kaltimkece.id Duduk bersila di atas lantai berlapis karpet plastik, lima orang mengelilingi selembar peta berukuran jumbo. Seseorang di antaranya, Amrullah selaku Kepala Desa Saka, Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, menunjuk sisi atas peta seraya menguraikan paparan. Lokasi di bawah telunjuk kanannya itu adalah area di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit yang masih berupa hutan.
Senin, 18 November 2019, di kantor desa yang hampir seluruh bangunannya terbuat dari kayu ulin, Amrullah menerima kedatangan sebuah tim. Ada yang berasal dari Dinas Kehutanan Kaltim, Badan Perencanaan Pembangunan Kutai Timur, pendamping desa, serta organisasi masyarakat sipil.
Kepada tim itu, Amrullah turut menerima informasi tentang hutan di dalam konsesi perkebunan. Areal seperti ini berbeda dengan kebanyakan kawasan hutan yang pengelolaannya di bawah pemerintah pusat yakni Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK). Di desa yang Amrullah pimpin, area hutan itu berstatus kawasan nonkehutanan. Wilayah perizinan begini lazim disebut areal penggunaan lain (APL) yang berarti boleh digarap. Pemerintah daerah, yakni kabupaten dan provinsi, adalah yang berwenang atas hutan tersebut.
Hutan di Desa Saka ini digolongkan sebagai areal bernilai konservasi tinggi (ABKT). Yang dimaksud ABKT adalah hamparan yang memiliki nilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati. Hamparan tersebut di luar kawasan konservasi seperti suaka alam dan kawasan pelestarian alam, biasanya di dalam APL (Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Tentang Petunjuk Teknis Penentuan Areal Bernilai Konservasi Tinggi, 2017).
Kabupaten Kutai Timur banyak sekali memiliki wilayah hutan di dalam APL, terutama izin perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah kabupaten maupun provinsi, ada 76.730 hektare --setara luas Kota Samarinda-- areal hutan yang masuk wilayah 98 izin perkebunan di Kutim. Dengan demikian, satu izin perkebunan rata-rata memiliki hutan seluas 775,05 hektare. Hamparan terluas ditemukan di konsesi PT Umaq Tukung Mandiri Utama yakni 5.632,19 hektare (Kajian Kebijakan Pengelolaan Areal Berhutan di Luar Kawasan Hutan, di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, 2020, hlm 18-19).
Areal hutan di dalam APL tersebar di 82 desa di Kutai Timur. Desa Kolek di Kecamatan Sangkulirang memiliki hutan terluas yakni 2.352 hektare. Selanjutnya, diikuti lima desa yaitu Desa Manubar, Desa Bumi Jaya, Desa Sandaran, Desa Mandu Dalam, dan Desa Batu Lepoq. Apabila wilayah hutan ini dikumpulkan berdasarkan kecamatan, areal terluas terdapat di Kecamatan Sangkulirang yakni lebih kurang 13.188 hektare. Kecamatan Sandaran menyusul dengan luas 5.860 hektare, dan Kecamatan Karangan 4.548,60 hektare (hlm 27).
Lantaran areal hutan di dalam izin usaha perkebunan, hutan-hutan di dalam APL ini secara hukum boleh ditebang. APL memang diperuntukkan menopang pembangunan sektor non-kehutanan. Makanya, sama sekali tidak mustahil jika hutan di dalam APL sewaktu-waktu hilang untuk memenuhi kebutuhan lahan, semisal perkebunan.
Di samping itu, kewenangan hutan golongan ABKT di dalam izin perkebunan mutlak di bawah Kementerian Pertanian. Masalah yang kemudian muncul adalah Kementerian Pertanian tidak memiliki konsentrasi khusus --sebagaimana Kementerian Kehutanan-- terhadap konservasi hutan. Belum lagi ketika pemegang izin perkebunan tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan hutan. ABKT di dalam kawasan perizinan pun kerap terbengkalai, dijadikan areal perkebunan, atau sekurang-kurangnya dirambah masyarakat.
Pemerintah Pusat telah menyadari persoalan tersebut. Melalui instruksinya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam inpres ini, presiden menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menunda pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan perkebunan kelapa sawit. Presiden juga menginstruksikan pembangunan ABKT dari pelepasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
Evaluasi Inpres
Selepas dua tahun diterbitkan, pelaksanaan inpres di lapangan mulai dievaluasi. Kementerian LHK yang bekerja sama dengan United Nation Development Programme (UNDP), lewat hibah dari Global Environment Facility (GEF), membentuk sebuah program bernama Kalimantan Forest Project (KalFor Project).
KalFor Project bertujuan membangun dan mengelola hutan ABKT di dalam APL termasuk di konsesi perkebunan. Selain Kutai Timur, program ini berjalan di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, serta di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Proyek Kalfor disebut cukup berani. Sebelum inpres terbit, nyaris tidak ada aturan yang menaungi pengelolaan hutan di dalam wilayah APL.
“Harus diakui pula, pada era terdahulu, mengelola kawasan konservasi di dalam kawasan bisnis adalah sesuatu yang hampir mustahil,” demikian Profesor Rudianto Amirta, dekan Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda. Fakultas Kehutanan memimpin evaluasi pelaksanaan inpres tersebut di Kaltim.
Ketua tim evaluasi, Heru Herlambang, menjelaskan bahwa pelaku usaha perkebunan yang berorientasi profit pada awalnya keberatan dengan inpres tersebut. Pengelolaan hutan ABKT di dalam lokasi izin akan membebani finansial perusahaan.
“Fakta yang kami temukan di lapangan, mereka (pelaku usaha) mengelola hutan di dalam wilayah perizinan ini masih ala kadarnya,” tambah Profesor Rudianto. Beberapa perusahaan hanya menjalankan kewajiban seperti mempertahankan area kuburan atau sempadan sungai dan lereng curam yang memang tidak mungkin ditanami kelapa sawit.
Di sisi yang lain, lahan hutan yang dikelola ala kadarnya ini seringkali “dirambah” masyarakat. Padahal, yang terjadi sebenarnya, masyarakat sekitar hutan tersebut juga ingin terlibat mengelola hutan untuk mempertahankan kehidupan mereka.
Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Amrullah --namanya memang persis dengan kepala Desa Saka yang ditulis di awal artikel ini--, mengatakan bahwa peran masyarakat justru amat penting. Jika tujuannya adalah menjaga kawasan hutan tetap lestari, kata Amrullah, peran masyarakat mutlak diperlukan. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem yang tidak bisa terpisah oleh kewenangan di antara lembaga negara.
Seiring waktu, kembali ke Profesor Rudianto, belakangan ini perusahaan mulai membangun kawasan hutan demi mendapatkan sertifikasi internasional. Sertifikasi seperti Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) diperlukan agar produk minyak sawit mentah diterima pasar global.
Inpres ini juga mulai mendapat sambutan positif karena dapat membekukan praktik mafia izin perkebunan. Mafia seperti ini biasanya berburu izin bukan untuk membangun perkebunan. Mereka mengincar kayu dari tebangan hutan belaka. Dampak negatif dari praktik kotor ini adalah deforestrasi yang dapat mengundang pemanasan global, gangguan tata kelola air, hingga musnahnya keanekaragaman hayati.
Rekomendasi Membangun Hutan
Universitas Mulawarman telah memetakan hutan di dalam APL di Kutim menurut jenisnya. Dari luas 37.603 hektare hutan yang telah diidentifikasi, 50,51 persen adalah hutan mangrove; sebesar 35,24 adalah hutan hujan dataran rendah, dan sebagian kecil adalah hutan kerangas, hutan karst, dan hutan rawa.
Ditelaah dari situ, potensi hutan ABKT di dalam APL sangat cocok dikelola dengan skema kawasan konservasi sesuai jenis hutan. Beberapa skema disorong tim Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Skema yang cocok adalah konservasi mangrove, kawasan lindung bentang Karst Mangkaliat, kawasan lindung sempadan sungai, dan kawasan ekosistem esensial.
Universitas turut merekomendasikan pembentukan badan pengelola ABKT sesuai kondisi tapak areal. Dalam Kalfor Project yang didanai dari Global Environment Facility, Kementerian LHK dan UNDP telah memilih tiga desa di Kutai Timur sebagai percontohan. Ketiganya adalah Desa Saka dan Desa Sempayau di Kecamatan Sangkulirang serta Desa Batu Lepoq di Kecamatan Karangan.
Ketiga desa tersebut mulai menyuplai bahan baku jamu penguat imunitas yang diproduksi Universitas Mulawarman pada masa pandemic Covid-19. Tanaman obat seperti daun kelor, meniran, jahe lokal , dan kunyit banyak ditemukan di kawasan tersebut. Ada yang tumbuh liar, ada pula yang dibudidaya masyarakat setempat.
“Kendala yang kami hadapi adalah ketersediaan lahan. Selama ini, untuk mengembangkan tanaman obat, warga desa harus meminjam lahan kepada perusahaan setempat,” kata Kepala Desa Batu Lepoq, Jumaah. Ia bersyukur, program Kalfor Project pelan-pelan menuntun desa menuju jalan keluar dari permasalahan tersebut.
Pendampingan masyarakat di ketiga desa ini dilakukan oleh Kawal Borneo Community Foundation (KBCF). Hendra selaku fasilitator KBCF mengatakan, masyarakat setempat amat antusias. Mereka berharap program yang merupakan turunan Inpres 8/2018 ini membawa nilai ekonomi dan pemberdayaan yang positif. Tidak ketinggalan pula, kaum perempuan dan generasi muda di ketiga desa terlibat dalam menyediakan pasokan bahan baku jamu.
“Pembangunan hutan di wilayah APL sudah sepatutnya memiliki kearifan lokal masing-masing. Kajian komprehensif di satu wilayah tertentu belum tentu tepat jika diaplikasikan di wilayah yang lain,” pesan Ary Sudijanto, perwakilan dari Direktorat Jenderal Planologi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, yang menjadi pemimpin sektor dalam proyek ini.
Optimisme pun menyeruak dari pelaksanaan Inpres 8/2018 di Kabupaten Kutai Timur. Bahwasanya, menyelamatkan hutan-hutan yang tersisa di dalam wilayah perkebunan bukan lagi “hil yang mustahal.” Lewat dukungan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat, areal tersebut justru membawa berkah bagi manusia maupun semesta.
“Air bersih, iklim yang terjaga, sungai yang berisi banyak ikan, serta flora dan fauna dengan begitu banyak manfaat dan khasiat, hanya bisa diperoleh ketika hutan tetap lestari,” pesan Profesor Rudianto.
Alam selalu memiliki caranya sendiri untuk berterima kasih kepada siapapun yang telah bersusah payah menjaganya. (*)