kaltimkece.id Sembari menundukkan kepala dan menggunakan rompi berkelir magenta, pria berinisial AMR itu melangkahi tiap anak tangga gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Timur di Samarinda. Aparat penegak hukum pun membimbingnya ke mobil tahanan yang telah menanti di halaman kantor kejaksaan.
Senin, 19 Mei 2025, Kejati Kalimantan Timur menetapkan AMR sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan reklamasi pertambangan batu bara. AMR, yang juga mantan kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim periode 2010-2018 itu diduga menyelewengkan dana jaminan reklamasi (jamrek) CV Arjuna.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto, menjelaskan, sebagai perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), CV Arjuna berkewajiban melaksanakan reklamasi lahan pascatambang. Langkah itu dimulai dengan menyusun rencana reklamasi serta menempatkan dana jamrek dalam bentuk deposito dan bank garansi.
CV Arjuna disebut pernah menempatkan jaminan reklamasi untuk tahun 2010-2016. "Namun, pada 2016, Dinas ESDM Kaltim menyerahkan kembali jaminan reklamasi dalam bentuk deposito kepada CV Arjuna tanpa pertimbangan teknis, laporan pelaksanaan, maupun persetujuan pencairan dari pihak berwenang," kata Toni.
CV Arjuna pun mencairkan dana setelah menerima jaminan. Tapi perusahaan yang telah mengeruk emas hitam itu tidak melakukan reklamasi, tidak menempatkan kembali jaminan reklamasi, serta tidak memperpanjang dana dalam bentuk bank garansi. Lubang tambang pun ditinggalkan dalam kondisi menganga.
Pencairan dana tak sah itu menyebabkan negara mengalami kerugian. Di antaranya kerugian keuangan Rp13,2 miliar, kerugian atas jaminan reklamasi yang tidak diperpanjang Rp2,5 miliar, dan kerugian lingkungan akibat reklamasi yang tidak dilakukan mencapai Rp58 miliar.
AMR tak sendiri. Empat hari sebelumnya, Kejati telah menetapkan direktur utama CV Arjuna dengan inisial IEE sebagai tersangka. Kedua tersangka ditahan selama 20 hari di Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Samarinda.
Toni menjelaskan para tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU 20/2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Proses penyidikan masih terus berjalan untuk mengungkapkan peran pihak-pihak lainnya serta mempertanggungjawabkan kerugian negara yang ditimbulkan," ujar Toni.
Dari hasil penyelidikan, Kejati mengetahui bahwa CV Arjuna memegang IUP operasi produksi batu bara di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Samarinda. Izin operasi perusahaan seluas 1.452 hektare telah berakhir pada 6 September 2021.
Kepala Divisi Advokasi dan Database, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Windy Pranata menyebutkan CV Arjuna bukanlah nama baru dalam catatan pembuat masalah ekologi di Samarinda. Ia mengatakan CV Arjuna telah mengantongi izin pertambangan sejak 2007.
"Ketika itu kewenangan pertambangan masih berada di daerah," sebut Windy, "Sejak mengantongi izin pertambangan itulah perusahaan mulai mengeruk batu bara di Kelurahan Makroman."
Jatam Kaltim mencatat CV Arjuna telah menyebabkan beberapa persoalan. Pada 2008 misalnya, kolam lubang tambang perusahaan itu diduga jebol hingga mencemari persawahan dan area perikanan. Wahasil, lahan petani dan petambak yang berada di RT 11, 12, dan 13 itu rusak.
"Sejak itu ekonomi masyarakat mulai menurun drastis, sebagian putus asa karena rusaknya sawah dan menjualnya. Nggak cuma itu, pada Oktober 2009, 70 petani yang berasal dari RT 13 protes keras terhadap kejadian itu," bebernya.
Windy mengatakan masalah lingkungan kian terjadi berulang-kali, puncaknya pada Januari 2011. Ketika itu, sambung dia, banjir beserta lumpur merendam persawahan warga yang lokasinya tidak jauh dari tambang, sekitar 500 meter. Warga pun mendesak pemerintah untuk menutup tambang tersebut.
Di samping itu, Windy menjelaskan dari hasil pengecekan lapangan dan analisis spasial yang dilakukan Jatam Kaltim menunjukkan CV Arjuna meninggalkan delapan lubang tambang di Kelurahan Makroman. Lubang tambang yang dibiarkan itu juga mengakibatkan FAW, pria berusia 25 tahun meninggal dunia pada 31 Oktober 2021.
"Korban meninggal setelah berenang di salah satu lokasi kolam bekas tambang yang hingga akhir ini dibiarkan," katanya. Ia mengatakan kematian FAW itu merupakan korban ke-39 masyarakat yang meninggal akibat lubang tambang di Kalimantan Timur.
Dalam catatan Jatam Kaltim, setidaknya ada 47 warga meninggal akibat lubang tambang di Bumi Etam. Korban itu di antaranya 38 pria dan sembilan perempuan. Adapun 40 jiwa korbannya merupakan anak-anak, 6 dewasa dan satu belum diketahui.
Kota Samarinda, sambung Windy, merupakan daerah dengan kematian tertinggi akibat lubang tambang; 27 jiwa. Selanjutnya Kabupaten Kutai Kartanegara dengan 15 jiwa, Kabupaten Paser dengan 2 jiwa dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kutai Barat, juga Berau dengan satu jiwa.
Ia pun menilai berbagai masalah yang ditimbulkan akibat lubang tambang hingga adanya penetapan tersangka dalam dugaan korupsi dana jaminan reklamasi menunjukkan ada persoalan serius dari pengerukan emas hitam di Kaltim.
"Kami harap aparat penegak hukum untuk juga dapat memeriksa lubang yang ada di Kaltim, peristiwa Kelurahan Makroman adalah contoh nyata bahwa lubang itu jadi sumber masalah buat warga," tutupnya. (*)