kaltimkece.id Debat calon wakil presiden pada Ahad, 21 Januari 2024, di Jakarta Convention Centre, mengambil tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat, dan Desa. Dalam sesi adu argumen, biodiesel sebagai energi hijau berbahan nabati disampaikan cawapres nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka. Wali Kota Solo itu mengatakan bahwa biodiesel B-35 merupakan contoh hasil olahan minyak sawit yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar minyak.
B-35 merupakan sebutan untuk pencampuran 35 persen olahan minyak sawit dengan 65 persen BBM jenis solar. Menurut Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10.E/EK.05/DJE/2022, kebijakan itu dimulai sejak Februari 2023. Biodiesel disebut mampu menurunkan nilai impor minyak dan meningkatkan nilai tambah produksi sawit dalam negeri. Bahan bakar ini juga lebih ramah lingkungan dibanding energi fosil.
kaltimkece.id melihat peta Hutan Tanaman Energi yang dikeluarkan oleh PT PLN (Persero) untuk mengetahui potensi biodiesel. Sejumlah provinsi, menurut peta tersebut, memiliki kemampuan mendukung kebijakan bioenergi. Kaltim bersama Aceh, Jambi, serta Sumatera Selatan, adalah provinsi yang diyakini mampu berkontribusi.
Menurut Dinas Perkebunan Kaltim, luas perkebunan sawit di Bumi Mulawarman telah menembus 1,41 juta hektare per Oktober 2023. Luas itu memangsa lebih dari 10 persen daratan Kaltim.
Kendati demikian, perkebunan sawit yang luas belum selaras dengan produksi biodiesel. Kaltim hanya menghasilkan 1,37 juta kiloliter biodiesel. Sebagai perbandingan, produsen biodiesel terbesar di Indonesia adalah Riau. Jawa Timur di urutan kedua dengan produksi 3,88 juta kiloliter.
Wakil Ketua I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Hendro Setyo Aji, menjelaskan penyebab Kaltim belum mampu mengoptimalkan potensi biodiesel. Ia mengatakan, provinsi ini belum memiliki industri hilir dari kelapa sawit.
Kaltim sebenarnya memiliki dua perusahaan yang mampu menjadi produsen biodiesel. Keduanya yaitu PT Kutai Refinery Nusantara di Balikpapan dan PT Energi Unggul Persada di Bontang. Namun demikian, Hendro menyebutkan, perusahaan-perusahaan tersebut tidak mengolah biodiesel.
"Mereka hanya menyimpan CPO (crude palm oil) untuk disalurkan ke pabrik di Jawa dan Riau," sebutnya dalam webinar bertajuk Meneropong Bioenergi di Tangan Capres dan Cawapres 2024-2029 yang diadakan pada pembuka Januari 2024.
Jawa Timur, walaupun hanya memiliki 2.000 hektare kebun sawit, menjadi pemain utama biodiesel. Hendro menjelaskan bahwa hal itu karena Jawa Timur punya empat pabrik pengolahan biodiesel.
Lebih dari itu, Hendro mengatakan, tetangga Kaltim yaitu Kalimantan Selatan justru telah serius memproduksi biodiesel. Pada 2021, di bawah perusahaan PT Jhonlin Agro Raya, Kalsel memiliki pabrik biodiesel dengan kapasitas 1.500 ton per hari. Perusahaan milik pengusaha yang akrab disapa Haji Isam tersebut menggelontorkan investasi Rp 2 triliun untuk membangun empat smelter.
"Kaltim masih kalah dengan Kalsel," terangnya. Ketiadaan industri hilir kelapa sawit menyebabkan Kaltim kehilangan potensi nilai tambah penjualan minyak sawit.
Ancaman Lingkungan
Selalu ada dua sisi mata uang. Berbeda dengan energi fosil, biodiesel sering dianggap sebagai energi masa depan karena terbarukan. Di sisi lain, produksi biodiesel besar-besaran disebut dapat menjadi ancaman serius bagi lingkungan.
Tommy Pratama dari Traction Energy Asia menyatakan, biodiesel bukan solusi paling tepat dalam transisi energi hijau. Saat ini, konsumsi minyak goreng dari olahan minyak sawit masih cukup besar.
Ia memaparkan bahwa konsumsi minyak goreng serta biodiesel dari turunan minyak sawit kejar-mengejar dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, konsumsi minyak goreng mencapai 8,9 juta ton. Adapun konsumsi biodiesel, sebesar 7,3 juta ton. Setahun berikutnya, konsumsi minyak goreng naik menjadi 9,6 juta ton dan konsumsi biodiesel sebesar 8,8 juta ton.
"Yang terjadi adalah alokasi sumber daya pangan," sebutnya.
Kajian bersama LPEM Unviersitas Indonesia dan Greenpeace memperkuat argumen tersebut. Apabila biodiesel terus digenjot, pemerintah akan membutuhkan tambahan lahan sawit seluas 9,3 juta hektare. Selain ancaman terhadap pangan, Tommy menilai, kebijakan ini dapat memicu konflik agraria yang lebih luas.
Pakar klimatologi dari Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, Akas Pinaringan Sujalu, menambahkan bahwa ekspansi lahan sawit juga memicu berkurangnya hutan hujan tropis di Kaltim. Imbas terburuknya adalah memicu krisis iklim.
"Seluas apapun kebun sawit, tidak dapat menggantikan (fungsi ekologis) hutan hujan tropis," tegasnya.
Akas Pinaringan menerangkan, hutan hujan tropis berfungsi menghasilkan uap air yang dapat menjadi hujan. Kebun sawit tidak mempunyai karakteristik serupa.
Lagi pula, menurut data World Resource Institute, Kaltim telah kehilangan 1,12 juta hektare hutan hujan tropis. Dari jumlah tersebut, sebagian telah menjadi perkebunan sawit. Akas menambahkan bahwa dampaknya bukan hanya kepada Kaltim melainkan seluruh dunia jika fenomena ini terus berlanjut. Kalimantan, bagaimanapun, adalah paru-paru dunia. (*)