kaltimkece.id Teriknya sinar matahari tak menghalangi Syawal menaiki perahu di tepi Sungai Mahakam, Samarinda. Dari situ, mahasiswi Teknik Lingkungan Universitas Mulawarman ini menuju tengah sungai. Ia kemudian mengambil air Sungai Mahakam menggunakan peralatan penelitian.
Beberapa waktu lalu, Syawal melakukan uji kualitas air Sungai Mahakam. Ia mengambil kurang lebih 50 liter air Sungai Mahakam di enam titik. Tiga di antaranya yakni muara Sungai Karang Mumus atau SKM, pangkalan SKM di Jalan Muso Salim, dan pabrik tahu SKM di Lempake. Kemudian dekat Jalan Gajah Mada, Kutai Lama, dan Loa Janan Ilir. Selain itu, ia juga menjaring plankton. Plankton net berukuran 350 mesh diperlukan agar semua jenis mikroorganisme air bisa tertampung.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan di laboratorium, hasil penelitian keluar. Hasilnya cukup mengagetkan. Hasil uji kualitas, Syawal membeberkan, air Sungai Mahakam terkontaminasi sampah plastik. Dari enam lokasi pengambilan sampel air Sungai Mahakam tadi, air dekat Jalan Gajah Mada menjadi yang paling banyak terdapat mikroplastik.
“Jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan adalah fiber sebesar 71,8 persen. Sementara jenis filamen 23,2 persen,” beber Syawal kepada kaltimkece.id. Penelitian air Sungai Mahakam ini merupakan kolaborasi peneliti dari Tim Ekspedisi Sungai Nusantara atau ESN dengan Komunitas Mahasiswa Peduli Mahakam atau KMPM. Kegiatannya berlangsung selama empat hari, 20-24 September 2022.
Peneliti ESN, Prigi Arisandi, menjelaskan, mikroplastik adalah serpihan sampah plastik seperti tas, styrofoam, botol, dan sedotan. Sampah-sampah itu terpecah akibat terpapar sinar matahari dan pengaruh pasang surut air sungai. “Terpecah menjadi remah-remah kecil hingga berukuran kurang dari 5 milimeter,” jelas Prigi.
Mikroplastik yang berserakan di perairan itu terbagi empat jenis. Pertama, sebut Prigi, adalah fiber yang berasal dari benang plastik hasil rajutan baju, terutama baju berbahan polyester. Biasanya, mikroplastik larut saat baju tersebut dicuci. “Jenis yang kedua adalah filamen. Biasanya berbentuk lembaran kecil dari tas kresek atau sedotan,” sebutnya.
Jenis ketiga yakni fragmen yang berasal dari patahan berbagai jenis plastik keras seperti tutup botol, kemasan makanan, hingga ember. Jenis lainnya yaitu granul yang berasal dari busa sabun dan pembersih muka. “Jadi, bisa disimpulkan, mikroplastik di Mahakam berasal dari sampah domestik,” ucap Prigi.
Mikroplastik ini dipastikan tidak bisa terurai dalam waktu cepat. Oleh sebab itu, kata Prigi, mikroplastik sangat tidak layak dikonsumsi manusia. Jika masuk tubuh manusia akan mengganggu fungsi reproduksi karena senyawa ini tidak bersahabat dengan hormon manusia. “Dampaknya (bagi pengonsumsi mikroplastik) akan terjadi gangguan pencernaan, diabetes melitus, hingga menstruasi yang tidak lancar terhadap perempuan,” urai peneliti dari Gresik ini.
Penelitian mikroplastik di perairan Mahakam juga pernah dilakukan mahasiswa Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unmul. Hasil penelitian yang terbit pada 2019 itu, Prigi membeberkan, mikroplastik sudah mencemari ikan gabus dan baung di Samarinda. Rata-rata ditemukan sembilan partikel mikroplastik di tubuh seekor ikan yang diteliti.
Dari penelitian ini, Prigi memberikan tiga catatan penting yang mesti ditangani pemerintah daerah, baik Pemkot Samarinda maupun Pemprov Kaltim. Pertama, masih minimnya pengangkutan sampah dari rumah penduduk ke tempat pemrosesan akhir alias TPA. “Biasanya, pemerintah mampu (mengolah sampah sebanyak) 40 persen. Sementara 60 persen sampah masih dibakar atau dibuang ke sungai,” bebernya.
Catatan yang kedua yaitu masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk memilah dan membuang sampah ke tempat sampah. Rendahnya kesadaran inilah yang membuat warga membuang sampah sembarangan, termasuk membuang sampah ke sungai. “Ditambah dengan masifnya penggunaan plastik sekali pakai. Hal ini yang perlu dikendalikan,” ujar Prigi.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPN), sampah plastik di Samarinda mencapai 19,9 persen. Pusat informasi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini juga mencatat, jenis sampah terbanyak di Kota Tepian berasal dari sisa makanan. Jumlahnya mencapai 53,59 persen. Pada 2019, kota ini memproduksi sampah sebanyak 601 ton per hari.
Upaya Pemkot Samarinda menangani masalah sampah plastik bukannya tidak ada. Dikonfirmasi pada kesempatan berbeda, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Samarinda, Nurrahmani, mengatakan, ada beberapa upaya untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya sosialisasi membuang sampah di tempatnya. Sosialisasi lewat program sekolah adiwiyata ini diberikan kepada semua kalangan, termasuk anak berusia dini. Ada juga program pembentukan forum bank sampah di tingkat masyarakat hingga proses legislasi melalui peraturan kepala daerah dan peraturan daerah.
“Ada Perwali Nomor 35/2018 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Ada pula Perwali Nomor 1/2019 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik,” sebut Nurrahmani.
Meski demikian, dia mengakui, tidak mudah mengelola sampah. Pertumbuhan penduduk Ibu Kota Kaltim yang berkembang pesat menjadi salah satu kendalanya. Selain itu, anggaran pemkot untuk menangani masalah ini terbatas. Membangun infrastruktur pendukung pengelolaan sampah saja, kata dia, sulit terwujud.
“Memang ada gap yang cukup besar untuk memenuhi capaian pengelolaan sampah yang ideal,” kunci Nurrahmani. (*)