kaltimkece.id Dewienta Pramesuari menatap taman yang terbentang di hadapannya dengan perasaan bangga. Taman Para'an, terletak persis di belakang Pasar Segiri dan di pinggir Sungai Karang Mumus, adalah inisiasi dari Center for Climate and Urban Resilience (CeCUR), sebuah lembaga swadaya masyarakat tempat ia bergelut selama dua tahun belakangan ini.
Bekerja sama dengan Pemerintah Kota Samarinda dan Kemitraan Partnership yang didanai Adaptation Funding, Taman Para'an dibangun dengan semangat yang membumi. Namanya pun diambil dari bahasa Banjar, para'an yang berarti dekat.
"Niatnya bukan sekadar kerangka konstruksi fisik saja, tapi bagaimana kehadirannya bermakna bagi masyarakat," ucapnya.
Dalam pengerjaannya pun, perempuan yang akrab disapa Wiwin tersebut mengungkapkan bahwa CeCUR juga berupaya untuk melibatkan masyarakat secara aktif. Sesuatu yang menjadi salah satu tugas utama Wiwin sebagai community mobilizer atau penggerak komunitas.
"Untuk keberlanjutan, taman ini akan dirawat langsung oleh warga sekitar," ungkapnya.
Upaya melibatkan warga dimulai dari proses cetak biru desain manual taman yang semula dinamai Taman Karang Mumus tersebut. Ibu rumah tangga dari RT 27 dan RT 28 yang berada di sekitar taman dilibatkan. Begitu juga dengan komunitas disabilitas yang diwakili oleh Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Samarinda.
Selain melibatkan warga dalam proses desain, CeCUR juga berupaya untuk bercengkerama dengan warga. Salah satunya melalui Dialogika Poskamling, kegiatan diskusi ringan di malam hari yang menghadirkan Tantik, warga RT 27 beserta budayawan Roedy Haryo dan akademikus Universitas Mulawarman, Alfian.
"Warga juga telah kami berikan sejumlah pelatihan," ucapnya.
Taman Para'an dilengkapi dengan turbin angin serta panel surya sebagai sumber daya listrik. CeCUR pun telah memberangkatkan empat warga sekitar ke Ciheras, Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk mempelajari mengenai instalasi serta perawatannya.
Pelatihan-pelatihan lain yang diberikan CeCUR oleh warga mulai dari pelatihan UMKM. Kemudian juga pelatihan membuat lubang biopori yang melibatkan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Serta pelatihan teknologi pemanen air hujan yang melibatkan mahasiswa Politeknik Negeri Samarinda.
Tak hanya itu, berbagai komunitas pun dilibatkan dalam proses diskusi. Mulai dari Gerakan Memungut Sampah Sungai Karang Mumus, Komunitas Muara Sama-Sama di Samarinda, Aliansi Jurnalis Independen Kota Samarinda, Wahana Lingkungan Hidup Kaltim, Transit Samarinda, Memori Rasa dan berbagai komunitas lain.
Berangkat dari pelibatan masyarakat, kampus dan komunitas dalam pembangunan Taman Para'an dua tahun terakhir, CeCur kemudian merekomendasikan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Ruang Publik.
"Tujuannya agar apa yang menjadi kebiasaan selama dua tahun terakhir dapat berlanjut," ucapnya.
Diketuai oleh Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Samarinda, Pokja Ruang Publik terdiri dari berbagai divisi. Mulai dari divisi kebersihan, divisi keamanan dan informasi, divisi pengelolaan dan perawatan, serta divisi pemberdayaan Masyarakat.
"Di semua divisi itu sudah ada akademisi, warga serta perwakilan komunitas," paparnya.
Pokja Ruang Publik, sebut Wiwin telah membuat berbagai program kerja. Ia berharap Pokja Ruang Publik menjadi bagian dari advokasi kebijakan yang melibatkan masyarakat secara partisipatif.
"Sehingga proses pembangunan Taman Para'an bisa ditiru di ruang publik lain di Samarinda," tandasnya.
Dalam peluncuran Taman Para'an yang dihadiri langsung oleh Wali Kota Samarinda, Andi Harun, Direktur Eksekutif CeCUR Retno Hastijanti juga memberikan sebuah buku berupa pedoman ruang publik yang partisipatif.
"Pembangunan sebuah ruang publik harus melibatkan rasa kepemilikan masyarakat," ucap Retno ditemui selepas peresmian Taman Para'an.
Fasilitas yang tersedia di Taman Para'an, sebut Retno, diberikan agar masyarakat merasa memiliki. Mulai dari ruang untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), agar terjadi aktivitas ekonomi, serta peralatan olahraga dan panggung untuk kegiatan komunitas.
Disinggung mengenai Pokja Ruang Publik, Retno menyebutkan bahwa Pokja Ruang Publik diharapkan dapat berperan serupa kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Sehingga ada sinergi antara masyarakat dan pemerintah.
Wali Kota Andi Harun menyambut baik kehadiran Taman Para'an Ia pun menyampaikan kekagumannya mengenai proses cetak biru desain manual yang melibatkan masyarakat secara langsung.
"Bukan maunya CeCUR, bukan maunya pemerintah, saya ingat sekali proses warga yang menentukan langsung desainnya," kenangnya. Ia menyebutkan bahwa ia hadir langsung dalam proses desain yang dibantu oleh Queensland University of Technology, Australia.
Melalui pembentukan Pokja Ruang Publik yang direkomendasikan oleh CeCUR, Andi Harun berharap agar Taman Para'an dapat menjadi percontohan bagi ruang publik lainnya di Samarinda.
"Sehingga ruang publik itu benar-benar dibangun dari bawah dan dikelola langsung oleh masyarakat," tegasnya.
Pengajar Komunikasi Pembangunan Universitas Mulawarman, Samarinda, Erwiantono, mengatakan dalam teori komunikasi partisipatif, terdapat empat unsur partisipasi, yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi, dan karnaval.
"Dalam percontohan yang dilakukan oleh CeCUR sebenarnya sudah berupaya untuk memenuhi empat unsur ini," sebutnya.
Unsur heteroglasia serta poliponi mengharuskan partisipasi untuk melibatkan keberagaman kelompok. Upaya itu telah ditempuh CeCUR dengan pelibatan berbagai komunitas hingga organisasi marjinal yang berasal dari kelompok perempuan dan disabilitas.
Kemudian, unsur dialogis mengharuskan adanya dialog bersama dipenuhi dengan pelibatan masyarakat dalam proses desain. Begitu pula unsur karnaval yang mengharuskan adanya komunikasi nonformal dan santai dapat dilihat dari kegiatan Dialogika Poskamling.
"Ibaratnya, mereka berusaha untuk ngopi-ngopi langsung dengan warga," ucapnya.
Meskipun begitu, ia memaparkan bahwa terdapat tiga tingkatan partisipasi, yaitu partisipasi rendah atau non-partisipasi, partisipasi sedang atau tokenisme, hingga partisipasi tinggi atau citizen power.
Tanpa melepaskan apresiasinya terhadap upaya CeCUR, Erwiantono melihat bahwa tingkat partisipasi dalam pembangunan Taman Para'an masih dalam tingkat sedang atau tokenisme. Meskipun melibatkan masyarakat, inisiasi hingga pengambilan keputusan berada di tangan CeCUR.
"Sehingga statusnya lebih ke konsultatif dibandingkan kolaboratif," ucapnya.
Salah satu indikator ruang publik yang partisipatif, sebut Eriwantono juga adanya kesetaraan kapasitas. Ia menilai, sejak awal ada ketimpangan kapasitas ditandai warga cenderung menjadi objek yang diberikan berbagai pelatihan.
Pembentukan Pokja Ruang Publik, nilainya dapat menjadi langkah awal positif untuk mengevaluasi konsep ruang publik. Erwiantono pun mendorong agar masyarakat dapat benar-benar dilibatkan secara utuh.
"Bisa dimulai dari komunitas-komunitas anak muda untuk aktivasi ruang publik." sarannya. (*)