kaltimkece.id Rencana kelompok masyarakat sipil membicarakan kewenangan daerah menghadapi aktivitas tambang ilegal segera terlaksana. Dimotori Kelompok Kerja 30, dialog multipihak tersebut berjalan pada Kamis, 23 Desember 2021, pukul 09.00 Wita, di Hotel Mercure Samarinda, Jalan Mulawarman. Media siber kaltimkece.id akan menyiarkannya secara langsung di saluran Facebook dan Instagram media ini.
Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, menjelaskan bahwa diskusi tersebut bertajuk Pertambangan Batu Bara Tanpa Izin, Bagaimana Solusinya? Diskusi terselenggara berkat kerja sama dengan lembaga nonprofit Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
Ada tiga tujuan pertemuan tersebut. Pertama, mendapatkan informasi terkini mengenai upaya pencegahan dan penindakan pertambangan batu bara tanpa izin di Kaltim. Kedua adalah menghimpun pandangan kelompok pemangku kepentingan mengenai problem regulasi dan kebijakan, kewenangan, kelembagaan serta partisipasi masyarakat dalam kasus tersebut.
“Terakhir adalah menghasilkan kesepahaman bersama agenda prioritas perbaikan sektor pertambangan di Kaltim serta pemberantasan pertambangan batu bara tanpa izin,” terang Buyung.
_____________________________________________________PARIWARA
Dalam pandangan kelompok masyarakat sipil, Buyung menambahkan, pertambangan tanpa izin (peti) marak karena dua hal. Pertama, pelaku peti tidak melalui proses perizinan serta tidak melakukan kewajiban keuangan dan lingkungan. Kedua, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum karena belum adanya kejelasan regulasi dan kelembagaan, terutama setelah disahkannya UU Minerba. Ditambah lagi, lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan pertambangan, termasuk sulitnya masyarakat mengadu.
Sejumlah pihak diundang sebagai penanggap dalam diskusi ini. Mulai Gubernur Kaltim; Kepala Kepolisian Daerah Kaltim; Ketua Komisi III DPRD Kaltim; Dirjen Minerba, Kementerian ESDM; Dirjen Gakkum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kepala Dinas ESDM Kaltim, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kaltim, dan Kepala Perwakilan Ombudsman Kaltim. Ada pula Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Walhi Kaltim, serta Pokja 30.
Buyung menjelaskan, tata kelola pertambangan Indonesia memasuki babak baru melalui pengesahan Undang-Undang 3/2020. Beleid ini merupakan amandemen terhadap UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Dampak dari perubahan regulasi adalah penarikan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan. Baik aspek perizinan hingga pengawasan.
Sementara itu, peraturan pelaksana yang menjadi mandat UU 3/2020, khususnya pembinaan dan pengawasan, tak kunjung diterbitkan. Hal ini menjadikan situasi tata kelola pertambangan di ruang abu-abu yang berpotensi menimbulkan sejumlah persoalan baru. Sebagai contoh, maraknya tambang ilegal di Kaltim yang luput dari pengawasan.
Menurut data Jatam Kaltim, kurun waktu 2018-2021 setidaknya ada 151 lokasi peti di Kaltim. Jumlah itu tersebar di Kabupaten Kutai Kartanegara 107 titik, Samarinda 29 titik, Berau 11 titik, dan Penajam Paser Utara empat titik. (*)