kaltimkece.id Hewan berkaki empat itu melangkah di antara pohon meranti, bengkirai, dan keruing. Badannya yang ramping memudahkannya melewati ketiga tumbuhan famili dipterocarpaceae itu. Panjang dari hidung sampai ekornya berkisar 63-69 sentimeter. Bulu-bulunya berwarna cokelat tua berpadu sedikit abu-abu muda. Kaki dan ekornya bercorak kemerahan.
Demikian aktivitas seekor kucing merah di Blok D-1 sisi barat Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW), Balikpapan, yang tertangkap kamera pengawas pada Mei 2021. Berdasarkan peta, hewan itu ditemukan tak jauh dari aliran sungai. “Hutan itu pernah sekali terbakar pada 1998,” ungkap Manager Yayasan Pro Natura, Agusdin, kepada kaltimkece.id, Senin, 14 Februari 2022. Yayasan Pro Natura adalah pengelola HLSW.
Belum bisa dipastikan jenis kelamain kucing merah ini. Berdasarkan rekaman, kata Agus, kondisi kucing merah tampak sehat. Hal itu dilihat dari pergerakan kucing yang normal di hutan seluas 11 ribu hektare tersebut. Meski demikian, ancaman bukannya tak ada.
Agus menyebut, lokasi ditemukannya kucing merah tak kurang dari 1 kilometer dari jalan pendekat Jembatan Pulau Balang, jembatan penghubung Balikpapan-Penajam Paser Utara. Adapun jarak jalan pendekat itu dengan garis batas HLSW sekitar 500 meter. Semakin dekat sebuah habitat dengan aktivitas manusia diyakini samakin mengancam keselamatan hewan. “Bisa saja mereka terbunuh kala bertemu pemburu liar,” jelas Agus.
Agus bilang, tidak mudah menemukan kucing merah. Timnya butuh waktu berbulan-bulan untuk menemukan keberadaan hewan langka ini. Setelah penemuan pada Mei itu, kucing merah kembali tertangkap kamera di B-2 dekat hutan kemasyarakatan alias HKm pada bulan berikutnya. Kemudian enam bulan berikutnya di Blok C.
Agus menyebut, Blok C adalah lokasi terbaik bagi kucing merah. Blok tersebut adalah hutan primer dan tidak pernah terbakar. Akan tetapi, ancaman tetap ada. “Berdasarkan peta, perburuan satwa tertinggi di belakang HKm dan Blok C,” sebutnya.
Dia menyakini, ketiga kucing merah yang ditemukan pada 2021 adalah individu yang berbeda. Hal ini berdasarkan jarak titik-titik lokasi penemuan yang terlampau jauh. Lagi pula, kucing merah disebut tidak bisa hidup dalam satu teritorial yang sama.
“Mamalia dewasa, khususnya jantan, punya teritorial sendiri. Betina bisa ikut ke salah satu jantan,” terangnya.
_____________________________________________________PARIWARA
Ancaman Kucing Merah
The Internasional Union for Conservation of Nature's (IUCN) memasukkan kucing merah dengan nama latin Pardofalis badia ke daftar merah sebagai satwa yang terancam punah di dunia. Pemerintah juga melakukan hal yang sama dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah 7/1999. Dalam aturan tersebut, kucing merah ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi di Indonesia.
Peneliti Mamalia dari Pusat Riset Biologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gono Semiadi, mengungkapkan, penelitian mengenai kucing merah masih sedikit. Ia mengacu dari koleksi ilmiah satwa untuk diteliti. Koleksi ilmiah adalah jumlah objek yang tersimpan di suatu lembaga penelitian. “Dari catatan ini dapat diketahui bahwa masih sedikit kamera trap yang meneliti kucing merah,” ungkapnya.
Gono mengatakan, kucing merah sempat ditemukan dalam jumlah banyak di Sabah, Malaysia. Belum diketahui penyebab kemunculan hewan-hewan tersebut. Hanya saja, Gono meyakini, kucing merah di Sabah masih sejenis dengan yang di Kalimantan. Mengingat, daratan Kalimantan menyatu dengan daratan Malaysia dan Brunei Darusalam.
“Soal ada sedikit perbedaan daripada rambutnya, itu hal yang wajar karena tergantung lingkungan,” katanya.
Pada umumnya, sambung dia, kucing merah dapat dijumpai di daerah dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Namun, beberapa daerah seperti Serawak pernah dijumpai di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. Mengenai karakteristik, kucing merah disebut pintar berkamuflase karena warna merah yang mendominasi tubuhnya selaras dengan kondisi lingkungannya. Kucing merah juga bisa ditemukan di sekitaran sungai. Biasanya, dia mencari makan di situ.
“Makanannya yaitu mamalia kecil atau tumbuhan seperti burung, tikus, hingga bajing,” sebut Gono.
Gono menyarankan agar pihak berwenang mendata satwa-satwa di lingkungan ibu kota negara baru, termasuk kucing merah. Hal ini diperlukan untuk memitigasi dan menjaga seluruh satwa dari ancaman buruk akibat pembangunan IKN.
Akademisi Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Rustam, mengamini pendapat Gono soal minimnya penelitian dan informasi tentang kucing merah. Dari sekian banyak hutan di Kaltim, berdasarkan penilitian Rustam, baru HLSW yang sudah dipastikan terdapat kucing merah. “Karena memang jumlah populasinya tidak terlalu banyak. Jadi, tidak banyak ditemukan,” katanya kepada kaltimkece.id.
Dia menjelaskan, kucing merah hanya dapat dijumpai di hutan primer yang terdapat sungai. Kucing hutan disebut enggan tinggal di hutan yang banyak aktivitas manusia, terutama di hutan sekunder atau perkebunan sawit. Melihat ciri-ciri tersebut, Rustam menduga kuat, kucing merah juga ada di Taman Nasional Kutai, Kutai Timur. “Tapi, itu belum terbukti,” ingatnya.
_____________________________________________________INFOGRAFIK
Rustam mengatakan, jumlah kucing merah sedikit karena habitatnnya sudah diganggu oleh pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan pertambangan. Pembukaan lahan disebut membuat mamalia itu sulit beradaptasi. “Kalau hutannya terganggu, dia tidak punya pilihan, mencari hutan yang bagus atau mati,” jelasnya.
Dia turut menjelaskan penyebab penelitian kucing merah minim. Hal ini dikarenakan operasi penelitian tidak mudah. Apalagi, kucing merah yang hanya ada di hutan primer membuat biaya penelitiannya besar dan memakan waktu lama. Lagi pula, kebanyakan hutan primer di Kaltim tidak mudah diakses. “Inilah mengapa kucing merah tidak seksi untuk diteliti,” ucapnya.
Ia pun mengungkapkan kekhawatirannya mengenai keberlangsungan hidup kucing hutan di HLSW. Masalahnya, hutan tersebut dekat dengan lokasi IKN yang direncanakan dibangun gedung-gedung. Rustam tahu, pemerintah menggaungkan konsep forest city dalam pembangunan IKN baru. Tapi, menurutnya, konsep tersebut belum jelas.
Rustam pernah mengusulkan kepada Bappenas mengenai adanya koridor antara HLSW dengan IKN. Koridor ini diyakini dapat meminimalisasi aktivitas pembangunan yang dapat membahayakan satwa-satwa di HLSW.
“Kucing merah adalah endemik yang sangat bergantung dengan tutupan hutan primer dan water frasa area. Dan dia adalah bio indikator hutan terbaik di Kalimantan,” ucapnya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, Ivan Yusfi Noor, sependapat dengan Rustam mengenai minim penelitian kucing merah karena dinilai kurang menarik. Tapi, ia enggan menanggapi mengenai masalah yang ada di HLSW karena bukan kewenangannya. Meski begitu, dia berjanji mengecek masalah tersebut.
“Yang jelas, kami belum ada mendapat laporan soal kucing merah dipelihara manusia,” jelas Ivan. Ia menambahkan, timnya sedang fokus mendata penyebaran kuncing merah di Kaltim. (*)
Editor: Surya Aditya