kaltimkece.id Gerombolan batang pohon yang mengapung di Sungai Mahakam seperti berbaris dengan rapi. Kayu-kayu gelondongan itu sengaja dihanyutkan dengan mengikuti aliran sungai. Para makelar di hilir, tepatnya di Samarinda dan sekitarnya, sudah menanti kedatangan ribuan potong kayu bulat berdiameter setara drum tersebut. Masyarakat setempat menamakan aktivitas pengiriman kayu besar-besaran tersebut sebagai banjir kap.
Pada dekade 1970-an, hutan-hutan primer di Kaltim mulai ditebangi demi memenuhi kebutuhan industri kayu. Sebagian besar kayu bulat berasal dari aktivitas perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Ketika pohon-pohon itu dihanyutkan, seperti tiada hari bagi Sungai Mahakam tanpa dipenuhi ribuan kayu gelondongan.
Sebanyak 6,40 juta hektare tutupan hutan hilang di sepenjuru Kalimantan sepanjang era industri perkayuan mulai 1970 hingga 1990. Luas tersebut mencapai 58 persen dari 11,11 juta hektare tutupan hutan sebagaimana perhitungan Bank Dunia. Adapun laju pengawahutanan atau deforestrasi, antara 300 ribu hektare hingga 2 juta hektare per tahun.
Senjakala akhirnya menyapa era perkayuan ketika pergantian milenium. Pengawahutanan belumlah berakhir. Industri pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit datang mengambil giliran. Menurut perkiraan Bank Dunia, pada 2000 hingga 2013, laju pengawahutanan menembus 1,10 juta hektare hingga 1,50 juta hektare per tahun. Setiap menit, hutan seluas tiga lapangan sepakbola lenyap di Kalimantan.
Pengawahutanan yang masif menyebabkan Indonesia diprediksi mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup. Tanda-tanda dari prediksi itu adalah tutupan hutan primer yang semakin menyusut. Tutupan hutan primer diproyeksikan tersisa 18,4 persen dari luas lahan total nasional (189,6 juta hektare) pada 2045. Kerusakan tutupan hutan ini berperan besar dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca. Pada rentang 2000-2016, kontribusi emisi nasional dari sektor kehutanan telah meningkat 52 persen.
Kesempatan Mengelola Hutan di Wilayah Perusahaan
Dampak pengawahutanan bukan hanya kepada planet bumi, masyarakat lokal turut merasakannya. Tidak sedikit warga di sekitar hutan yang kehilangan sumber penghidupan. Di samping hutan primer yang tersisa sudah dilindungi, area hutan yang masih boleh diakses warga justru masuk konsesi perusahaan. Jika bukan perkebunan kelapa sawit, hutan tersebut di dalam izin pertambangan batu bara. Hutan tersebut di areal penggunaan lain (APL).
Pemerintah pusat menyadari persoalan tersebut. Melalui instruksinya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam inpres tersebut, presiden menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menunda pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan perkebunan kelapa sawit. Presiden juga menginstruksikan pembangunan Areal Bernilai Konservasi Tinggi (ABTK) dari pelepasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
Dua tahun selepas penerbitan inpres, Kementerian LHK bekerja sama dengan United Nation Development Programme, lewat hibah dari Global Environment Facility, membentuk sebuah program bernama Kalimantan Forest Project (Kalfor). Program ini bertujuan membangun dan mengelola hutan ABKT di dalam APL, terutama di konsesi perkebunan. Program ini berjalan di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Kutai Timur di Kalimantan Timur.
“Pada era terdahulu, kesempatan bagi masyarakat untuk mengelola kawasan konservasi di dalam kawasan bisnis adalah sesuatu yang hampir mustahil,” demikian Profesor Rudianto Amirta, dekan Fakultas Kehutanan (Fahutan), Universitas Mulawarman, Samarinda. Fakultas Kehutanan adalah pemimpin evaluasi pelaksanaan Inpres 8/2018 di Kaltim.
Fahutan Unmul telah memetakan luas areal hutan yang berada di dalam izin perusahaan perkebunan dan pertambangan di Kutai Timur. Jumlah seluruh areal tersebut mencapai 161.374 hektare atau hampir tiga kali luas DKI Jakarta.
Perjuangan di Kutai Timur
Tiga desa di Kutai Timur, Kaltim, yang dipilih dalam proyek Kalfor adalah Desa Batu Lepoq di Kecamatan Sangkulirang, serta Desa Saka dan Desa Sempayau di Kecamatan Karangan. Sejak setahun terakhir, Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) yang turut terlibat dalam proyek Kalfor, mendampingi desa-desa tersebut. Sejumlah potensi areal hutan di dalam konsesi perusahaan yang bisa memberi manfaat bagi masyarakat ditemukan. Seluruh potensi itu berupa hasil hutan bukan kayu.
KBCF pertama-tama memetakan potensi areal hutan yang kaya dengan tanaman tradisional. Sebagai contoh adalah daun kelor dan meniran yang tumbuh liar. Bahan-bahan jamu tersebut sebenarnya sudah dimanfaatkan masyarakat namun masih dalam tahap rumahan, bukan untuk produksi massal. Ketika Universitas Mulawarman di Samarinda memproduksi jamu penguat imunitas, tiga desa ini merespons dengan sangat baik.
“Malahan, ada desa yang ingin memproduksi jamu dan sudah menyiapkan demplot (demonstration plot),” demikian Hendra, fasilitator KBCF di ketiga desa tersebut.
Permintaan terhadap bahan baku jamu tradisional ini cukup menjanjikan. Sampai Mei 2020 saja, sudah 10 ribu botol jamu diproduksi. Sejumlah perusahaan nasional pun tertarik seperti PT Air Mancur yang mematok target awal memproduksi 5.000 botol jamu serupa. Sementara itu, CV Bio Perkasa ikut memasarkan madu lewat pendekatan start up. Upaya menghubungkan masyarakat desa dengan universitas untuk membuat jamu merupakan salah satu kegiatan Kalfor selama pandemi Covid-19.
Melihat warga desa yang bersemangat dalam program ini, Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Amrullah, mengatakan, upaya menyelamatkan hutan di dalam APL sejalan perencanaan provinsi. Sudah saatnya, kata dia, masyarakat sekitar hutan menerima manfaat dari potensi hasil hutan bukan kayu.
“Masyarakat bisa menggunakan kawasan hutan di APL untuk tanaman obat, buah-buahan, hingga madu. Belum lagi ekowisata mangrove dan ekowisata budaya yang sangat bisa dikembangkan,” jelas Amrullah.
Mendorong Kebun Raya di Kutai Timur
Pemkab Kutai Timur telah mengalokasikan 20,5 hektare lahan untuk taman botani atau kebun raya sejak 2003. Lokasinya di dekat kompleks kantor pemerintahan di Bukit Pelangi, Kecamatan Sangatta, ibu kota kabupaten tersebut. Sekitar 10 hektare di antaranya telah dialokasikan sebagai demplot botani. Sayangnya, setelah 17 tahun sejak lokasi ditetapkan, kebun raya belum juga dibangun karena belum ada organisasi pengelolanya.
Melihat hal tersebut, proyek Kalfor mendorong pemerintah setempat mewujudkan kebun raya ini. Secara tidak langsung, kebun raya ikut menyebarkan semangat melindungi hutan di dalam APL di Kutai Timur. Di kebun raya tersebut, kelak, khalayak bisa melihat model perlindungan kekayaan flora dan fauna di kawasan hutan di APL Kutai Timur. Koleksi tanaman hidup yang terdokumentasi di kebun raya juga berguna bagi penelitian ilmiah, konservasi, pameran, dan pendidikan.
“Dari hasil kajian sementara yang kami buat, kebun raya ini bisa mengikuti konsep di Balikpapan dan beberapa tempat lain di Kalimantan. Pengelolanya adalah pemerintah daerah,” terang Titis Hutama Syah selaku peneliti dari CV Tri Silva Bersaudara yang mengkaji model kebun raya di Kutai Timur.
Titis melanjutkan, respons pemerintah daerah sangat baik. Ada dua hal besar yang sedang didiskusikan dengan Pemkab Kutim. Pertama, tema koleksi tumbuhan di kebun raya tersebut. Ada banyak pilihan, sebut Titis, seperti tema hutan hujan dataran rendah, hutan hujan tropis, atau anggrek. Pemilihan tema ini memerlukan masukan banyak pihak dan yang berhak memutuskan adalah Pemkab Kutai Timur. Kedua adalah tema rekreasi di kebun raya sehingga bisa memikat masyarakat untuk berkunjung. (*)