kaltimkece.id Kedua tangan Hendra sibuk membawa sebuah kardus ketika berjalan melewati koridor kampus. Kotak yang ia bawa itu penuh dengan bahan-bahan dari tanaman obat tradisional. Setelah bulan demi bulan mendampingi warga, tiba saatnya fasilitator Kawal Borneo Community Foundation itu membawa hasil panen. Semuanya akan diserahkan kepada para peneliti Universitas Mulawarman yang sedang membuat jamu penguat imunitas untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Pembuka Juni 2020 di selasar Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda, Hendra menemui Profesor Esti Handayani selaku ketua tim pembuatan jamu immune booster. Kepada guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan tersebut, Hendra menyerahkan bahan tanaman obat tradisional. Meniran, sambiloto, jahe, dan daun kelor, adalah bahan baku jamu yang diperoleh dari Desa Batu Lepoq di Kecamatan Sangkulirang, serta Desa Saka dan Desa Sempayau di Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur.
Keberhasilan tiga desa memasok bahan baku jamu penguat imunitas tidak lepas dari kerja sama apik sejumlah pihak. Kolaborasi ini bermula dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan United Nation Development Programme yang mengelola hibah dari Global Environment Facility. Sebuah proyek bernama Kalimantan Forest Project (KalFor) dibentuk lewat kerja sama ini. Tujuan dari program ini ialah membangun dan mengelola hutan di dalam areal penggunaan lain (APL) terutama di konsesi perkebunan kelapa sawit. Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat, Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Kutai Timur di Kalimantan Timur, menjadi daerah pilot program tersebut.
Tiga desa di Kutai Timur yang didampingi Hendra memiliki areal hutan di wilayah izin perusahaan sawit. Program Kalfor memberikan akses kepada warga di sekitar hutan untuk mengelola hutan tersebut. Dari hasil hutan bukan kayu, warga pun mengumpulkan dan membudidayakan bahan baku jamu tersebut. Ketika permintaan terhadap bahan baku tersebut meningkat pada masa pandemi, warga sekitar hutan pun kebagian penghasilan. Kesejahteraan warga sekitar hutan mulai meningkat.
“Sebelum program Kalfor ini, kami sangat kesulitan karena kawasan desa berada di dalam wilayah perusahaan. Sekarang, kami bisa mengelolanya,” terang Jumaah, kepala Desa Batu Lepoq.
Jumaah menambahkan, seluruh warga Desa Batu Lepoq sebenarnya siap menyediakan bahan baku jamu penguat imunitas. Dari areal hutan di desanya, daun kelor dan meniran tumbuh liar. Sementara untuk sambiloto dan jahe, warga setempat siap membudidayakan. Sepanjang permintaan dan pasar terbuka, kata Jumaah, warga desa dengan senang hati menanamnya.
“Kami sadar, ada nilai ekonomi di situ. Sejak kami tidak bisa lagi mengakses hutan, banyak warga yang terpaksa bekerja kasar di perusahaan atau pindah ke desa lain,” tuturnya.
Hendra dari KBCF yang mendampingi ketiga desa menambahkan, program Kalfor membawa dampak positif karena masyarakat merasakan nilai ekonomi dari hasil hutan bukan kayu. Yang paling mendasar adalah terbangunnya kesadaran warga untuk menjaga hutan. Kesadaran seperti itu merupakan tujuan utama dalam proyek Kalfor.
Hasil hutan bukan kayu bukan tanaman obat tradisional belaka. Potensi wisata hutan sangat terbuka. Jika dikelola dengan baik, dampak ekonomi bagi masyarakat setempat semakin banyak. Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Amrullah, mengamini hal tersebut. Masyarakat sekitar hutan di Kaltim sangat berpeluang mendapatkan potensi ekonomi dari sektor ini. Lagi pula, jelasnya, program Kalfor juga sejalan dengan kebijakan Pemprov Kaltim yang berusaha melibatkan masyarakat sekitar hutan.
“Program perhutanan sosial, kemitraan hutan, hingga hutan desa, termasuk proyek Kalfor, dapat menumbuhkembangkan masyarakat terutama di hutan dalam APL,” jelasnya.
Potensi ekowisata banyak ditemukan di ketiga desa tersebut. Di Desa Batu Lepoq, contohnya, terdapat goa tapak tangan di bentang karst, air terjun, hingga sumber air panas. Potensi ini sangat mungkin berkembang karena Batu Lepoq dekat dengan sejumlah objek ternama kelas dunia di Kabupaten Berau.
Dana Pemerintah bagi Desa yang Menjaga Hutan
Masyarakat di sekitar hutan perlu dukungan dari pemerintah untuk mendorong upaya menjaga areal hutan mereka. Atas kesadaran tersebut, proyek Kalfor menggagas skema bantuan keuangan bagi desa yang memiliki hutan di dalam APL. Konsepnya sederhana. Desa yang mampu menjaga dan mengelola hutan di dalam APL seperti di areal perusahaan akan menerima transfer keuangan.
Skema tersebut sebenarnya sudah diterapkan di banyak negara seperti Brazil, Portugal, India, Jerman, Australia, dan Swiss. Konsep tersebut dinamakan ecological fiscal transfer (EFT) atau transfer fiskal berbasis ekologi. Di Indonesia, wacana mengenai transfer fiskal ini berkembang sejak tiga tahun belakangan. Daerah yang sudah menerapkan skema tersebut ialah Kabupaten Jayapura di Papua serta Kabupaten Nunukan di Kalimantan Utara.
Setelah dikaji, mekanisme ini ternyata selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016 -2021 di Kutai Timur. Salah satu misi pemerintah kabupaten adalah mengoptimalkan pengelolaan ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang lebih baik dan lebih sehat bagi kehidupan manusia. Lagi pula, areal hutan yang masuk APL di Kutai Timur sangat besar. Berdasarkan pemetaan Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, luasnya mencapai 161.374 hektare, atau dua kali luas Kota Samarinda.
Parakayu adalah lembaga yang digandeng dalam proyek Kalfor untuk mengkaji skema insentif tersebut di Kutai Timur. Di Indonesia, mekanisme EFT disebut Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi atau TAKE. TAKE kemudian diadopsi Kutai Timur dengan nama alokasi anggaran berbasis hutan dan lingkungan. Melalui alokasi ini, dana pembangunan yang bersumber dari APBD Kutai Timur ditransfer ke APBDesa melalui alokasi dana desa (ADD).
“Sebenarnya, mekanisme insentif ini tidak mengubah besaran ADD. Pemkab hanya perlu mereformulasi ADD dengan menambahkan unsur anggaran berbasis ekologi,” urai Muhammad Nasir, tenaga ahli Parakayu.
Parakayu bersama Pemkab Kutai Timur masih mendiskusikan sejumlah variabel dan indikator untuk mendasari perhitungan transfer anggaran. Kendala yang dihadapi adalah pasokan data time series variabel tersebut. Sebagai contoh, transfer fiskal berbasis kinerja memerlukan data luas hutan setiap desa dari waktu ke waktu.
“Rencana transfer anggaran ini masih tahap memasuki diskusi ide dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan,” jelas Nasir. Selanjutnya, sambung dosen di Fakultas Hukum, Universitas Balikpapan ini, adalah penyusunan instrumen transfer fiskal melalui peraturan bupati. Jika peraturan bupati terbit, diadakan diseminasi atau penyebaran informasi. Setelah itu, barulah peraturan diterapkan dan dievaluasi.
Jika seluruh tahap berhasil dilewati, Kutai Timur akan menerapkan mekanisme insentif untuk desa seperti yang sudah Jayapura dan Nunukan lakukan. Di Jayapura, besar transfer fiskal berbasis ekologi adalah 3 persen (dari total ADD) berupa alokasi afirmasi dan 1 persen alokasi kinerja. Sementara di Nunukan, porsi alokasi afirmasi sebesar 2,5 persen sementara alokasi kinerja 5 persen. Alokasi afirmasi dihitung dengan memerhatikan status desa tertinggal dan desa sangat tertinggal, termasuk jumlah penduduk miskin. Sementara alokasi kinerja dihitung berdasarkan variabel berbasis ekologi. Sebagai contoh, kegiatan mencegah kebakaran hutan dan lahan atau menjaga sumber air di dalam APL.
Dari pendampingan desa, pengelolaan hutan oleh masyarakat, hingga mendorong transfer anggaran untuk desa, seluruh program Kalfor diyakini membawa manfaat berlipat-lipat bagi masyarakat. Ketika tiga desa berhasil melindungi hutan di dalam APL, akan banyak desa di Kaltim yang diyakini mengikuti konsep serupa.
“Keberhasilan program ini sangat penting karena Kaltim banyak sekali memiliki areal hutan di dalam APL. Jadi, sangat mungkin program ini direplikasi desa-desa yang lain,” tegas Amrullah, kadishut Kaltim.
Dari hasil hutan bukan kayu seperti tanaman obat dan ekowisata, warga memperoleh sumber penghidupan. Dari pengelolaan hutan di areal perusahaan, pemerintah desa setempat bisa mengoptimalkan ABPDesa yang dapat menyejahterakan masyarakat. Sementara bagi pemerintah dan masyarakat umum, hasil dari program Kalfor memberikan dampak nyata ketika hutan-hutan yang rentan rusak mampu diselamatkan. Sederet berkah itulah yang niscaya direngkuh dari sebuah keinginan menjaga kelestarian alam. (*)