kaltimkece.id Penampilan Prof Abdunnur hari itu tak biasa. Ia memakai toga lengkap berkalung gordon berwarna keemasan dengan logo Universitas Mulawarman. Jumat, 11 April 2025, Rektor Unmul itu bukan sedang menghadiri proses wisuda. Didampingi beberapa dosen serta mahasiswa dari Fakultas Kehutanan (Fahutan) Unmul, ia memberikan pernyataan sikap terkait dugaan penambangan ilegal di kawasan hutan pendidikan yang dikelola Unmul.
"Sebagai insan akademik yang menjunjung tinggi nilai keadilan, kebenaran, dan integritas, kami tidak akan tinggal diam," tuturnya.
Kehebohan sivitas akademika Unmul dimulai saat Kawasan Hutan Lempake di Samarinda Utara, dilaporkan terdapat bukaan lahaan oleh aktivitas pertambangan. Sebagian lahan seluas 3,2 hektare pun telah rata dengan tanah.
Padahal, menurut SK.241/MENLHK/SETJEN/PLA.0/6/2020 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kawasan Hutan Lempake seluas 299,03 hektare ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK), untuk pendidikan dan pelatihan kehutanan yang dikelola Fahutan Unmul.
Atas peristiwa tersebut, Prof Abdunnur merilis pernyataan sikap yang ia tanda tangani bersama Dekan Fakultas Kehutanan Irawan Wijaya Kusuma. Turut menandatangi dalam pernyataan sikap, Ketua Badan Eksekutif Mahasiwa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Unmul Muhammad Ilham Maulana, serta Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa Sylva Fakultas Kehutanan, Muhammad Nova Ramadhan.
Abdunnur menyatakan bahwa sivitas akademika Unmul dengan tegas dan berkomitmen untuk mengawal kasus aktivitas penambangan ilegal tersebut hingga tuntasi. Ia pun menganggap penambangan ilegal mencederai prinsip hukum, kemanusiaan, serta nilai-nilai demokrasi yang dianut sivitas akademika Unmul. Seluruh sivitas akademika Unmul pun akan dilibatkan secara aktif dalam penolakan terhadap aktivitas tersebut.
Terakhir, lanjutnya, sivitas akademika Unmul menuntut penuntasan kasus penambangan ilegal secara terbuka dan transparan oleh penegak hukum. Sivitas akademika Unmul juga menolak intervensi dari pihak manapun dalam penanganan kasus tersebut.
"Kami dengan tegas menolak segala aktivitas pertambangan yang berada di kawasan Unmul," tandas Abdunnur.
Secara terpisah, Presiden BEM KM Muhammad Ilham Maulana menuturkan bahwa aktivitas tambang ilegal di Kawasan Hutan Lempake mengganggu aktivitas sivitas akademika Unmul. Mulai dari penelitian hingga proses perkuliahan Fahutan Unmul yang kerap dilakukan di Kawasan Hutan Lempake, ikut terdampak.
"Cukup sudah Kaltim diacak-acak oleh tambang, jangan sampai kawasan hutan Unmul ikut diobrak-abrik juga," ucapnya tegas.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Mareta Sari turut memberikan tanggapan. Ia mengapresiasi langkah penolakan yang dilakukan oleh sivitas akademika Unmul. Dirinya pun menyayangkan langkah penegak hukum yang dinilai lamban.
"Sepekan itu waktu yang cukup lama, padahal sudah jelas dari video yang beredar adanya aktivitas alat berat," ucapnya.
Ia pun berkaca pada peristiwa serupa yang terjadi pada 2022 terhadap KHDTK di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Soeharto. Saat itu, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan menindak para penambang ilegal. Tindakan serupa seharusnya dapat dilakukan pada KHDTK di Lempake.
Perempuan yang akrab disapa Eta itu pun membeberkan analisis geospasial Jatam. Terdapat setidaknya lima izin usaha pertambangan (IUP) yang berada di sekitar Kawasan Hutan Lempake. Lima izin ini di luar temuan aktivitas tambang ilegal yang memicu kehebohan saat ini. Dari lima izin tersebut, empat di antaranya masih beroperasi. Satu izin yang telah mati pun meninggalkan lubang tambang yang belum direklamasi.
Meskipun berizin dan berada di luar Kawasan Hutan Lempake yang termasuk KHDTK, Eta menyebutkan bahwa aktivitas lima perusahaan tambang tersebut berpotensi menambah kerusakan terhadap kawasan KHDTK.
"Apalagi dari analisis kami jaraknya kurang dari lima puluh meter dari Kawasan Hutan Lempake," ucapnya.
Ia pun mempertanyakan proses keluarnya IUP terhadap lima perusahaan tersebut. Padahal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 4/2012 menyebutkan bahwa jarak minimal lubang galian tambang harus 500 meter dari permukiman dan fasilitas umum.
"Kawasan hutan pendidikan ini 'kan terhitung fasilitas yang dimanfaatkan oleh publik juga," sebutnya.
Dirinya pun menyebutkan bahwa sejak 2007 Jatam Kaltim telah menyampaikan secara terbuka adanya aktivitas pertambangan berizin di sekitar kawasan KHDTK. Hal itu kembali disampaikan pada 2013, namun kedua laporan itu tidak mendapatkan respons berarti.
Eta mendorong agar penolakan aktivitas pertambangan tidak hanya ditujukan terhadap aktivitas tambang ilegal. Ia menyarankan aktivitas tambang berizin yang berpotensi merusak harus ditolak. Ia mempertanyakan sikap abu-abu Rektorat Unmul yang sempat menimbang-nimbang tatkala ada wacana pengelolaan tambang oleh kampus.
"Mau yang ilegal atau legal sama saja. Terbukti sama-sama merusak, sama-sama menimbulkan korban dari tahun ke tahun," pungkasnya. (*)