kaltimkece.id Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah 25/2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid itu memuat aturan bahwa wilayah izin usaha pertambangan khusus dapat diberikan kepada organisasi masyarakat berbasis keagamaan. Nahdlatul Ulama (NU) melalui pengurus besar organisasi menjadi ormas pertama yang mengambil kesempatan tersebut. Dalam waktu dekat, PBNU akan menerima konsesi pertambangan batu bara yang berlokasi di Kaltim.
Kamis, 13 Juni 2024, Institute for Nahdliyin Studies of Eastern Indonesia (Insend) mengadakan forum bertajuk Bagaimana Ormas Kelola Tambang? Asman Azis selaku aktivis NU hadir sebagai narasumber. Ada pula Zulfatun Mahmudah, akademikus yang kerap bergelut di isu sosial pertambangan. Fathullah Syahrul dari Fores Indonesia menjadi moderatornya.
Asman Azis memulai paparan dengan menyayangkan sikap PBNU, dalam hal ini Yahya Cholil Tsaquh selaku ketua umum. Menurutnya, keputusan menerima konsesi pertambangan oleh PBNU tanpa komunikasi dengan pengurus NU di tingkat wilayah dan cabang. Meski menyatakan hadir di diskusi sebagai pribadi, Azman selaku wakil sekretaris Pengurus Wilayah NU (PWNU) Kaltim mengaku, belum ada komunikasi dari pusat perihal keputusan tersebut.
"Padahal, urusan tambang bukan urusan ecek-ecek," kritik lelaki yang juga dosen dari Universitas NU Kaltim tersebut.
Azman memaparkan bahwa keputusan PBNU hari ini kontradiktif dengan sikap PBNU beberapa tahun lalu. Pada Sidang Bahtsul Masail PBNU di Pondok Pesantren Al Manar Azhari, Depok, Mei 2015, hingga Muktamar Ke-33 di Jombang pada tahun yang sama, PBNU mengharamkan aktivitas pertambangan. PBNU waktu itu menilai industri ekstraktif dapat merusak alam sehingga menyerukan moratorium semua izin perusahaan pertambangan.
"Seolah-olah Gus Yahya ini lupa atau pura-pura lupa," ucapnya.
Keputusan PBNU beberapa tahun lalu yang mengharamkan eksploitasi sumber daya alam disebut Azman bukan tanpa dasar. Dalam salah satu kaidah fikih yang dianut NU, terangnya, disebutkan bahwa mencegah kerusakan lebih utama dibandingkan mengambil manfaat (dar'ul mafasi muqaddamun 'ala jalbil mashalih).
Berkaca dari kondisi di Kaltim, Azman menyampaikan beberapa kerusakan atau mafsadat yang timbul bila NU mengambil konsesi pertambangan dari pemerintah. Pertama, Azman menyoroti 49 anak yang telah tewas dikarenakan lubang bekas tambang di Kaltim sepanjang 2011 hingga 2024. Azman mengutip data Jaringan Advokasi Tambang Kaltim bahwa terdapat 1.735 lubang bekas tambang dengan total luas 1,32 juta hektare di Bumi Etam.
Kedua, bukan hanya menelan nyawa, aktivitas pertambangan disebut memengaruhi aspek kehidupan masyarakat. Mulai jalan-jalan yang amblas, rumah warga yang retak dan longsor, hingga penyakit seperti gatal-gatal dan gangguan pernapasan. Semua itu bersumber dari aktivitas pertambangan yang menghampiri permukiman warga.
"Akhirnya, lebih banyak mafsadat dibandingkan manfaat," tegasnya.
Pernyataan Gus Yahya mengenai pengelolaan pertambangan berkelanjutan juga tidak lepas dari kritik. Industri pertambangan, sebut Azman, tak memiliki sertifikasi yang dapat menjamin keberlanjutan pengelolaannya. Berbeda dengan industri perkayuan yang memiliki Forest Stewardship Council-Controlled Wood (FSC-CW), sertifikat sebagai jaminan pengelolaan yang tidak serampangan.
"Pada akhirnya, keputusan Gus Yahya tidak memiliki landasan fikih yang jelas," tegasnya.
Zulfatun Mahmudah, sebagai narasumber kedua melanjutkan diskusi. Ia mengatakan bahwa pendapatnya dalam diskusi ini tidak mewakili latar belakang organisasi atau instansi. Sebagai informasi, Zulfatun adalah akademikus di Universitas Gadjah Mada, konsultan di PT Kaltim Prima Coal, sekaligus wakil ketua Pengurus Cabang NU Kutai Timur.
"Apa yang saya dan Azman sampaikan ini hanya mewakili keresahan kami sebagai warga NU secara umum," sebutnya.
Zulfatun menilai keputusan PBNU mengambil konsesi tambang yang ditawarkan pemerintah sebagai langkah yang cenderung naif. Ia menilai, memiliki lahan tambang tak serta-merta mendatangkan cuan berlimpah.
Aktivitas di industri pertambangan, sebutnya, dimulai dengan modal awal. Mulai jaminan reklamasi, biaya eksplorasi, biaya konstruksi, hingga biaya produksi. Sebagai perbandingan, harga sebuah roda alat berat setara dengan satu unit Toyota Innova.
"Pertanyaannya, memangnya NU mampu menyiapkan dana sebesar itu?"
Zulfatun mencontohkan PT KPC yang menggelontorkan hingga USD570 juta sebagai investasi tahap awal. Biaya itu, jika dikonversikan, dapat mencapai triliunan rupiah.
"Sementara Gus Yahya, di beberapa kesempatan, selalu menyatakan bahwa NU itu melarat," ujarnya.
Tanpa modal awal, Zulfatun menilai PBNU hanya punya dua opsi. Pertama, meminjam dari bank. Kedua, melibatkan pihak ketiga. Kedua opsi ini disebut sama-sama penuh risiko. Apabila meminjam dari bank, PBNU memerlukan aset yang akan menjadi jaminan pinjaman. Sementara itu, jika memilih melibatkan pihak ketiga, PBNU hanya memperoleh fee dan tidak mempunyai kuasa penuh atas aktivitas produksi di lapangan.
"PBNU malah menjadi makelar pertambangan," ingatnya.
Keuntungan dari aktivitas pertambangan juga tak datang begitu saja. Terdapat beberapa tahap dari tahap eksplorasi, konstruksi, produksi hingga pemasaran. Tahap-tahap tersebut dapat memakan waktu bertahun-tahun hingga membuahkan hasil. Sementara, kepengurusan PBNU berganti tiap lima tahun sekali.
"Belum lagi jika nanti berganti rezim dan izin pertambangannya dicabut," sorotnya.
PBNU disebut hanya akan mempertaruhkan reputasinya dan itu tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan. Reputasi itu bukan hanya di hadapan masyarakat tetapi di kalangan warga NU. Risikonya adalah warga NU yang menurut Lembaga Survei Indonesia pada 2023 berjumlah setengah dari populasi di Indonesia dapat pindah ke ormas keagamaan lain yang bersikap tegas menolak konsesi tambang dari pemerintah.
"Kembalikan saja NU ke kodratnya. Bahwa NU itu bukan ladang bisnis tapi berkhidmat untuk umat," tegasnya.
Dalam banyak kesempatan, Gus Yahya selaku ketua umum PBNU telah berbicara mengenai keputusan organisasi. Dikutip dari sejumlah media nasional, Gus Yahya menegaskan akan menolak eksploitasi SDA jika dilakukan dengan cara yang tak benar sehingga menimbulkan mudarat. Hal itu ia sampaikan ketika ditanya mengenai keputusan Bahtsul Masail PBNU yang mengharamkan eksploitasi sumber daya alam pada 2015.
Gus Yahya melanjutkan, PBNU akan memberikan contoh mengelola sumber daya alam yang benar setelah mendapatkan izin tambang dari pemerintah. Ia mengatakan, persoalan tambang harus dilihat dari asal usulnya mendapatkan izin. Presiden Jokowi disebut ingin mencari jalan supaya distribusi pengelolaan sumber daya alam dapat merata. Pasalnya, ada ketimpangan distribusi dalam pengelolaan sumber daya alam saat ini.
"Kalau dilelang lagi, jatuh ke tangan mereka lagi [perusahaan tambang besar]. Ini enggak terjadi distribusi. Kalau dikasih sembarangan juga masalah. Maka ormas-ormas agama itu dijadikan sasaran tapi sasaran masuk akal. Ormas dipakai urusan agama dan sampai pada umatnya," ujarnya.
Sementara itu, menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, PBNU mendapat konsesi tambang batu bara bekas lahan PT KPC. Anak perusahaan dari PT Bumi Resources Tbk, grup Bakrie, itu memegang konsesi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang berakhir pada Desember 2021.
Pada awal 2022, PT KPC mendapatkan perpanjangan masa operasional namun dengan wilayah konsesi yang menciut. Dari luas konsesi PT KPC 84.938 hektare kini menjadi 61.543 hektare. Lebih dari 20 ribu hektare eks lahan PT KPC diproyeksikan diserahkan kepada PBNU. (*)