kaltimkece.id Berada di pusat Tenggarong, Kutai Kartanegara, Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin adalah warisan Kesultanan Kutai yang tak pernah berubah bentuk. Usia bangunannya sudah satu setengah abad. Dibangun gotong royong oleh rakyat dan ulama.
Masjid tersebut berdiri satu kompleks dengan Kedaton Sultan Ing Martadipura. Persis di persimpangan Jalan Monumen Timur dan Jalan Mayjen Sutoyo. Usianya masih sangat relevan dengan gaya bangunannya yang khas tempo dulu.
Di halaman depan terdapat menara dengan tiga tiang yang tergabung di bawah kubah. Tinggi menara itu kurang lebih 30 meter.
Masjid Adji Amir Hasanoeddin sendiri memiliki luas bangunan 50x50 meter persegi. Yang ketika dibangun, diarsiteki orang kepercayaan Kesultanan Kutai. Didirikan dengan gaya rumah lokal dan pengaruh Budaya Melayu pada 1930.
Struktur bangunan utamanya mayoritas berbahan kayu ulin, komoditi khas hutan Kalimantan yang terkenal kekuatannya. Dinding luarnya berlapis cat putih yang tiap tepinya diberi aksen hijau tua.
Banyak pilihan untuk memasuki masjid ini. Total terdapat 19 pintu di tiap-tiap sisi masjid dengan warna krem yang khas. Di bagian dalam, terdapat 16 tiang utama penyangga langit-langit yang terbuat dari ulin. Dibangun berjejer sebagai penopang konstruksi atap kayu tumpang tiga, juga kubah berbentuk poligon.
Di bagian atap segi lima itu, setiap jengkal sisi terdapat kaca bening sebagai pengantar cahaya matahari. Membuat penerangan masjid begitu alami sebelum langit gelap. Masjid tumpang tiga ini juga dirancang dengan kisi-kisi udara. Sehingga udara dalam bangunan tersebut tersirkulasi dengan baik.
Kepada kaltimkece.id pada Kamis, 22 April 2021, Ketua Takmir Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin, Edi Sofyansah, mengisahkan sejarah rumah ibadah tersebut. Sambil duduk lesehan di lantai masjid yang berbahan keramik dengan motif bintik itu, Edi mengungkapkan jika rumah ibadah tersebut telah berusia 132 tahun. Dulunya bernama Masjid Sultan.
Pada 1962, Iskandar Usat selaku ketua takmir masjid, mengusulkan perubahan nama. Musyawarah dilakukan bersama tokoh masyarakat Tenggarong saat itu. Iskandar mengusulkan perubahan nama menjadi Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin. Para pengurus masjid serta tokoh masyarakat menyetujui.
Pertama Dibangun 1874
Masjid ini awalnya dibangun pada 1874 oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang semula masih berupa musala. Pada 1930, ketika Kesultanan Kutai diperintah Sultan Aji Muhammad Parikesit, peningkatan menjadi bangunan masjid dilakukan. Peningkatan tersebut juga diprakarsai menteri kerajaan bernama Aji Amir Hasanuddin dengan gelar Haji Aji Pangeran Sosronegoro (Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia 1999, hlm, 323).
Masjid dirancang dengan corak rumah adat Kaltim tumpang tiga dengan puncaknya berbentuk segi lima. Setiap tingkatan ditandai ventilasi yang jumlahnya bervariasi. Dirancang dengan gaya bangunan lokal campuran Melayu. Sampai saat ini, sarat akan nilai sejarah yang tak terpisahkan dari nilai budaya Kutai.
"Sekarang masjid ini sudah ditetapkan sebagai salah satu masjid bersejarah di Indonesia," lanjut Sofyan, sapaan Edi Sofyansyah.
Menurutnya, Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin dibangun gotong royong. Tak ada paksaan maupun upah dijanjikan kepada setiap yang terlibat. Masyarakat antusias berkontribusi karena kerinduan memiliki rumah ibadah representatif. Memicu warga ikut membangun dengan iman dan keikhlasan.
Konon, Aji Amir Hasanuddin sebagai penggagas pembangunan masjid, dalam prosesnya dibantu seorang penyiar Islam yang telah berdakwah sekeliling Kutai. Sosok tersebut diketahui bernama Sayid Saggaf Baraqbah dengan gelar Aji Raden Sokmo. Namanya juga tercatat sebagai donatur dari pembangunan masjid tersebut.
Masjid Jami’ Adji Amir Hasanoeddin kini menjadi situs sejarah dan cagar budaya nasional. Pemugaran sudah dilakukan berlaki-kali. Namun pengurus dan pemerintah tetap menjaga keaslian arsitektur serta bentuk bangunannya. Perbaikan berat terakhir dilakukan pada 2019-2020 di bagian tiang penyangga.
Dan perlu diketahui, sebelum masjid tersebut direhab, tak satupun paku yang digunakan untuk membangun masjid. "Melainkan pasak kayu itu sendiri menjadi menjadi penguat setiap struktur bangunannya," pungkas Sofyan. (*)
Editor: Bobby Lolowang