kaltimkece.id Letih yang luar biasa menerjang tubuh sekeluarnya Jumaah dari minibus. Sepanjang tujuh jam, ia hanya duduk di dalam kendaraan. Jalur yang ia lewati memang tidak semuanya mulus. Ada jalan tanah yang berlumpur karena hujan, jalur bebatuan yang bergelombang, dan aspal yang bolong di sana-sini. Perjalanan Jumaah itu baru benar-benar berakhir setelah tiba di ibu kota provinsi Kalimantan Timur, Samarinda.
Jumaah adalah kepala Desa Batu Lepoq, Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur. Pada Jumat, 3 Juli 2020, ia datang ke Samarinda untuk sebuah urusan. Ketika diwawancarai, Jumaah menceritakan kondisi desa yang ia pimpin. Untuk mencapai desa ini dari Samarinda, perlu empat jam menuju Sangatta, ibu kota kabupaten Kutai Timur. Tiga jam perjalanan berikutnya ke desa yang bikin sakit pinggang. Banyak jalur dengan kondisi jelek yang harus dilewati.
Tak hanya jauh dan sukar didatangi, Batu Lepoq adalah kampung yang masih terisolasi secara komunikasi. Sinyal telepon di desa yang dihuni lebih kurang 400 kepala keluarga ini sulit dibilang baik. Koneksi internet tidak bisa diharapkan sama sekali.
Batu Lepoq adalah satu dari tiga desa di Kutai Timur yang dipilih dalam Proyek Penguatan Perencanaan dan Pengelolaan Hutan di Luar Kawasan Hutan di Kalimantan (Kalfor). Satu di antara program Kalfor adalah penguatan peran masyarakat di sekitar hutan pada masa pandemic Covid-19. Dalam program ini, Batu Lepoq menyediakan beberapa bahan pembuatan jamu yang diproduksi tim pakar Universitas Mulawarman, Samarinda. Bahan baku jamu tersebut termasuk hasil hutan bukan kayu (HHBK). Sementara produksi jamu penguat imunitas ini terwujud berkat kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, United Nation Development Programme (UNDP), serta Global Environment Facility (GEF).
Menurut informasi yang dihimpun Kawal Borneo Community Foundation (KBCF), lembaga yang mendampingi desa tersebut, Batu Lepoq masuk kawasan budi daya kehutanan atau areal penggunaan lain (APL). Beberapa pemegang konsesi di desa tersebut adalah PT Sumalindo Alam Lestari Unit 2 sebagai pemilik konsesi hutan tanaman industri (HTI), PT Segara Indocern dengan izin hak pengusahaan hutan, PT Anugrah Alam Persada berizin HTI, serta PT Long Bagun Prima Sawit dan PT Sentosa Bumi Wijaya dengan izin perkebunan kepala sawit.
“Sebenarnya, Batu Lepoq adalah desa dengan banyak potensi. Sayangnya, sulit dikembangkan,” papar Jumaah. Masalahnya adalah status kawasan tersebut belum mendapat kejelasan seperti pelepasan dari kegiatan budi daya kehutanan.
“Semua kawasan kami di dalam wilayah perusahaan,” keluh Jumaah.
Status lahan di Desa Batu Lepoq inilah yang mengganggu pikiran perempuan berkerudung ini selama tiga tahun menjadi kepala desa. Jumaah akhirnya lebih banyak menghabiskan tenaga untuk memperjelas dan mencari jalan keluar dari problem tersebut. Beberapa kebijakan penggunaan lahan selalu terganjal lantaran masyarakat tidak memiliki kuasa mutlak terhadap lahan. Sebagai contoh, untuk mengolah lahan menjadi perkebunan rakyat, harus mengajukan izin pinjam pakai kepada perusahaan.
“Padahal, masyarakat hanya perlu 1 atau 2 hektare untuk berkebun. Mereka sudah bisa hidup dengan lahan yang tidak begitu luas itu,” urai Jumaah.
Ketidakpastian lahan karena hanya berstatus “pinjam” menyebabkan warga tidak maksimal mengolah ladang. Pada akhirnya, sebagian besar warga Batu Lepoq memilih bekerja di perusahaan yang beroperasi di sekitar desa. Mereka menjadi pekerja di sektor perkayuan atau perkebunan kelapa sawit.
Kondisi tersebut tidak sejalan dengan mayoritas penduduk Batu Lepoq yang merupakan masyarakat Dayak Basap yang akrab dengan hutan. Sejak dahulu, warga Basap terbiasa hidup bersama hutan.
Pada akhirnya, warga hanya bergantung kepada tutupan hutan yang tersisa di wilayah Batu Lepoq. Kontur hutan yang tersisa itu adalah kawasan perbukitan. Sebagian batuannya merupakan bagian dari bentang Karst Sangkulirang-Mangkalihat. Kontur yang sedemikian menyebabkan pengawahutanan di kawasan tersebut bisa dicegah secara alami. Masyarakat pun masih bisa memperoleh cadangan air, hewan buruan, termasuk tumbuhan untuk obat-obat tradisional.
“Masyarakat masih bisa memproduksi jamu tradisional yang dibuat dari ramuan hutan. Itu yang masih bisa kami maksimalkan dari keberadaan hutan di Batu Lepoq,” jelas Jumaah.
Hutan Batu Lepoq di dalam kawasan berstatus area penggunaan lain (APL) ini juga memiliki potensi wisata. Jumaah menyebutkan, ada goa tapak tangan yang banyak ditemukan di bentang karst, air terjun, serta sumber air panas yang cocok sebagai tempat pemandian. Potensi ini sangat mungkin dimanfaatkan karena Batu Lepoq sangat dekat dengan Kabupaten Berau. Di kabupaten paling utara Kalimantan Timur itu, lokasi wisata sudah digarap dengan serius. Pulau Maratua, Pulau Derawan, Danau Labuan Cermin, Teluk Sulaiman, dan Pulau Kaniungan, adalah beberapa contohnya.
“Semisal ada wisatawan yang menggunakan jalur darat ke Berau, mereka bisa singgah di desa kami untuk berkunjung ke objek wisata alam,” harap Jumaah.
Desa Sempayau dan Desa Saka
Di Sangkulirang, kecamatan yang bertetangga dengan Kecamatan Karangan, cerita yang seragam juga terurai. Dua desa di kecamatan ini, Desa Sempayau dan Desa Saka, turut terlibat dalam Proyek Kalfor.
Desa Sempayau yang dipimpin Pei Syapei selaku kepala desa, memiliki luas 8.300 hektare. Sejumlah potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) tersimpan bak harta karun di sini. Namun demikian, sama masalahnya seperti Batu Lepoq, desa ini sebagian besar wilayahnya masuk konsesi perusahaan. Menurut catatan KBCF, korporasi yang berizin di Sempayau adalah PT Gunta Samba, PT Telen, dan PT Tridaya yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, PT Ganda Alam Makmur adalah perusahaan pertambangan batu bara yang beroperasi di Sempayau.
“Potensi hasil hutan bukan kayu di desa ini juga cukup besar. Sebagian besar di wilayah hutan di dalam wilayah APL,” demikian Hendra, fasilitator KBCF. “Potensi yang sama juga ditemukan di Desa Saka,” sambungnya.
Tiga desa di Kutai Timur ini menjadi fokus kegiatan berupa penguatan kapasitas masyarakat dalam mengelola kawasan berhutan di dalam APL. Saat ini, jelas Hendra, kegiatan bersama KalFor berupa pembuatan jamu penguat imunitas cukup memberikan dampak positif. Desa Batu Lepoq, Desa Sempayau, dan Desa Saka, memiliki tumbuhan alami yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku jamu. Selama ini, potensi tersebut belum dikembangkan.
“Lewat program ini, kami berharap masyarakat secara ekonomi mendapat dampak positif,” ungkap Hendra.
Adapun persoalan mendasar dari ketiga desa adalah akses transportasi yang masih terbatas. Infrastruktur jalan belum bagus. Arus-keluar masuk barang belum lancar. Di samping itu, pasar untuk tumbuhan obat tradisional yang berkelanjutan belum banyak tersedia. (*)