kaltimkece.id "Satu-satunya provinsi di Indonesia yang mendapatkan dana emisi karbon, nilainya Rp1,6 triliun!"
Dalam sebuah potongan video dari akun Instagram @isran.noor.official yang ditayangkan 10 Oktober 2024, membanggakan keberhasilan Isran Noor dalam mendapatkan dana karbon dari Bank Dunia. Cuplikan video itu mengungkapkan bahwa dana tersebut telah "dicicil" sejak 2023, dan akan terus dibayarkan sampai 2025.
Dalam video lain yang tayang pada 17 September, Isran mengisahkan awal mula bagaimana ia mendapatkan dana karbon. Dengan gaya khasnya, ia bercerita bahwa sempat mengancam akan membakar hutan di Kaltim jika negara-negara maju tidak memberikan kompensasi dana karbon atas jasa Kaltim menjaga hutan.
Saat itu, Isran memberikan batas waktu enam bulan bagi negara-negara yang menghadiri Konferensi Perubahan Iklimatau Climate Change Conference di Glasgow, Skotlandia, pada November 2022. Setelah pertemuan para pihak yang disebut Conference of the Parties ke-26 (COP26) itu, kurang dari tiga bulan, Bank Dunia mengirimkan surat komitmen untuk membayar dana karbon.
"Padahal siapa juga yang mau membabat hutan," ucapnya disambut gelak tawa.
Dalam pidato terakhir sebagai gubernur Kaltim pada 4 Oktober 2023, Isran juga mengutarakan keinginannya untuk berbisnis dana karbon sebagai pengusaha selepas menjabat. Ia bahkan berseloroh, bahwa keesokan harinya ia akan berangkat ke London untuk tanda tangan kerja sama perdagangan karbon.
Apa sebenarnya dana karbon? Mengapa ia bisa diperjual-belikan?
Rabu, 13 November 2024, organisasi nirlaba Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional mengadakan diskusi bertajuk "Membongkar Narasi Palsu Perdagangan Karbon". Diskusi yang diadakan di Gedung Eksekutif Nasional Walhi di Mampang, Jakarta Selatan itu menghadirkan beberapa narasumber yang terdiri dari pakar ekonomi hingga aktivis lingkungan.
Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratik memulai diskusi dengan menjelaskan awal mula perdagangan karbon. Wacana ini dimulai pada 1992 di Rio de Janeiro, berlanjut pada 1997 dengan Protokol Kyoto hingga kemudian disepakati di Konferensi Perubahan Iklim di Bali (COP13) pada 2007, yang menyepakati kebijakan yang disebut REDD atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation.
Dari pertemuan-pertemuan itu, negara-negara di dunia kemudian bersepakat bahwa negara dan perusahaan penghasil emisi membayar negara yang menjaga hutan sebagai "kompensasi" dalam penyerapan karbon yang telah dihasilkan di udara.
"Dibuatlah fiksi bahwa polusi dari cerobong asap industri itu dapat dinetralkan dengan menjaga hutan tropis," sebut Hendro.
Beberapa tahun berlalu, sampai kemudian Indonesia mendapatkan dana karbon dari hasil kesepakatan tersebut. Provinsi Kaltim, lanjut Hendro, menjadi penerima pertama dana karbon pada 2022. "Ratusan juta dollar itu kemudian dibagi-bagikan gubernur Kaltim saat itu (Isran Noor)," sebutnya.
Sayangnya, ia menilai pembagian dana karbon itu sebagai "ilusi" dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan. Dibandingkan mengurangi emisi karbon, dana itu justru seperti lisensi bagi perusahaan-perusahaan energi fosil untuk terus melanjutkan operasinya dikarenakan telah mengeluarkan dana untuk konservasi hutan.
"Anggap saya warga di hulu Mahakam dapat Rp 200 juta dari gubernur, saya tidak tahu siapa yang mengalami bencana lingkungan di daerah lain dari uang yang saya terima," ucapnya.
Bhima Yudistira, Direktur Center of Economic and Law Studies melanjutkan diskusi. Ia menyayangkan bagaimana mekanisme pemberian dana karbon kemudian berlanjut hingga ke pasar saham dan menjadi bursa karbon di pasar saham.
Bursa karbon, sebutnya, menghasilkan konflik agraria baru. Jika sebelumnya yang terjadi adalah penebangan hutan atau deforestasi, kini yang terjadi adalah pengadaan hutan atau aforestasi untuk kepentingan bisnis berupa "kredit karbon" yang dapat dijual di bursa saham.
"Jadinya menghasilkan kolonialisme hutan, beli hutan masyarakat adat, kemudian masyarakat yang tinggal di sana diusir," ucapnya.
Ia juga memaparkan studi University of Cambridge, di mana 90 persen sertifikat karbon yang dijual di bursa ternyata tipu-tipu belaka. Dalam riset tersebut, banyak daerah yang diklaim sebagai hutan alam ternyata tak ada satu pun pohon di sana. "Masalahnya verifikatornya juga sarat konflik kepentingan karena mereka sedang jualan," sebutnya.
Bhima menilai, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menagih utang atas krisis iklim yang disebabkan negara-negara Barat. Sebagai tempat revolusi industri bermula, negara-negara barat ia sebut telah menghasilkan emisi karbon sejak ratusan tahun lalu. "Bukan justru berdagang karbon," keluhnya.
Serupa dengan Hendro selaku pembicara pertama, Bhima menilai bahwa dana karbon justru memberikan legitimasi bagi pabrik-pabrik penghasil emisi untuk melanjutkan operasinya.
Uli Arta Siagian selaku Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengamini pemaparan Bhima. Ia menilai, pemerintah tak punya komitmen bagi penurunan emisi karbon selain menjadikannya sebagai komoditas.
Ia menyoroti kehadiran Hashim Djojohadikusumo sebagai utusan Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim di Azerbaijan (COP29) yang saat ini sedang berlangsung hingga 22 November mendatang. Hashim Djojohadikusumo, yang mempunyai latar belakang pengusaha justru seperti sedang mendagangkan karbon Indonesia ke dunia.
"Ibaratnya, kami punya kredit karbon lho, bagi perusahaan bisa beli kredit karbon kami," ujarnya menirukan ucapan Hashim dalam pidato di COP29.
Ia juga menilai bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proyek dana karbon perlu ditelisik. Lahan yang dipakai dalam proyek dana karbon, klaimnya, sebagian merupakan milik korporasi-korporasi besar yang ingin mengerek keuntungan besar.
"Kerja sama dana karbon di Kaltim, misalnya, coba cek siapa makelarnya di Jakarta," tanyanya. Berdasarkan penelusuran Walhi, ia menyebutkan bahwa sebagian merupakan perusahaan yang juga bergerak di bidang perkebunan sawit.
Mengakhiri pemaparannya, Uli menganggap bahwa perdagangan karbon bukanlah solusi dalam mengatasi krisis iklim. Serupa dengan Bhima, ia menyoroti pelepasan emisi karbon yang masih berlangsung.
"Seharusnya tidak ada lagi pembangkit listrik tenaga uap maupun izin-izin baru untuk industri ekstraktif," pungkasnya. (*)