kaltimkece.id Kaltim adalah penyumbang kawasan hutan mangrove terbesar kedua Indonesia. Ada 364 ribu hektare hutan bakau di provinsi ini. Hampir setengahnya atau 150 ribu hektare, terletak di kawasan Delta Mahakam, pesisir Kutai Kartanegara. Akan tetapi, hutan mangrove di Delta Mahakam diperkirakan terus berkurang setelah puluhan tahun. Budi daya udang dan ikan dituding sebagai penyebabnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memaparkan empat fase deforestasi kawasan mangrove Delta Mahakam. Fase deforestasi atau pengawahutanan yang pertama pada 1980-an. Saat itu, hutan masih didominasi tumbuhan nipah, api-api (Avicennia alba), Heritiera littoralis, Rhizophora spp, dan Sonneratia spp. Pohon-pohon itu kemudian ditebang karena alih fungsi hutan menjadi tambak udang (Forest Reference Emission Level for Mangrove Forest in Mahakam Delta, Frida Sidik, Bambang Supriyanto, Mega Lugina, 2017).
Pernyataan riset itu dibenarkan Ketua Yayasan Mangrove Lestari Delta Mahakam, Ahmad Nuriawan. Pada fase pertama ini, terangnya, baru 15 persen lahan hutan yang terokupansi. “Itu pun, di daerah pesisir sekali,” terang Angga, sapaan akrabnya, kepada kaltimkece.id, Selasa, 8 Mei 2021.
Fase pengawahutanan yang kedua terjadi pada periode 1980-2001. Deforestasi disebut mencapai puncaknya. Sebanyak 74,8 ribu hektare lahan hutan bertransformasi menjadi tambak. Kecepatan pembangunan tambak mencapai 3.230 hektare per tahun. Laju deforestasi yang meningkat pada fase kedua ini selaras dengan pembangunan kolam buatan. Hampir 75 persen area mangrove Delta Mahakam hilang, berubah menjadi tambak budi daya dua udang windu dan ikan bandeng.
“Faktor ekspor dan krisis moneter menyebabkan nilai dollar naik. Harga udang melambung dari Rp 12 ribu menjadi Rp 200 ribu per kilogram. Warga ramai-ramai menjadi petambak,” terang Angga.
Fase ketiga pada 2004 ketika kawasan mangrove beregenerasi secara alami maupun penanaman ulang. Luas hutan bakau naik 10 ribu hektare. Regenerasi disebabkan banyak tambak yang produksinya menurun dan ditinggalkan. Dalam penelitian yang lain, ditemukan penambahan 5.700 hektare tambak baru pada 2005. Total luas tambak di Delta Mahakam mencapai 62 ribu hektare pada 2010. Hingga sekarang, totalnya 86 ribu hektare tambak atau separuh dari 150 ribu hektare kawasan hutan di Delta Mahakam. Hanya 23 hektare kawasan hutan yang masih bisa dipertahankan (Peluang dan Strategi Pengurangan Emisi di Kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, 2020).
Angga mengatakan, ada beberapa solusi untuk menjaga kawasan Delta Mahakam. Pertama adalah penanaman kembali pohon mangrove. Dalam kurun 2013-2020, lembaganya telah mereboisasi di enam titik yaitu Muara Pantuan (159.350 bibit), Handil Terusan (20.000 bibit), Desa Saliki (217.370 bibit), Pulau Lerong/Taddutan (220.810 bibit), Pulau Letung (20.000 bibit), dan Tanjung Limau (40.000 bibit).
“Totalnya 667.530 bibit,” terang Angga.
Metode Silvofishery
Metode kedua adalah mengorganisasi masyarakat untuk beralih dari metode tambak konvensional ke metode silvofishery. Bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara, dua kelompok petani dan budi daya ikan difasilitasi sejak 2019. Keduanya adalah Kelompok Tani Hutan Ramah Lingkungan Salo Sumbala dan Kelompok Budi Daya Ikan Salo Sumbala Sejahtera.
Metode silvofishery menekankan paradigma budi daya ikan yang bekelanjutan. Ada dua tipe silvofishery yaitu empang parit (tambak tumpang sari) dan komplangan. Dalam metode empang parit, tempat budi daya dimulai dengan membuat sebuah saluran air yang mengelilingi tambak. Tumbuhan mangrove kemudian ditanam di tengah tambak. Dengan begitu, terjadi keterpaduan antara tumbuhan (silvo) dengan hewan (fishery).
Sistem empang parit mampu mereforestasi lahan hingga 80 persen dari luas tambak. Mangrove ditanam dengan jarak 1 x 1 meter antarpohon. Lebar kanal pemeliharaan adalah 3-5 meter dengan kedalaman sekitar 40-80 sentimeter dari muka pelataran. Dengan desain dasar tersebut, berbagai jenis ikan seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, baronang, hingga kepiting bakau, dapat dipelihara secara itensif di dalam kanal.
Tipe kedua adalah komplangan. Desain tambak dibuat berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang ditanami mangrove. Lahan dibuat terpisah dalam dua hamparan yang diatur saluran air dengan dua pintu. Luas arealnya rata-rata 2-4 hektare. Angga mengatakan, model ini merupakan metode budi daya air payau dengan input rendah. Metode ini mampu mereduksi dampak negatif terhadap ekosistem mangrove.
“Mangrove itu juga menguatkan imun komoditas (ikan dan udang). Unsur hara dari akar menjaga kadar pH air tidak fluktuatif,” ucapnya.
Ketua (Pokdakan) Salo Sumbala Sejahtera, Ramli, mengaku bahwa konsep silvofishery diterapkan di tambaknya yang berukuran 4 hektare. Sejak 2018, komoditas ikan bandeng dan udang windu yang ia budi dayakan jarang terserang penyakit. Mantan pegawai perusahaan migas itu menambahkan, hasil tambak sudah lebih dari cukup untuk hidup. Panennya pernah diekspor ke mancanegara seperti Jepang dan Amerika lewat jasa tengkulak.
“Alhamdulillah, padahal sistem kami betul-betul tradisional. Kemarin, satu tebar jala saja, seekor udang bisa mencapai 100 gram saking besarnya,” bebernya.
Menambak dengan Legal
Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Unit Pelaksana Teknis, Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Kawasan (UPTD KPHP) Delta Mahakam, Fransiskus Xaverius Bobby, memberikan penjelasan. Menurutnya, pertambakan sebenarnya diperbolehkan karena kawasan Delta Mahakam tergolong hutan produksi. Akan tetapi, petambak harus legal sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut-Ii/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan.
Petambak harus mengajukan izin ketika hendak berusaha di kawasan hutan kepada Kementerian Kehutanan. Izin tersebut memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan secara legal.
“Tetapi tetap memperhatikan kelestarian lingkungan,” ingat Bobby.
Pengajuan izin ini secara berjenjang. Ada verifikasi berulang oleh tim di tingkat UPTD KPHP hingga kementerian. Bobby mengatakan, syarat utama mengelola hutan adalah masyarakat setempat yang dibuktikan lewat KTP. Bobby tak membantah penambakan yang masif menyebabkan deforestasi di kawasan Delta Mahakam. Akan tetapi, kondisi Delta Mahakam sedang dalam kondisi stagnan.
“Tambaknya di situ-situ saja. Tidak ekspansif ke hutan lagi,” ucapnya.
Di sisi lain, UPTD KPHP menemukan bahwa metode silvofishery saat ini digemari ketimbang metode konvensional. Bobby mengatakan, sosialisasi dan pendekatan persuasif kepada masyarakat untuk menjaga hutan lewat metode tersebut. Bagaimanapun, secara historis, masyarakat sudah lama hidup dan mengelola hutan mangrove di Delta Mahakam.
“Kami memberikan kesempatan agar usaha kolektif dan penghidupan mereka bisa legal tetapi tetap komit menjaga lingkungan,” tutupnya. (*)
Editor: Fel GM