjadi rujukan legalitas pencalonan sejumlah kepala daerah.
Melalui siaran langsung di kanal YouTube resminya, MK menolak gugatan yang diajukan oleh Helmi Hasan-Mian. Permohonan yang diajukan berfokus pada pengujian pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang 10/2016 tentang Pilkada.
Pasangan tersebut mempersoalkan penghitungan masa jabatan kepala daerah sejak pelantikan, yang dinilai bermasalah dalam kaitannya dengan aturan pencalonan. Namun, MK dengan lugas menyatakan bahwa norma tersebut telah dicabut melalui tiga putusan terdahulu yaitu Putusan 22/PUU-VII/2009, 67/PUU-XVIII/2020, dan 2/PUU-XXI/2023.
MK juga menegaskan bahwa ketentuan dalam Peraturan KPU 8/2024 tidak bertentangan dengan konstitusi. PKPU menyebut bahwa masa jabatan dihitung sejak pelantikan. Klausul tersebut dimuat di pasal 19 huruf (e), tentang masa jabatan kepala daerah.
Putusan ini tidak hanya berdampak pada pasangan Helmi Hasan-Mian tetapi mempertegas legalitas pencalonan sejumlah kepala daerah lainnya. Nama-nama seperti Rohidin Mersyah, calon gubernur Bengkulu petahana, serta Bupati Bengkulu Selatan Gusnan Mulyadi dan Bupati Kukar Edi Damansyah, mendapat kepastian hukum untuk melanjutkan pencalonan mereka.
Sebagai informasi, dalam kasus Edi Damansyah, sebelum dilantik sebagai bupati Kukar definitif pada 2019, ia menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) bupati. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XXI/2023, masa jabatan sebagai Plt tidak dihitung sebagai satu periode karena Plt tidak melalui pelantikan formal dan hanya menjalankan tugas sementara. Dengan demikian, masa jabatan Edi sebagai Plt dapat dianggap tidak masuk hitungan dua periode.
MK juga menegaskan bahwa periode masa jabatan kepala daerah dihitung sejak pelantikan sebagai pejabat definitif dan hanya berlaku jika masa jabatan tersebut lebih dari 2,5 tahun. Bila mengikuti hal tersebut, Edi Damansyah belum menjalani satu periode penuh sejak dilantik pada 2019.
Pernyataan Tim Hukum Edi-Rendi
Tim Kuasa Hukum Edi Damansyah-Rendi Solihin ikut angkat bicara soal putusan tersebut. Menurut tim, selama ini ada opini hukum yang sesat berkaitan dengan hal tersebut untuk menjatuhkan pasangan Edi-Rendi.
"Alhamdulillah tidak ada lagi permasalahan mengenai hal tersebut, semuanya sudah klir," ungkap Ketua Tim Kuasa Hukum Edi-Rendi, Erwinsyah, Kamis, 14 November 2024.
Erwinsyah menjelaskan, selama ini pihaknya selalu menahan diri dan tidak menanggapi polemik tersebut secara berlebihan. Terutama adanya framing politik dan opini menyesatkan terhadap pasangan Edi-Rendi.
"Karena secara substansial dan sejak awal kami meyakini bahwa masa jabatan seorang kepala daerah, mulai dihitung sejak saat pelantikan," ungkapnya.
Hal tersebut, lanjut Erwinsyah, didasarkan kepada dua norma hukum. Pertama yakni ketentuan Pasal 162 ayat (2) UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU Pilkada.
Dalam beleid itu disebutkan bahwa bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Kedua, ujar Erwinsyah, merujuk ketentuan Pasal 60 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa masa jabatan kepala daerah adalah selama lima tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Oleh karena itu, masih kata Erwin, sebelum kepala daerah memangku jabatannya, terlebih dahulu harus dilantik dan diambil sumpah atau janji. "Kami memahami kalau ada perbedaan dalam menafsirkan hal tersebut. Hal ini wajar tapi kami juga menyesalkan bahwa adanya sikap yang mengunakan tafsir sesat untuk menyebarkan dan menyerang pihak Edi-Rendi," ujarnya.
Erwinsyah juga menegaskan, putusan MK memiliki kedudukan yang sama dengan UU yang dibuat oleh DPR dan presiden. Sifat Putusan MK, kata Erwin, berlaku prospektif atau ke depan dan tidak berlaku surut (retroaktif).
"Sehingga sehubungan dengan proses kasasi atas putusan PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) yang saat ini sedang diperiksa oleh majelis hakim kasasi, maka dengan sendirinya dalil UU yang digunakan oleh pemohon kasasi gugur dengan sendirinya dan tidak dapat dipergunakan lagi sebagai dasar argumentasi untuk memohon diskualifikasi Edi-Rendi," ungkap Erwin.
Selain fokus bekerja memantapkan perolehan suara untuk kemenangan Edi-Rendi, Erwinsyah menjelaskan bahwa Tim kuasa hukum sedang bekerja melalui Posko Kecurangan Pilkada. "Untuk mendampingi laporan yang masuk. Tunggu saja tanggal mainnya, kami akan menindaklanjuti, melakukan pendampingan terhadap laporan yang masuk," pungkasnya. (*)