kaltimkece.id Faizal Rachman setengah berlari keluar pintu salah satu ruangan di Gedung DPRD Kutai Timur usai mengikuti sejumlah rapat antara Pemerintah Kabupaten Kutim dengan DPRD Kutim. Saat itu Kamis, 27 Februari 2025, belum sampai di muka pintu utama, 2 orang wartawan mengadangnya meminta keterangan 3 sidang paripurna membahas rancangan peraturan daerah. Semua agenda dikebut dalam sehari. Kejar tayang sebelum bupati kembali dari retret di Magelang.
Waktu menunjukkan pukul 16.12 Wita, langkah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu kembali terhenti ketika kaltimkece.iz meminta konfirmasi adanya utang jumbo pemerintah kepada pihak ketiga sebesar Rp1,364 triliun.
"Iya benar, tapi sudah ada komitmen dari Pak Bupati dalam pertemuan terakhir untuk segera menyelesaikan utang pemerintah secepatnya. Itu jadi prioritas sebelum anggaran tahun ini disebar ke kegiatan yang lain," ungkap Faizal. Utang pemerintah di anggaran 2024 sebesar Rp1,364 triliun itu tersebar di dinas-dinas dengan jumlah 4.378 paket pekerjaan.
Sebenarnya, ujar Faizal, utang itu tidak akan muncul jika pemerintah pusat tidak membatalkan dana transfer dari dana kurang salur APBD 2024 sebesar Rp2,2 triliun. Dana itu sebagian memang cair, hanya saja jumlahnya Rp500 miliar. Padahal sisanya sebesar Rp1,7 triliun itu disiapkan untuk pembayaran utang kepada pihak ketiga.
Dengan beban utang dan sejumlah dana transfer dibatalkan, lanjut Faizal, APBD 2025 Kutim kembali tertekan dengan pemotongan efisiensi imbas Instruksi Presiden 1/2025 sebesar Rp3,7 triliun. Dengan demikian, APBD Kutim yang diproyeksikan Rp11,5 triliun, terpangkas utang dan efisiensi yang menyisakan pagu tak lebih dari Rp6 triliun. "Ruang fiskal untuk pembangunan di Kutim semakin terbatas," ucapnya.
Faizal pun tak menampik bahwa terbatasnya ruang fiskal itu bakal memengaruhi program Bupati Ardiansyah Sulaiman dan Wakilnya Mahyunadi yang baru saja dilantik pada 20 Februari lalu. "Pemerintah semakin berat dalam mewujudkan 50 program Kutim Hebat," ucapnya.
Dalam rapat dengan bupati sebelum retret di Magelang, Faizal sempat meminta pemerintah melalui Inspektorat Wilayah untuk menelaah progres pekerjaan seluruh paket dan menyiapkan administrasinya lebih dahulu. Dengan penelahan ini, selain bisa mempersingkat proses penyaluran dana bagi proyek yang sudah tuntas namun belum dibayar, bisa juga memperkecil beban utang jika ada pekerjaan yang belum selesai namun dilaporkan sudah tuntas.
Usulan Faizal ini direspons pemerintah. Rapat hearing antara organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkab Kutim dengan Komisi C DPRD Kutim akhirnya digelar pada Jumat, 28 Februari 2025. Hearing itu membahas utang tahun anggaran 2024. Hadir saat itu Inspektorat Wilayah Kutim, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Pendapatan Daerah, dan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.
Dalam penjelasan kepada DPRD Kutim, Faukur Rozak mewakili Inspektorat Wilayah mengatakan, pihaknya sedang menelaah progres 4.378 paket pekerjaan di 18 kecamatan se-Kutim dengan target penyelesaian pada 15 Maret 2025. Hasil penelaahan awal itu dikatakannya menemukan potensi utang. Namun Faukur buru-buru mengatakan bahwa penelaahan oleh inspektorat tidak dalam kapasitas sebagai auditor, melainkan hanya sebagai reviewer utang. "Review ini bukan audit, tapi tujuannya untuk memastikan potensi utang secara terbatas," kilah Faukur, dikutip dari dprdkutaitimur.id.
Di rapat yang sama, Ketua Komisi C Ardiansyah meminta inspektorat mempercepat review tersebut sehingga bisa menentukan besaran utang yang harus dibayarkan pemerintah kepada pihak ketiga. "Agar tak terkesan mengabaikan para kontraktor," ucap politisi Partai Keadilan Sejahtera itu. Ia juga mengingatkan batas laporan ini harus disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan pada 26 Maret 2025.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Purwadi mengatakan praktik pengelolaan keuangan negara di sebagian besar kabupaten/kota yang menimbulkan utang, banyak terjadi di Kaltim. Meski utang ini dibenarkan, ia menekankan prinsip pembayaran utang agar memastikan tidak ada pelayanan dan kebutuhan dasar warga yang terganggu.
"Dari sisi akuntabilitas bisa aja, tidak masalah. Pembayaran utang bisa menjadi prioritas dengan prinsip memastikan public service menjadi lebih baik dan jangan mengganggu sektor-sektor prioritas, seperti penyediaan air, listrik, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan," terang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul itu, Sabtu sore, 8 Maret 2025
Dari pengalaman pendampingan dan penelitiannya di beberapa kota di Kaltim, Purwadi menyimpulkan bahwa kabupaten/kota di Kaltim memiliki masalah yang sama, yaitu ketergantungan pada transfer pusat. "Sehingga ketika mundur atau terlambat pencairan (dana), semua perencanaan jadi berantakan," bebernya. "Jika diteliti lebih dalam, problem utamanya ada pada perencanaan di tingkat OPD yang lemah dan belum sinkron dengan tata kelola keuangan di pusat," tambahnya.
Masalah pertanggungjawaban keuangan yang terlambat dari OPD, lanjut pria asal Klaten ini, juga menjadi persoalan tersendiri. Ia menyoroti sumber daya di OPD yang harus dievaluasi agar siap dalam memenuhi persyaratan pemerintah pusat. Jika tidak, pemerintah pusat tidak akan mengeluarkan dana lanjutan saat pertanggungjawaban periode sebelumnya belum diselesaikan.
Purwadi juga menyoroti soal besarnya sisa lebih pembiayaan anggaran atau SILPA (dengan 'i' kapital) di APBD Kutim 2024 sebesar Rp2,764 triliun. "Ini, 'kan, anomali. Utangnya jumbo, SILPA tak kalah besar. Lagi-lagi soal OPD," ujarnya.
Meski demikian, lanjut dia, ada dua kemungkinan hal itu terjadi. OPD tidak mampu membuat perencanaan atau malah OPD tak jadi mengeksekusi program karena takut jadi temuan.
"Nah, yang saya khawatirkan akhirnya keberadaan OPD tidak nyambung dengan visi kepala daerah. Jangan-jangan kepala daerah mau gas kecepatan 200 kilometer per jam, tapi OPD yang membantu cuma berkemampuan 20 km per jam," tutupnya. (*)