kaltimkece.id Masalah lubang bekas galian tambang menjadi materi debat putaran kedua Pemilihan Presiden 2019 yang berlangsung Ahad malam, 17 Februari 2019. Sayangnya, tidak ada solusi konkret yang dipaparkan kedua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, terhadap teror lubang tambang yang telah merenggut 32 nyawa di Kaltim.
Pada sesi kedua debat, pertanyaan tim panelis adalah seputar langkah konkret terhadap 8 juta hektare lubang tambang yang belum direklamasi. Seluruh lubang tambang itu berasal dari perusahaan besar, tambang rakyat, hingga tambang ilegal.
Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, lebih dahulu menjawab. Dia menawarkan solusi untuk mengejar para pengusaha besar. Mereka harus dimintai tanggung jawab.
“Saya melihat di sini ada kolusi pejabat pemerintah dengan perusahaan besar,” tuturnya. Dia menghargai upaya pemerintah sekarang mengejar pemilik tambang tersebut. Namun, kata Prabowo, pemilik perusahaan besar mayoritas tidak di Indonesia. Permintaan tanggung jawab tersebut bisa dilakukan dengan saluran-saluran melalui pengadilan internasional.
“Bila terpilih, saya akan membentuk pemerintahan yang tegas soal permasalahan ini,” ujarnya.
Adapun capres petahana, Joko Widodo, mengatakan bahwa sejak 2015 pemerintah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kerja sama dalam bentuk program penyelamatan sumber daya alam. Selain dari sisi hukum, sudah terlihat beberapa lubang tambang sudah dihutankan kembali.
Dalam tinjauannya, Jokowi menuturkan, banyak kolam bekas tambang dimanfaatkan sebagai tempat budi daya ikan dan sarana rekreasi. “Memang belum semua, tapi bertahap,” ujarnya.
Moderator kembali memberi kesempatan kepada Prabowo. Namun, dia meminta menyudahi debat soal lubang tambang tersebut.
"Saya kira cukup, ya. Jangan bertele-tele. Kita ‘kan ingin sama-sama memberantas mafia lingkungan. ‘Kan begitu," ujar Prabowo seraya melanjutkan, "Kita jangan diadu-adu terus. Kalau kita tidak ada perbedaan, untuk apa lagi kita ribut."
Penonton bersorak. Moderator meminta Jokowi memberikan tanggapan.
"Ya, saya setuju saja," kata Jokowi singkat.
Buang Badan
Di Samarinda, debat putaran kedua disaksikan para penggiat lingkungan dalam nonton bareng yang diadakan Wahana Lingkungan Hidup Kaltim. Para aktivis kecewa karena isu yang sangat krusial bagi Kaltim justru disudahi oleh para capres. Tidak ada solusi konkret dari keduanya terhadap fakta 32 nyawa yang telah meninggal di lubang tambang dari 2011 hingga 2018.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, kedua capres hanya memberikan jawaban-jawaban substantif yang ingin didengarkan warga Kaltim.
“Capres 02 main aman, capres 01 juga tidak memberi gambaran konkret,” terang Rupang kepada kaltimkece.id, sejenak selepas debat.
Menurut pendataan Jatam, dari 8 juta hektare lubang tambang di seluruh Indonesia, maka 1.735 di antaranya berlokasi di Kaltim. Mengenai upaya meminta pertanggungjawaban melalui saluran internasional, Jatam menilai langkah itu terlalu muluk-muluk. Faktanya, dari 32 kasus lubang tambang yang menewaskan warga Kaltim, hanya sebagian kecil yang ditindaklanjuti di muka hukum Indonesia.
Solusi dari Jokowi setali tiga uang. Menjadikan lubang tambang sebagai tempat budi daya ikan dan tempat rekreasi bukan menyelesaikan persoalan. Bukan persoalan mudah mengalihfungsikan 1.700-an lubang tambang di Kaltim sebagai kolam ikan maupun tempat rekreasi. Solusi yang paling tepat adalah menekan perusahaan untuk melaksanakan kewajiban, menutup lubang tambang. Sebuah gerakan yang tidak nampak di sepanjang pemerintahan Jokowi.
“Dalam lawatan ke Kaltim, Jokowi justru melempar masalah ini kepada gubernur. Padahal, sebagian besar izin tambang diterbitkan pemerintah pusat,” kritik Jatam.
Bukannya mengeksplorasi kelemahan pemerintahan Jokowi dalam permasalahan lubang tambang, sayangnya, Prabowo justru menyudahi perdebatan. Rupang menduga, sikap Prabowo tak lepas dari oligarki tambang yang berdiri di balik kedua kubu. Prabowo pun, sesuai data Jatam, diketahui bermain di industri ini. Di Kaltim, Prabowo disebut memiliki kaitan dengan enam konsesi di dua kabupaten yakni Kutai Timur dan Berau.
“Lima di Kutai Timur, satu di Berau. Kalau dijumlah, luas konsesinya mencapai 72 ribu hektare,” tutur Rupang.
Data tersebut semestinya juga dipegang Jokowi. Anehnya, Jokowi sanggup menyinggung lahan yang dikuasai Prabowo di Kaltim, tetapi tidak menyinggung daya rusak tambang-tambang milik Prabowo. Jatam menduga, hal itu berkaitan erat dengan oligarki tambang yang menyokong pendanaan kedua capres.
Oligarki Tambang
Dalam publikasi laporan nasional Jatam, kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno disebut sebagai pemain lama dalam sektor tambang dan energi. Prabowo tercatat sebagai pemilik Nusantara Energy Resources yang menaungi 17 anak perusahaan. Beberapa di antaranya bergerak di bidang kelapa sawit dan tambang batu bara. Sementara Sandiaga Uno memiliki jejak di sejumlah perusahaan tambang, mulai dari Saratoga Group yang terhubung dengan Interra Resources Limited yang bisnisnya di bidang migas.
Kubu Prabowo-Sandi juga disebut Jatam berkelindan dengan Hutomo Mandala Putra sebagai pemilik PT Humpuss Group. Ada pula Maher Al Gadrie sebagai pemilik PT Kodel Group, dan Hashim Djokohadikusumo, yang memiliki PT Batu Hitam Perkasa.
Oligarki tambang juga disebut merasuk ke tim Jokowi-Ma’ruf Amin. Dari laporan biaya kampanye di Komisi Pemilihan Umum, Jatam mengindikasikan sebanyak 86 persen dari total sumbangan dana kampanye bersumber dari Perkumpulan Golfer TBIG. Diduga adalah PT Tower Bersama Infrastructure Group dan Perkumpulan Golfer TRG yang diduga adalah PT Teknologi Riset Global Investama. Pendiri kedua perusahaan tersebut bernama Wahyu Sakti Trenggono, yang dalam TKN Jokowi-Ma'ruf, memegang posisi bendahara. Di TRG, Wahyu menjabat sebagai komisaris sedangkan di TBIG sebagai pemegang saham.
Konklusi yang bisa ditarik dari debat capres putaran kedua adalah jauh dari kata relevan. Rupang menyebutkan, debat malam itu hanya debat para elite.
“Sangat menghindari akar permasalahan,” ujarnya.
Tak Petakan Aspek Sosial
Masalah pertambangan memiliki hubungan erat dengan tema swasembada pangan dalam debat. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda, Sri Murlianti, mengkritik hal tersebut. Menurutnya, birokrasi baik dari pusat hingga daerah hanya melihat pembangunan dari aspek hitung-hitungan ekonomi.
Bicara soal pangan mandiri, pemerintah ingin meraih swasembada. Faktanya, daerah lumbung padi di Kutai Kartanegara malah beralih menjadi tambang. Itu belum dihitung dengan lahan yang tak produktif lagi. Jika sawah di Pulau Jawa saja yang minim industri ekstraktif seperti batu bara bisa gagal panen, apalagi Kaltim. “Padi di Kaltim mungkin akan tumbuh, namun tak ada isinya,” sebut dia.
Sri Murlianti berharap, swasembada yang dimaksud bukan Orde Baru minded. Hanya menggenjot produksi dengan pupuk kimia dan obat-obatan. “Memang dalam satu waktu akan swasembada,” ujarnya. Namun, tanah akan rusak. Petani akan kebergantungan dan terpisah dari tradisi menanam non-kimiawi. (*)